Panel Tenaga Surya di Bantul |
Indonesia akan memiliki pabrik modul tenaga surya skala besar. Proyek ini melibatkan perusahaan modul surya asal Indonesia, PT. Swadaya Prima Utama (SPU), dengan perusahaan Kanada, Canadian Solar Inc.
Pabrik yang akan dibangun kedua perusahaan diklaim merupakan pabrik modul surya terbesar di Indonesia. "Kapasitas produksi sebesar 60 megawatt [MW]. Pabrik dibangun di Cikampek. Operasional segera jalan antara Febuari-Maret 2014," ujar M. Syafrie Syarief, Direktur Utama Swadaya.
Syarief menambahkan produksi modul akan memprioritaskan kepentingan nasional, terutama kebutuhan listrik di kawasan Indonesia timur. "Produksi lebih ke Indonesia. Di satu sisi pemerintah punya perencanaan yang bagus soal energi terbarukan listrik. Kalau nggak sekarang dikembangkan, bisa diserbu pemain asing," kata dia.
Soal komponen pendukung pembangunan modul surya ini, Syarief memang mengakui industri ini masih tergantung pada rantai pasokan dari China. Ia mengatakan industri modul tenaga surya hampir sepenuhnya mengandalkan pasokan dari negeri Tirai Bambu itu.
Namun demikian, pihaknya secara bertahap akan mengurangi ketergantungan itu. "Anggota asosiasi modul solar di sini sudah komitmen kandungan lokal 40 persen. Kami upayakan peningkatan volume kandungan lokalnya, biar ada efisiensi," jelas dia.
PT. SPU sebelumnya telah memiliki fasilitas modul surya dengan kapasitas produksi 25 MW. Namun perusahaan itu berinisiatif memperbesar kapasitas produksi untuk menyesuaikan kebutuhan pasar di masa mendatang. Dengan kapasitas produksi 60 MW itu membuka peluang Indonesia dalam mendominasi pasar modul surya di Asia Tenggara.
"Kita hanya di bawah Thailand saja. Kami bisa saja suplai modul surya ke Vietnam maupun Thailand. Tapi tetap prioritaskan kepentingan nasional dulu," ujar Syarief.
Modul surya yang diproduksi pabrik itu juga nantinya telah bersertifikat Eropa, AS dan Indonesia (SNI).(ren)
Pabrik yang akan dibangun kedua perusahaan diklaim merupakan pabrik modul surya terbesar di Indonesia. "Kapasitas produksi sebesar 60 megawatt [MW]. Pabrik dibangun di Cikampek. Operasional segera jalan antara Febuari-Maret 2014," ujar M. Syafrie Syarief, Direktur Utama Swadaya.
Syarief menambahkan produksi modul akan memprioritaskan kepentingan nasional, terutama kebutuhan listrik di kawasan Indonesia timur. "Produksi lebih ke Indonesia. Di satu sisi pemerintah punya perencanaan yang bagus soal energi terbarukan listrik. Kalau nggak sekarang dikembangkan, bisa diserbu pemain asing," kata dia.
Soal komponen pendukung pembangunan modul surya ini, Syarief memang mengakui industri ini masih tergantung pada rantai pasokan dari China. Ia mengatakan industri modul tenaga surya hampir sepenuhnya mengandalkan pasokan dari negeri Tirai Bambu itu.
Namun demikian, pihaknya secara bertahap akan mengurangi ketergantungan itu. "Anggota asosiasi modul solar di sini sudah komitmen kandungan lokal 40 persen. Kami upayakan peningkatan volume kandungan lokalnya, biar ada efisiensi," jelas dia.
PT. SPU sebelumnya telah memiliki fasilitas modul surya dengan kapasitas produksi 25 MW. Namun perusahaan itu berinisiatif memperbesar kapasitas produksi untuk menyesuaikan kebutuhan pasar di masa mendatang. Dengan kapasitas produksi 60 MW itu membuka peluang Indonesia dalam mendominasi pasar modul surya di Asia Tenggara.
"Kita hanya di bawah Thailand saja. Kami bisa saja suplai modul surya ke Vietnam maupun Thailand. Tapi tetap prioritaskan kepentingan nasional dulu," ujar Syarief.
Modul surya yang diproduksi pabrik itu juga nantinya telah bersertifikat Eropa, AS dan Indonesia (SNI).(ren)
Energi Alternatif Masih Sulit Dipopulerkan di Indonesia
Energi berbasis tenaga surya masih jadi pelengkap, bukan pengganti.
PLTS terbesar di Bali |
Di
sejumlah negara, energi terbarukan sudah disiapkan menjadi alternatif
sumber energi di masa depan. Ini mengingat energi berbasis fosil
memiliki keterbatasan dan persediannya makin tipis.
Pemerintah Indonesia sudah memiliki rencana mempopulerkan energi alternatif itu. Tapi, menurut kalangan pelaku industri, aplikasi energi terbarukan di Indonesia masih sangat kecil.
"Pada 2025, Indonesia kan punya rencana energi terbarukan bisa mencapai 20 persen dari total energi. Saat ini persentase energi terbarukan masih kecil, hanya 6 persen," ungkap M Syafrie Syarief, Direktur Utama PT Swadaya Prima.
