Kementerian Pertahanan Sebut Bela Negara Bukan Wajib MiliterMemberi hormat saat pengibaran Bendera Merah Putih raksasa di Tugu Monas, Jakarta. (ANTARA/Muhammad Adimaja)
Kementerian Pertahanan membantah program bela negara merupakan bentuk lain dari wajib militer. Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemhan, Laksamana Pertama Muhammad Faizal, mengatakan kementeriannya tidak meniru program wajib militer yang diaplikasikan Singapura, Korea Selatan, atau Amerika Serikat.
"Mereka menerapkan wajib militer, kalau kami wajib bela negara. Itu diatur Pasal 27 UUD 1945," ujar Faizal di Jakarta, Senin (12/10).
Pernyataan Faizal tadi meneruskan pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Riyacudu yang menyebut bela negara bertujuan membentuk disiplin pribadi yang kemudian akan berujung pada disiplin kelompok dan disiplin nasional.
"Kami tidak meniru siapa-siapa. Ini bukan wajib militer. Ini hak dan kewajiban. Hak boleh dituntut, tapi kewajiban harus dilaksanakan. Negara membolehkan demonstrasi, sekarang negara meminta warganya bela negara," ujar Ryamizard pada kesempatan yang sama.
Konstitusi melalui Pasal 27 ayat 3 UUD 45 mengatur setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Faizal berkata, aturan tersebut telah dijabarkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pasal 9 pada beleid tersebut menyebut keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dapat disalurkan melalui empat kategori, yakni pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian secara sukarela atau wajib oleh prajurit TNI, dan pengabdian sesuai profesi masing-masing warga.
Faizal menuturkan, pelatihan bela negara akan diselenggarakan satuan-satuan pendidikan TNI seperti resimen induk daerah militer selama 30 hari. Para peserta pelatihan akan diinapkan di asrama.
Direktorat pimpinan Faizal saat ini sudah menyelesaikan kurikulum bela negara. Pembuatan kurikulum yang akan diaplikasikan ke seluruh Indonesia itu tidak hanya melibatkan Kemhan, tapi juga beberapa kementerian dan lembaga negara lain.
Meski diklaim berbeda dengan wajib militer, kata Ryamizard, warga perbatasan perlu menerima pendidikan dasar persenjataan pada pelatihan bela negara, sebab daerah perbatasan memiliki tingkat kerawanan militer lebih besar karena berhadapan langsung dengan potensi pelanggaran wilayah negara. (utd)Komisi I Pertanyakan Anggaran dan Aturan Bela NegaraUpacara peringatan Hari Bela Negara digelar di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat. (Detikcom/Agung Pambudhy)
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Tubagus Hasanudin menilai rencana Kementerian Pertahanan merekrut 100 juta orang sebagai kader bela negara sulit dimengerti. Kementerian Pertahanan menargetkan bisa merekrut 100 juta orang dalam tempo 10 tahun ke depan.
Menurut purnawirawan jenderal bintang dua itu, target tersebut terlampau fantastis jika dibandingkan dengan sarana pelatihan yang dimiliki Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kemenhan. Badiklat hanya mampu menampung 600 orang saja.
"10 juta orang per tahun atau 833 ribu orang per bulan, jumlah ini sangat fantastis," kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/10).
Ia juga mempertanyakan dasar hukum perekrutan. Selama ini aturan yang mengatur tentang bela negara dinilainya belum lengkap.
Baru satu ketentuan soal bela negara yakni Undang-undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat 1 yang berbunyi, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
Hal itu juga dijelaskan dalam Pasal 30 ayat 5 yang menyatakan, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan UU .
Bahkan dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan, ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.
Oleh karena itu Hasanuddin menilai, hingga saat ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur tentang bela negara. Apalagi aturan turunnya seperti peraturan presiden atau keputusan presiden.
"Tanpa Undang-undang Bela Negara dan tanpa aturan pendukungnya akan sulit mewujudkan kebijakan dan upaya bela negara itu," ujar Hasanuddin.
Hasanuddin juga menyatakan sampai saat ini DPR bersama pemerintah belum pernah membahas secara rinci terkait anggaran yang disiapkan untuk bela negara. Bahkan dia pun mempersoalkan anggaran yang disiapkan untuk melatih 100 juta warga menjadi kader bela negara.
Sebab, jika diandaikan dalam lima tahun kedepan, 100 juta warga dilatih sebanyak 50 juta orang, maka diperlukan anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah.
"Bila biaya pelatihan per orang Rp10 juta, maka dibutuhkan anggaran Rp500 triliun, uang dari mana?" katanya.
