Liputan khusus Geladi kotor peringatan Hari Ulang Tahun TNI ke-70 di Pelabuhan Indah Kiat, Merak, Cilegon, Banten, Jumat (2/10). (Dokumen TNI Angkatan Laut) ★
Jokowi, beberapa pekan sebelum dilantik menjadi Presiden RI, sempat bertanya kepada Luhut Binsar Pandjaitan –kala itu Dewan Pengarah Tim Sukses Jokowi-JK– soal kondisi terkini alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Luhut, yang baru tiba dari Malang, lantas menjawab spontan, “Di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, masih ada skuadron pesawat angkut C-130 Hercules aktif yang pernah saya gunakan untuk terjun di Timor Timur pada akhir 1975.”
Mendengar jawaban itu, Jokowi langsung geleng-geleng kepala. Peristiwa itu dikisahkan Luhut awal Oktober 2014 melalui satu tulisan di blognya,luhutpandjaitan.com.
Saat itu pula, ujar Luhut, Jokowi mengatakan jika pertumbuhan nasional pada masanya bisa cukup baik, alokasi anggaran cukup besar akan ia kucurkan untuk TNI demi membentuk angkatan bersenjata yang kuat, modern, dan disegani.
Luhut kini telah menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Namun perekonomian nasional tak tumbuh semulus yang dibayangkan, bahkan mengalami perlambatan akibat ketidakpastian ekonomi global.
Akhir Agustus, Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi RI untuk tahun ini dan tahun depan. Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 4,7-5,1 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5-5,4 persen.
Sementara untuk 2016, pertumbuhan ekonomi direvisi menjadi 5,3-5,7 persen, juga lebih rendah dari perkiraan semula sebesar 5,4-5,8 persen. Ini menandakan betapa kondisi keuangan negara tak seperti yang diharapkan Jokowi di awal ia menjabat.
Meski demikian pada awal September, Menteri Pertahanan Ryzmizard Ryacudu mengumumkan kementeriannya akan membeli satu skuadron Sukhoi Su-35 dari Rusia. Tak tanggung-tanggung, Indonesia akan membeli 16 jet tempur canggih dengan kemampuan setara pesawat siluman itu.
Skuadron Sukhoi jenis teranyar itu akan menggantikan F-5 Tiger TNI Angkatan Udara yang usianya telah uzur. Soal harga tak perlu ditanya, luar biasa mahal. Satu unit Sukhoi diperkirakan menelan biaya US$ 65 juta atau sekitar Rp 951 miliar.
Namun Ryamizard tak khawatir. Menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu, sudah ada alokasi anggaran untuk pesawat-pesawat itu sebelum Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Lagi pula, kata dia, pembelian tak akan dilakukan sekaligus, melainkan secara bertahap dalam dua-tiga periode. Pun, pembelian skuadron Su-35 merupakan realisasi dari program yang telah dicanangkan TNI pada masa kepemimpinan Jenderal Moeldoko.
Rp 130 triliun per tahun
Terlepas dari harga Sukhoi siluman yang selangit itu, anggaran Tentara Nasional Indonesia untuk tahun depan mengalami peningkatan cukup signifikan setelah Komisi I DPR menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp 37 triliun dari Rp 96 triliun yang sebelumnya telah dialokasikan pemerintah.
Maka bila tak ada aral melintang pada pembahasan di Badan Anggaran DPR, TNI tahun 2016 akan mengantongi dana Rp 133 triliun, lebih banyak dari anggaran perubahan tahun ini sebesar Rp 102,3 triliun.
Jumlah anggaran tahun 2016 bakal menjadi yang tertinggi sejak era reformasi. Wajar karena anggaran pertahanan TNI dari tahun ke tahun selalu meningkat. Belum lagi kali ini TNI mesti mempertimbangkan tertekannya kurs Rupiah oleh Dolar AS.
Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyatakan anggaran Rp 130 triliun per tahun diperlukan apabila TNI hendak memenuhi minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimumnya.
“Paling tidak satu tahun berkisar Rp 130 triliun kalau kita mau mencapai 60 persen MEF dalam lima tahun ke depan seperti yang sudah direncanakan,” kata mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat itu kepada CNN Indonesia.
MEF merupakan program yang dicanangkan pemerintah RI mulai tahun 2007, pada era Susilo Bambang Yudhoyono, untuk memodernisasi alutsista TNI. MEF dibagi menjadi tiga rencana strategis hingga tahun 2024, meliputi kekuatan, persebaran, dan kemampuan alutsista serta prajurit TNI.
MEF, menurut TB –sapaan Tubagus Hasanuddin, disusun sebagai antisipasi Indonesia menghadapi berbagai jenis ancaman di tengah situasi geopolitik dunia yang terus berubah dan berkembang.
