Pengembangan mobil hibrida dan mobil listrik merupakan visi yang
telah dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengambil
inisiatif menjadi tuan rumah Climate Change Conferention di Bali pada
2007. Konferensi yang menghasilkan Deklarasi Bali Roadmap to Climate
Change itu merupakan jalan tengah di antara perbedaan pendapat antara
Amerika, Eropa, Cina, dan Rusia dalam menghadapi keinginan untuk
melakukan modifikasi Protokol Kyoto.
Sejak saat itu, tahap demi tahap Indonesia memelopori inisiatif untuk
mereduksi emisi karbon sebesar 26% pada 2025. Perjalanan menuju suatu
masyarakat berkarbon rendah atau "low carbon society" telah dimulai. Namun penurunan angka emisi karbon 26% bukanlah hal mudah.
Perlu banyak inisiatif di sektor industri, transportasi, deforestasi,
serta seluruh sektor pembangunan. Penggunaan energi ramah lingkungan,
seperti geotermal, tenaga air, tenaga matahari, dan tenaga angin,
menjadi arah kebijakan masa depan. Demikian pula pembangunan kawasan
industri ramah lingkungan atau green industry yang menghasilkan green product.
Di sektor transportasi, telah ada cetak biru untuk penggunaan fuel
berbasis fosil ditekan ke angka terendah. Penggunaan kereta listrik di
Jabodetabek, Medan, dan Surabaya telah dimulai. Demikian juga rencana
penggunaan trem atau bus berbahan bakar gas (BBG) dan bahan bakar nabati
(BBN) di kota besar telah diwacanakan sejumlah gubernur dan wali kota
atau bupati. Penggunaan mobil hibrida bagi kendaraan pribadi dan sepeda
motor listrik juga mulai ada dalam wacana.
Bapak Angkat Inovasi
Karena itu, sangat menggembirakan melihat antusiasme Pak Dahlan
Iskan memberikan kesempatan bagi inovasi teknologi mobil listrik Dasep
Achmadi.
Suatu sinergi antara pejabat pemerintah dan inovator. Begitu pula Pak Mohamad Nuh dengan mobil hibrida/listrik PT Dirgantara Indonesia, Pak Gusti Mohamad Hatta dengan bus listrik LIPI (LIPI adalah pelopor mobil listrik pertama di Indonesia). Juga Jokowi dengan Esemka dan Gubernur Sulawesi Selatan, Yasin Limpo, untuk memberi kesempatan mobil buatan lokal maju di daerahnya.
Suatu sinergi antara pejabat pemerintah dan inovator. Begitu pula Pak Mohamad Nuh dengan mobil hibrida/listrik PT Dirgantara Indonesia, Pak Gusti Mohamad Hatta dengan bus listrik LIPI (LIPI adalah pelopor mobil listrik pertama di Indonesia). Juga Jokowi dengan Esemka dan Gubernur Sulawesi Selatan, Yasin Limpo, untuk memberi kesempatan mobil buatan lokal maju di daerahnya.
Jika semua pejabat meniru langkah mereka untuk bersedia menjadi bapak
angkat inovasi teknologi, pastilah industri di Indonesia dapat
berkembang di masa depan. Insya Allah.
Sinergi inovasi untuk membuat prototipe mobil ini boleh disebut sebagai "participation action research" dalam "new product development".
Suatu riset pengembangan produk dengan mengikutsertakan emosi dan
pandangan masyarakat sebagai calon pelanggan. Pendekatan yang telah
berkembang di Cina untuk mempercepat siklus rancang bangun produk.
Siklus rancang bangun umumnya diawali dengan market research, design requirement and objective fefinition, technology readiness phase, dan iteration conceptual design untuk menghasilkan satu atau lebih prototipe. Kemudian prototipe ini mengalami proses "fit and proper test" di
laboratorium untuk menguji tingkat keandalan teknologi yang diterapkan
dan proses sosialisasi ke pasar yang dipilih. Jika langkah ini telah
dilakukan, prototipe kembali dievaluasi untuk ditentukan model produk
baru mana yang akan diproduksi secara massal.
Pendekatan tahap demi tahap untuk menghasilkan prototipe sebuah mobil umumnya lebih dari dua tahun. Tapi, dengan cara "participation action research", pengembangan produk baru telah di-"short cut" menjadi hanya empat-lima bulan.