Pemerintah, kata Hasanuddin, saat ini sudah memangkas anggaran dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI. Kebutuhan alutsista tahun 2016 masih kurang Rp 36 triliun yang membuat target minimum esensial force (MEF) tahun 2019 sulit tercapai.
Oleh karenanya, menurut Hasanudin pemerintah perlu mengkaji ulang rencana bela negara dan lebih menentukan prioritas, disaat anggaran negara semakin terbatas.
Sebelumnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pembentukan kader bela negara dilakukan untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter. Namun program ini bukan bentuk lain dari wajib militer.
Ryamizard memaparkan, sistem perang rakyat semesta tidak hanya bergantung pada kekuatan Tentara Nasional Indonesia, tapi juga seluruh warga negara. Menurutnya, melalui pendidikan bela negara, warga sipil dapat menguasai dasar-dasar pertahanan. (sur)Bela Negara untuk Disiplikan Anak MudaPembentukan kader bela negara. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Politik, Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan bahwa pemerintah memang sedang mempersiapkan program bela negara bagi warga sipil.
Luhut membantah jika bela negara merupakan bentuk lain dari wajib militer yang diaplikasikan sejumlah negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Amerika Serikat. "Ini bukan wajib militer tapi program untuk mendisiplinkan anak-anak muda," ujarnya di Jakarta, Senin (12/10).
Luhut belum dapat memastikan berapa target kader bela negara yang dicanangkan pemerintah. "Kami masih ingin melihat berapa angka yang realistis," katanya.
Pagi tadi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menuturkan, dalam sepuluh tahun ke depan, pemerintah menargetkan setengah warga negara atau sekitar 100 juta warga sipil akan menyelesaikan program bela negara.
Kemhan berencana membuka program ini di 45 kabupaten dan kota, 19 Oktober mendatang, dengan program pembentukan kader pembina bela negara. "Setelah pembina terbentuk, tahun 2016 secara simultan kami akan membentuk kader bela untuk mencapai 100 juta kader dalam 10 tahun," tuturnya.
Ryamizard mengatakan, Presiden Joko Widodo akan mencanangkan grand desain program bela negara yang akan menjadi acuan setiap lembaga negara maupun seluruh organisasi masyarakat. Ia berkata, bela negara bukanlah tanggung jawab Kemhan semata, karena ke depan rencananya, pemerintah daerahlah yang diminta meneruskan program tersebut. (bag)
Kementerian Pertahanan membantah program bela negara merupakan bentuk lain dari wajib militer. Direktur Bela Negara Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kemhan, Laksamana Pertama Muhammad Faizal, mengatakan kementeriannya tidak meniru program wajib militer yang diaplikasikan Singapura, Korea Selatan, atau Amerika Serikat.
"Mereka menerapkan wajib militer, kalau kami wajib bela negara. Itu diatur Pasal 27 UUD 1945," ujar Faizal di Jakarta, Senin (12/10).
Pernyataan Faizal tadi meneruskan pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Riyacudu yang menyebut bela negara bertujuan membentuk disiplin pribadi yang kemudian akan berujung pada disiplin kelompok dan disiplin nasional.
"Kami tidak meniru siapa-siapa. Ini bukan wajib militer. Ini hak dan kewajiban. Hak boleh dituntut, tapi kewajiban harus dilaksanakan. Negara membolehkan demonstrasi, sekarang negara meminta warganya bela negara," ujar Ryamizard pada kesempatan yang sama.
Konstitusi melalui Pasal 27 ayat 3 UUD 45 mengatur setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Faizal berkata, aturan tersebut telah dijabarkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pasal 9 pada beleid tersebut menyebut keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dapat disalurkan melalui empat kategori, yakni pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian secara sukarela atau wajib oleh prajurit TNI, dan pengabdian sesuai profesi masing-masing warga.
Faizal menuturkan, pelatihan bela negara akan diselenggarakan satuan-satuan pendidikan TNI seperti resimen induk daerah militer selama 30 hari. Para peserta pelatihan akan diinapkan di asrama.
Direktorat pimpinan Faizal saat ini sudah menyelesaikan kurikulum bela negara. Pembuatan kurikulum yang akan diaplikasikan ke seluruh Indonesia itu tidak hanya melibatkan Kemhan, tapi juga beberapa kementerian dan lembaga negara lain.
