blog-indonesia.com

Rabu, 09 Desember 2015

Sepanjang 2015 ada 140 pelanggaran udara

Profil salah satu tipe radar bergerak militer. Foto menunjukkan AR 325 Commander buatan Plessey, Inggris. Radar ini pada dasarnya merupakan Early Warning (EW) Radar, dengan radar primer dan sekundernya. Radar primer menggunakan TWT dengan jarak jangkau 25–470 km, sedangkan radar sekunder memiliki jarak jangkau 0–470 km. Sementara ketinggian sapuan radar mencapai 18.000 meter. (istimewa)

Pada tahun 2015 hingga awal Desember ini terdapat 140 kali kasus pelanggaran udara oleh wahana penerbangan asing di wilayah operasi Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I Markas Besar TNI. Angka ini tujuh kali lebih banyak ketimbang jumlah kasus sepanjang 2014 lalu.

Kami belum tahu persis penyebabnya, yang jelas kebanyakan dilakukan pesawat terbang dengan nomor registrasi N alias dari Amerika Serikat,” kata Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I Markas Besar TNI, Marsekal Pertama TNI Novyan Samyoga, di Jakarta, Selasa.

Ada enam satuan radar yang dioperasikan mereka, yaitu Satuan Radar 203 Sri di Bintan (Kepulauan Riau), Satuan Radar 211 Tanjung Kait (Banten), Satuan Radar 212 Ranai, Satuan Radar 213 Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Satuan Radar 214 Pemalang (Jawa Tengah), Satuan Radar 215 Congot (DIY), Satuan Radar 216 Cibalimbing (Jawa Barat).

Menurut dia, ada kemungkinan kenaikan jumlah yang bisa diungkap itu karena peningkatan kualitas dan operasionalisasi jaringan radar yang mereka miliki, terutama yang dialokasikan di Kepulauan Riau.

Ada beberapa merek dan tipe radar yang dioperasikan mereka, di antaranya Master T buatan Thales Raytheon System (Satuan Radar 213/Tanjung Pinang), Thomson TRS 2215 (Satuan Radar 212/Ranai), AWS II dari Decca Radar dan Plessey (Satuan Radar 214/Pemalang), dan Thomson TRS 2230 D (Satuan Radar 211/Tanjung Kait).

Samyoga menyatakan, “Mungkin juga karena ada peningkatan aktivitas penerbangan di sekitar wilayah kerja kami, misalnya latihan militer oleh negara lain, dan lain-lain.

Data menyebutkan, pada 2010 terjadi tujuh kali pelanggaran udara dan empat penerbangan gelap, 2011 ada 22 pelanggaran udara dan tiga penerbangan gelap, 2012 ada 16 pelanggaran udara dan tiga penerbangan gelap, 2013 ada enam pelanggaran udara dan enam penerbangan gelap, dan 2014 ada 18 pelanggaran udara dan 17 penerbangan gelap.

Definisi pelanggaran udara adalah penerbangan yang kelengkapan dokumennya tidak sempurna, yaitu ijin dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, dan Markas Besar TNI. Sedangkan penerbangan gelap adalah yang benar-benar tidak dilengkapi dokumen izin melintas apapun dari suatu negara.

Secara terpisah, Asisten Operasi Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional I Markas Besar TNI, Kolonel Penerbang Satrio Utomo, mengungkapkan, "Peningkatan jumlah pelanggaran udara hingga 140 kasus itu juga terjadi setelah wacana pengambilalihan wilayah informasi penerbangan regional kepada Indonesia dari Singapura."
 

  Antara  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More