Ketika tahun 1996-1997 saya belajar merancang bangun mobil di
Australia, tata cara yang dikembangkan di dunia industri yang
mapan adalah setahap demi setahap. Setiap tahap selalu dievaluasi benefit cost ratio-nya. Tiap tahap memiliki "decision gate", go or no go operation, hingga keputusan untuk membangun infrastruktur padat modal bagi produksi massal.
Melalui langkah setahap demi setahap seperti ini, jumlah inovasi ide
yang mungkin lebih dari 10 model mobil akan diiterasi agar dapat dipilih
yang terbaik. Sebab, pada akhirnya, investasi yang digelontorkan harus
kembali modalnya. Ada return on investment scenario yang menjadi barometer layak-tidaknya sebuah inovasi diterjunkan ke dalam produksi massal.
Pasar yang kompetitif amatlah selektif. Berlaku "hukum Darwin", yakni survival of the fittest atau hanya konsep desain dan inovasi terunggul yang bisa hidup lama. Yang mediocre atau setengah jadi mati di tengah jalan.
Pasar bukanlah ruang vakum tanpa kompetisi. Pasar adalah sebuah pertarungan. Its a war,
kata seorang pakar. Karenanya, setiap investasi memerlukan kecermatan.
Yang mahal kini adalah uang yang sukar diperoleh, apalagi ada krisis di
Eropa yang belum selesai.
Analisis dari sisi "cost of production, cost of research and development, cost of testing to achieve sertificate of safety" dan kelaikan jalannya merupakan "life cycle cost" teritengrasi yang harus diukur untung-ruginya dalam disiplin keuangan yang ketat. Its an art rather than a science.
Membangun Industri Lokal
Tidak mengherankan jika di Toyota, Honda, Nissan, BMW, dan Ford,
pendekatan sistem dalam pengelolaan proses rancang bangun sebuah mobil
digunakan secara berjenjang, bertingkat, dan berkesinambungan. Proses
yang meniru langkah Boeing dan Airbus dalam merancang bangun sebuah
pesawat terbang.
"Participation action research" merupakan pendekatan yang
berbeda. Dalam pendekatan ini, desain menjadi karya individual, milik
sepenuhnya dari seorang arsitek dan pengembang konstruksi desainnya.
Teknisi bekerja dalam arahan langsung sang arsitek. Tak diperlukan
banyak gambar teknis. Semua ide dituangkan dalam proses pencarian bagian
dan komponen untuk disatukan sebagai sebuah modul kerja yang berfungsi
sesuai dengan tugasnya.
Alur komando dalam proses rancang bangun ini menyebabkan prototipe
dapat dibangun dalam tempo singkat. Pendekatan ini disebut proses "tinkering",
suatu proses rekayasa dan rancang bangun dengan langsung menghasilkan
prototipe. Jika berhasil, baru kemudian dilakukan tindakan "reverse engineering", membuat gambar teknis tiap jenis komponen untuk diproduksi pada vendor yang tepat. Jalan ini mempersingkat waktu rancang bangun menjadi hanya 20%-nya.
Jika cara kerja tim dan pendekatan setahap demi setahap memerlukan
waktu dua tahun untuk menghasilkan sebuah prototipe (seperti pernah
dilakukan Bung Subronto Laras dengan mobil rakyatnya di Mazda pada
1995). Demikian juga dalam pembangunan prototipe Maelo dari BPIS pada
1996. Maka, cara Dasep hanya butuh waktu kurang dari lima bulan.
Pendekatan kedua akan dapat berhasil karena di Indonesia kita
memiliki banyak tenaga terampil dalam pembuatan mobil. Ambil contoh di
industri karoseri Malang, banyak teknisi berpengalaman muncul. Demikian
juga di bengkel-bengkel besar perawatan mobil di Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Medan, kita sering menemukan teknisi yang amat
berpengalaman dan pintar.
Kita menyebutnya "dukun teknis", ada dukun Mercy, ada dukun BMW, ada
dukun mesin mobil Jepang, Korea, ada dukun kabel, ada dukun sasis, dan
ada juga ahli las ketok duko. Potensi besar yang dapat dimanfaatkan
untuk pendekatan kedua.