“Lima tahun lalu, intelijen, dari data yang mereka miliki, memperkirakan bahwa 15 tahun ke depan Indonesia akan punya masalah perbatasan di laut dan udara, termasuk penerobosan oleh angkatan perang negara lain, juga persoalan penyelundupan kayu. Semua itu sudah diprediksi. Maka kita harus memiliki kemampuan pertahanan minimal sekian sekian untuk menangkal ancaman itu,” kata TB.
Untuk tahun depan, anggaran Rp 133 triliun yang dimiliki TNI akan digunakan antara lain untuk belanja pegawai, pembelian suku cadang guna peremajaan alutsista, pelatihan militer untuk meningkatkan kemampuan prajurit, dan belanja alutsista baru.
Jumlah anggaran lebih dari Rp 100 triliun kian krusial karena pemerintah Jokowi mengusung visi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Untuk membangun poros maritim, kita perlu unggul di laut dan udara,” kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, usai lembaganya meminta tambahan anggaran ke Komisi I DPR dan pemerintah, awal September.
Salah satu cara mencapai keunggulan itu tentu saja melalui anggaran yang mencukupi.
“Tambahan anggaran Rp 37 triliun itu untuk semua matra di TNI. Tapi memang porsi paling besar untuk Angkatan Laut karena AL hendak diperkuat seiring visi poros maritim pemerintah. Konsentrasinya di laut,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya.
Ucapan Tantowi itu diamini TB. “Kalau bicara MEF, proyeksinya ya ke laut,” ujar dia.
MEF, kata TB, tak bakal tercapai apabila anggaran TNI dikurangi menjadi di bawah Rp 130 triliun. Lebih parah, program yang sudah disusun sejak era SBY bisa menjadi kacau, dan target pertahanan negara di masa depan tak bakal terpenuhi.
“Kalau target tak tercapai, bagaimana kita mampu membangun kemampuan TNI, terutama di wilayah perbatasan? Masak membangun pertahanan di satu titik saja? Kalau nanti musuh masuk dari tempat lain kan repot,” kata TB.
Saat ini alutsista TNI baru mencapai 38 persen MEF, dan diproyeksikan memenuhi 60 persen MEF pada 2019, ketika pemerintahan periode ini berakhir. Empat tahun ke depan, TNI ditargetkan memiliki empat-lima skuadron tempur di udara dan laut, termasuk kapal-kapal selam.
Efek gentar
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Kolonel Laut M Zainuddin, mengatakan Angkatan Laut mendapat alokasi Rp 14,5 triliun dari tambahan anggaran Rp 37 triliun yang didapat TNI. Dengan jumlah itu, ia berharap peremajaan alutsista dapat terwujud.
“Kapal kami berjumlah 145, tapi 50 persen di antaranya perlu peremajaan. Padahal bila merujuk konsep rencana strategi MEF, TNI AL butuh minimal 154 KRI (kapal perang RI) dalam kondisi siap berlayar dan bertempur," kata Zainuddin.
Kini dengan tambahan anggaran Rp 14,5 triliun, TNI AL siap mengoptimalkan alutsista yang sudah ada, dan menyukseskan visi poros maritim pemerintahan Jokowi.
“TNI AL sudah memesan 12 kapal selam. Kapal-kapal itu akan berdampak luar biasa, berfungsi sebagai deterrent effect (efek gentar) bagi mereka yang kerap menyusup di wilayah RI,” ujar Zainuddin.
Selusin kapal selam itu bakal didatangkan secara bertahap, dan dianggap sangat berguna untuk mencegah pelanggaran wilayah RI serta pencurian sumber daya alam di perairan nusantara yang begitu luas. Peran vital lain Angkatan Laut dalam poros maritim ialah terkait tol laut, yakni jalur yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia dari barat ke timur. Konsep ini dimunculkan pemerintah Jokowi untuk mempermudah distribusi barang sehingga ketimpangan biaya logistik di kawasan barat dan timur RI dapat dicegah.
“Banyak bantuan kementerian ke daerah-daerah yang didistribusikan menggunakan KRI. Kapal kami mengangkut berbagai kebutuhan masyarakat, dari sarana pendidikan sampai alat berat,” kata Zainuddin.
Selain Angkatan Laut, Angkatan Udara menjadi tumpuan poros maritim. “Kalau bicara poros maritim, TNI AU tak bisa ditinggalkan karena transportasi yang paling cepat itu pesawat kami,” kata Kepala Dinas Penerangan AU Marsekal Pertama Dwi Badarmanto.