Dari persentase itu, porsi energi tenaga surya masih kalah dengan jenis energi terbarukan yang lain. "Kalau energi surya di bawah 1 persen, bahkan bisa sampai 0,3 persen. Yang paling banyak itu energi geothermal (panas bumi) dan tenaga air saja," tambah dia.
Namun, Syarief menjelaskan problem energi terbarukan saat ini hanya bersifat lokal, dan kadang untuk distribusi energi mengalami kendala. Ia mengatakan potensi energi tenaga surya lebih besar dilihat dari ketersediaan dan distribusi energi.
"Energi geothermal itu tidak semuanya ada, hanya di daerah tertentu saja. Tenaga air juga begitu. Nah kelebihan energi matahari ada di mana saja," jelasnya.
Cuma Pelengkap
Insan Boy, General Manager Canadian Solar Kawasan Asia Tenggara, menambahkan meski punya potensi, energi tenaga surya hanya bersifat pelengkap energi dibanding sebagai pengganti energi fosil.
Namun menurut Insan, energi surya bisa jadi solusi untuk pengembangan listrik di kawasan Indonesia Timur. Problem pengembangan listrik di kawasan itu masih terkendala dengan infrastruktur demografi kepulauan.
"Kalau bertahan dengan PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) Indonesia timur nggak mungkin. Biaya akan terus naik. Kalau kita bangun PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) harga listrik setelah 20 tahun akan terus sama," jelas Insan.
Untuk itu pihaknya berharap pengenalan energi surya bisa mendapatkan ruang yang lebih terbuka. Saat ini, ia mensyukuri adanya konsep penetapan insentif tarif listrik pemerintah, Feed in Tariff, bagi perusahaan pengembang energi terbarukan.
Kebijakan itu pada dasarnya mekanisme kebijakan penetapan tarif listrik untuk energi baru terbarukan, dengan harga listrik berbeda-beda di setiap daerah sesuai nilai investasi, lokasi pembangkit, kapasitas pembangkit, dan jenis energi terbarukan yang dimanfaatkan di masing-masing daerah.
Selain itu juga memberikan jaminan terhadap harga energi baru terbarukan dalam jangka panjang. Jaminan harga dan pembelian dalam jangka panjang itu pada gilirannya akan menarik minat investor dan mengembangkan bisnis energi terbarukan. (umi)
Pemerintah Indonesia sudah memiliki rencana mempopulerkan energi alternatif itu. Tapi, menurut kalangan pelaku industri, aplikasi energi terbarukan di Indonesia masih sangat kecil.
"Pada 2025, Indonesia kan punya rencana energi terbarukan bisa mencapai 20 persen dari total energi. Saat ini persentase energi terbarukan masih kecil, hanya 6 persen," ungkap M Syafrie Syarief, Direktur Utama PT Swadaya Prima.
Dari persentase itu, porsi energi tenaga surya masih kalah dengan jenis energi terbarukan yang lain. "Kalau energi surya di bawah 1 persen, bahkan bisa sampai 0,3 persen. Yang paling banyak itu energi geothermal (panas bumi) dan tenaga air saja," tambah dia.
Namun, Syarief menjelaskan problem energi terbarukan saat ini hanya bersifat lokal, dan kadang untuk distribusi energi mengalami kendala. Ia mengatakan potensi energi tenaga surya lebih besar dilihat dari ketersediaan dan distribusi energi.
"Energi geothermal itu tidak semuanya ada, hanya di daerah tertentu saja. Tenaga air juga begitu. Nah kelebihan energi matahari ada di mana saja," jelasnya.
Cuma Pelengkap
Insan Boy, General Manager Canadian Solar Kawasan Asia Tenggara, menambahkan meski punya potensi, energi tenaga surya hanya bersifat pelengkap energi dibanding sebagai pengganti energi fosil.
Namun menurut Insan, energi surya bisa jadi solusi untuk pengembangan listrik di kawasan Indonesia Timur. Problem pengembangan listrik di kawasan itu masih terkendala dengan infrastruktur demografi kepulauan.
"Kalau bertahan dengan PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) Indonesia timur nggak mungkin. Biaya akan terus naik. Kalau kita bangun PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) harga listrik setelah 20 tahun akan terus sama," jelas Insan.
Untuk itu pihaknya berharap pengenalan energi surya bisa mendapatkan ruang yang lebih terbuka. Saat ini, ia mensyukuri adanya konsep penetapan insentif tarif listrik pemerintah, Feed in Tariff, bagi perusahaan pengembang energi terbarukan.
Kebijakan itu pada dasarnya mekanisme kebijakan penetapan tarif listrik untuk energi baru terbarukan, dengan harga listrik berbeda-beda di setiap daerah sesuai nilai investasi, lokasi pembangkit, kapasitas pembangkit, dan jenis energi terbarukan yang dimanfaatkan di masing-masing daerah.
Selain itu juga memberikan jaminan terhadap harga energi baru terbarukan dalam jangka panjang. Jaminan harga dan pembelian dalam jangka panjang itu pada gilirannya akan menarik minat investor dan mengembangkan bisnis energi terbarukan. (umi)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.