Produksi Massal
Namun merancang sebuah mobil yang ingin dikembangkan dalam produksi
massal melebihi angka satu juta atau 500.000 setahun tidaklah sama
dengan merancang mobil yang bersifat "taylor made". Apa yang dikembangkan melalui pola participation action research lebih tepat ditujukan untuk pendekatan value, bukan volume. Mirip Roll Royce dalam memproduksi mobil, bersifat taylor made, berharga mahal.
Dalam industri mobil dikenal apa yang disebut "tear down", upaya memereteli mobil prototipe menjadi sub-assy atau modul rangka sasis, modul pintu, modul interior, modul roda penggerak, modul engine,
dan sebagainya. Tiap modul diberi nomor identifikasi untuk memudahkan
proses perakitan dan tiap modul memiliki gambar teknis dari "three view drawing" hingga gambar potongannya.
Setelah proses tear down, biasanya dilakukan proses yang paralel, yakni pembuatan "clay model" atau model tanah liat yang menggambarkan keseluruhan dimensi mobil yang utuh. Dari proses digitalisasi "clay model"
akan dapat dikembangkan persamaan matematika dari kulit luar seluruh
mobil. Kulit mobil seolah bisa dibentangkan seperti kain lebar, yang
kemudian melalui pembentukan pola dapat dilengkungkan dan ditunjukkan
menjadi potongan jendela, pintu, kap mesin, bagasi, dan rangka monocoque-nya.
Ketelitian dan keakuratan dimensi ini amat penting, sehingga akan
lahir suatu karya kulit mobil yang mulus dan tidak memerlukan banyak
dempul nantinya. Melalu proses "clay model" ini, dikembangkan tahapan dimensioning dan pengembangan cetakan betina dari pintu, rangka yang monocoque, bodi, dan sebagainya.
Proses transformasi gambar lofting (mathematical equation of surfaces and skin) menjadi cetakan amatlah penting dan berbiaya mahal, karena di sini akan menghasilkan precision jigs and tooling. Selanjutnya, cetakan yang presisi akan tahan banting untuk membuat jutaan pintu atau jutaan part lainnya. Melalui tahapan dimensioning dari clay model dan "tear down" ini, dapat disusun suatu master list dari proses pembelian dan pemilihan vendor item. Dapat dipilah mana standard part, mana bagian yang memerlukan alat-alat khusus, engine-nya jenis apa, knalpotnya tipe apa, demikian juga tipe ban dan peleknya.
Master list procurement ini merupakan dokumen berharga untuk
mengontrol biaya produksi dan menentukan kredibilitas industri mobil
yang hendak dikembangkan. Dari dokumen ini dapat dibuat skenario
pengikutsertaan industri komponen sebagai mitra dari manufaktur mobil, value chain, dan supply chain dapat dibangun.
Dalam setiap mobil Toyota terdapat lebih-kurang 30.000 parts. Seperti bagian utama (basic parts) "steering wheel", kaca, kaca spion, pedal rem, pedal gas, dan engine
yang terdiri dari ribuan bagian. Setiap tahun, Toyota Jepang
memproduksi 3.280.000 mobil (tahun 2010) atau 13.000 mobil per hari.
Dengan demikian, produksi massal sebuah industri mobil melahirkan
industri komponen dan tiap industri akan mencipta lapangan kerja yang
banyak. Tapi juga berarti perlu manajemen supply chain yang canggih untuk sebuah industri mobil.
Melihat kompleksnya industri ini, menurut saya, perlu dilakukan
sinergi antara penggagas mobil listrik dan industri yang sudah mapan.
Kita harus mampu memanfaatkan penguasaan teknologi mobil yang lebih dari
50 tahun telah dikuasai Astra di Indonesia, Mazda Indonesia yang
berpengalaman membuat mobil rakyat seperti dilakukan Subronto Laras,
Toyota, Mitsubishi, Nissan, atau Ford.
Kemudian dipadukan dengan keahlian para teknisi berpengalaman yang tersembunyi di industri karoseri seperti Armada dan bengkel-bengkel mobil terkenal. Untuk membangun sebuah tim, membuat industri mobil tidaklah dapat dikembangkan secara sendirian di ruang vakum tanpa engineering expertise.
Jusman Syafii Djamal, Mantan Menteri Perhubungan
(Gatra)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.