Meski diklaim berbeda dengan wajib militer, kata Ryamizard, warga perbatasan perlu menerima pendidikan dasar persenjataan pada pelatihan bela negara, sebab daerah perbatasan memiliki tingkat kerawanan militer lebih besar karena berhadapan langsung dengan potensi pelanggaran wilayah negara. (utd)Komisi I Pertanyakan Anggaran dan Aturan Bela NegaraUpacara peringatan Hari Bela Negara digelar di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat. (Detikcom/Agung Pambudhy)
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Tubagus Hasanudin menilai rencana Kementerian Pertahanan merekrut 100 juta orang sebagai kader bela negara sulit dimengerti. Kementerian Pertahanan menargetkan bisa merekrut 100 juta orang dalam tempo 10 tahun ke depan.
Menurut purnawirawan jenderal bintang dua itu, target tersebut terlampau fantastis jika dibandingkan dengan sarana pelatihan yang dimiliki Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kemenhan. Badiklat hanya mampu menampung 600 orang saja.
"10 juta orang per tahun atau 833 ribu orang per bulan, jumlah ini sangat fantastis," kata Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/10).
Ia juga mempertanyakan dasar hukum perekrutan. Selama ini aturan yang mengatur tentang bela negara dinilainya belum lengkap.
Baru satu ketentuan soal bela negara yakni Undang-undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat 1 yang berbunyi, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
Hal itu juga dijelaskan dalam Pasal 30 ayat 5 yang menyatakan, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan UU .
Bahkan dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan, ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.
Oleh karena itu Hasanuddin menilai, hingga saat ini belum ada undang-undang yang khusus mengatur tentang bela negara. Apalagi aturan turunnya seperti peraturan presiden atau keputusan presiden.
"Tanpa Undang-undang Bela Negara dan tanpa aturan pendukungnya akan sulit mewujudkan kebijakan dan upaya bela negara itu," ujar Hasanuddin.
Hasanuddin juga menyatakan sampai saat ini DPR bersama pemerintah belum pernah membahas secara rinci terkait anggaran yang disiapkan untuk bela negara. Bahkan dia pun mempersoalkan anggaran yang disiapkan untuk melatih 100 juta warga menjadi kader bela negara.
Sebab, jika diandaikan dalam lima tahun kedepan, 100 juta warga dilatih sebanyak 50 juta orang, maka diperlukan anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah.
"Bila biaya pelatihan per orang Rp10 juta, maka dibutuhkan anggaran Rp500 triliun, uang dari mana?" katanya.
Pemerintah, kata Hasanuddin, saat ini sudah memangkas anggaran dalam pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI. Kebutuhan alutsista tahun 2016 masih kurang Rp 36 triliun yang membuat target minimum esensial force (MEF) tahun 2019 sulit tercapai.
Oleh karenanya, menurut Hasanudin pemerintah perlu mengkaji ulang rencana bela negara dan lebih menentukan prioritas, disaat anggaran negara semakin terbatas.
Sebelumnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pembentukan kader bela negara dilakukan untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter. Namun program ini bukan bentuk lain dari wajib militer.
Ryamizard memaparkan, sistem perang rakyat semesta tidak hanya bergantung pada kekuatan Tentara Nasional Indonesia, tapi juga seluruh warga negara. Menurutnya, melalui pendidikan bela negara, warga sipil dapat menguasai dasar-dasar pertahanan. (sur)Bela Negara untuk Disiplikan Anak MudaPembentukan kader bela negara. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Politik, Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan bahwa pemerintah memang sedang mempersiapkan program bela negara bagi warga sipil.
Luhut membantah jika bela negara merupakan bentuk lain dari wajib militer yang diaplikasikan sejumlah negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Amerika Serikat. "Ini bukan wajib militer tapi program untuk mendisiplinkan anak-anak muda," ujarnya di Jakarta, Senin (12/10).
Luhut belum dapat memastikan berapa target kader bela negara yang dicanangkan pemerintah. "Kami masih ingin melihat berapa angka yang realistis," katanya.
Pagi tadi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menuturkan, dalam sepuluh tahun ke depan, pemerintah menargetkan setengah warga negara atau sekitar 100 juta warga sipil akan menyelesaikan program bela negara.
Kemhan berencana membuka program ini di 45 kabupaten dan kota, 19 Oktober mendatang, dengan program pembentukan kader pembina bela negara. "Setelah pembina terbentuk, tahun 2016 secara simultan kami akan membentuk kader bela untuk mencapai 100 juta kader dalam 10 tahun," tuturnya.
Ryamizard mengatakan, Presiden Joko Widodo akan mencanangkan grand desain program bela negara yang akan menjadi acuan setiap lembaga negara maupun seluruh organisasi masyarakat. Ia berkata, bela negara bukanlah tanggung jawab Kemhan semata, karena ke depan rencananya, pemerintah daerahlah yang diminta meneruskan program tersebut. (bag)
★ CNN
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.