Dwi mengatakan TNI AU amat mendukung visi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu pula AU mengusulkan pembelian pesawat angkut jenis sedang dan ringan kepada pemerintah.
“Bila bicara soal kekuatan udara yang ideal, alutsista kami masih kurang. Anggaran TNI AU baru 30 persen dari ideal. Belum 100 persen memenuhi MEF. Semua itu tergantung kemampuan pemerintah. Berapa banyak pemerintah punya uang, kami menyesuaikan,” ujar mantan Asisten Deputi Koordinator Strategi Politik Luar Negeri Kementerian Politik Hukum dan Keamanan itu.
Lantas bagaimana dengan posisi Angkatan Darat dalam poros maritim Jokowi? Luhut dalam tulisannya, TNI “Baru” yang Disegani, menyebut AD tak lantas berada di belakang. Prajurit AD diproyeksikan dapat bergerak cepat dari satu wilayah ke wilayah lain. Fleksibilitas mobilitas mereka akan berperan penting.
“Poros maritim bukan berarti hanya Angkatan Laut yang jadi perhatian. Indonesia amat luas. Seluruh daratan dan lautan harus dijaga,” kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Brigadir Jenderal Mohamad Sabrar Fadhilah.
Soal anggaran yang didapat AD, menurut Fadhilah, belum tentu akan dipergunakan untuk membeli alutsista, melainkan lebih untuk meremajakan alutsista yang telah mereka miliki saat ini.
“Kami tata kembali berdasarkan prioritas. Pembelian alutsista sementara kami kurangi. Kami menyesuaikan dengan anggaran. Program yang sudah ada dijalankan,” ujar mantan ajudan Wakil Presiden Boediono itu, tanpa menyebut berapa persisnya jumlah anggaran yang diperoleh AD.
Fadhilah mengatakan tugas TNI, baik AD, AL, dan AU, sesungguhnya sama, yakni menegakkan kedaulatan dan melindungi bangsa.
Poros maritim yang diusung pemerintah Jokowi saat ini, kata dia, menegaskan bahwa lautan merupakan pemersatu bangsa, bukan pemisah.
Angkatan Darat, ujar Fadhilah, siap membangun bersama Indonesia menjadi poros maritim dunia sesuai amanat Presiden: samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban Indonesia.
Jokowi, beberapa pekan sebelum dilantik menjadi Presiden RI, sempat bertanya kepada Luhut Binsar Pandjaitan –kala itu Dewan Pengarah Tim Sukses Jokowi-JK– soal kondisi terkini alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Luhut, yang baru tiba dari Malang, lantas menjawab spontan, “Di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, masih ada skuadron pesawat angkut C-130 Hercules aktif yang pernah saya gunakan untuk terjun di Timor Timur pada akhir 1975.”
Mendengar jawaban itu, Jokowi langsung geleng-geleng kepala. Peristiwa itu dikisahkan Luhut awal Oktober 2014 melalui satu tulisan di blognya,luhutpandjaitan.com.
Saat itu pula, ujar Luhut, Jokowi mengatakan jika pertumbuhan nasional pada masanya bisa cukup baik, alokasi anggaran cukup besar akan ia kucurkan untuk TNI demi membentuk angkatan bersenjata yang kuat, modern, dan disegani.
Luhut kini telah menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Namun perekonomian nasional tak tumbuh semulus yang dibayangkan, bahkan mengalami perlambatan akibat ketidakpastian ekonomi global.
Akhir Agustus, Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi RI untuk tahun ini dan tahun depan. Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 4,7-5,1 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5-5,4 persen.
Sementara untuk 2016, pertumbuhan ekonomi direvisi menjadi 5,3-5,7 persen, juga lebih rendah dari perkiraan semula sebesar 5,4-5,8 persen. Ini menandakan betapa kondisi keuangan negara tak seperti yang diharapkan Jokowi di awal ia menjabat.
Meski demikian pada awal September, Menteri Pertahanan Ryzmizard Ryacudu mengumumkan kementeriannya akan membeli satu skuadron Sukhoi Su-35 dari Rusia. Tak tanggung-tanggung, Indonesia akan membeli 16 jet tempur canggih dengan kemampuan setara pesawat siluman itu.
Skuadron Sukhoi jenis teranyar itu akan menggantikan F-5 Tiger TNI Angkatan Udara yang usianya telah uzur. Soal harga tak perlu ditanya, luar biasa mahal. Satu unit Sukhoi diperkirakan menelan biaya US$ 65 juta atau sekitar Rp 951 miliar.
Namun Ryamizard tak khawatir. Menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu, sudah ada alokasi anggaran untuk pesawat-pesawat itu sebelum Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Lagi pula, kata dia, pembelian tak akan dilakukan sekaligus, melainkan secara bertahap dalam dua-tiga periode. Pun, pembelian skuadron Su-35 merupakan realisasi dari program yang telah dicanangkan TNI pada masa kepemimpinan Jenderal Moeldoko.
Rp 130 triliun per tahun
Terlepas dari harga Sukhoi siluman yang selangit itu, anggaran Tentara Nasional Indonesia untuk tahun depan mengalami peningkatan cukup signifikan setelah Komisi I DPR menyetujui tambahan anggaran sebesar Rp 37 triliun dari Rp 96 triliun yang sebelumnya telah dialokasikan pemerintah.
Maka bila tak ada aral melintang pada pembahasan di Badan Anggaran DPR, TNI tahun 2016 akan mengantongi dana Rp 133 triliun, lebih banyak dari anggaran perubahan tahun ini sebesar Rp 102,3 triliun.
Jumlah anggaran tahun 2016 bakal menjadi yang tertinggi sejak era reformasi. Wajar karena anggaran pertahanan TNI dari tahun ke tahun selalu meningkat. Belum lagi kali ini TNI mesti mempertimbangkan tertekannya kurs Rupiah oleh Dolar AS.
Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyatakan anggaran Rp 130 triliun per tahun diperlukan apabila TNI hendak memenuhi minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimumnya.
“Paling tidak satu tahun berkisar Rp 130 triliun kalau kita mau mencapai 60 persen MEF dalam lima tahun ke depan seperti yang sudah direncanakan,” kata mantan perwira tinggi TNI Angkatan Darat itu kepada CNN Indonesia.
MEF merupakan program yang dicanangkan pemerintah RI mulai tahun 2007, pada era Susilo Bambang Yudhoyono, untuk memodernisasi alutsista TNI. MEF dibagi menjadi tiga rencana strategis hingga tahun 2024, meliputi kekuatan, persebaran, dan kemampuan alutsista serta prajurit TNI.
MEF, menurut TB –sapaan Tubagus Hasanuddin, disusun sebagai antisipasi Indonesia menghadapi berbagai jenis ancaman di tengah situasi geopolitik dunia yang terus berubah dan berkembang.
“Lima tahun lalu, intelijen, dari data yang mereka miliki, memperkirakan bahwa 15 tahun ke depan Indonesia akan punya masalah perbatasan di laut dan udara, termasuk penerobosan oleh angkatan perang negara lain, juga persoalan penyelundupan kayu. Semua itu sudah diprediksi. Maka kita harus memiliki kemampuan pertahanan minimal sekian sekian untuk menangkal ancaman itu,” kata TB.
Untuk tahun depan, anggaran Rp 133 triliun yang dimiliki TNI akan digunakan antara lain untuk belanja pegawai, pembelian suku cadang guna peremajaan alutsista, pelatihan militer untuk meningkatkan kemampuan prajurit, dan belanja alutsista baru.
Jumlah anggaran lebih dari Rp 100 triliun kian krusial karena pemerintah Jokowi mengusung visi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Untuk membangun poros maritim, kita perlu unggul di laut dan udara,” kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, usai lembaganya meminta tambahan anggaran ke Komisi I DPR dan pemerintah, awal September.
Salah satu cara mencapai keunggulan itu tentu saja melalui anggaran yang mencukupi.
“Tambahan anggaran Rp 37 triliun itu untuk semua matra di TNI. Tapi memang porsi paling besar untuk Angkatan Laut karena AL hendak diperkuat seiring visi poros maritim pemerintah. Konsentrasinya di laut,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya.
Ucapan Tantowi itu diamini TB. “Kalau bicara MEF, proyeksinya ya ke laut,” ujar dia.
MEF, kata TB, tak bakal tercapai apabila anggaran TNI dikurangi menjadi di bawah Rp 130 triliun. Lebih parah, program yang sudah disusun sejak era SBY bisa menjadi kacau, dan target pertahanan negara di masa depan tak bakal terpenuhi.
“Kalau target tak tercapai, bagaimana kita mampu membangun kemampuan TNI, terutama di wilayah perbatasan? Masak membangun pertahanan di satu titik saja? Kalau nanti musuh masuk dari tempat lain kan repot,” kata TB.
Saat ini alutsista TNI baru mencapai 38 persen MEF, dan diproyeksikan memenuhi 60 persen MEF pada 2019, ketika pemerintahan periode ini berakhir. Empat tahun ke depan, TNI ditargetkan memiliki empat-lima skuadron tempur di udara dan laut, termasuk kapal-kapal selam.
Efek gentar
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Kolonel Laut M Zainuddin, mengatakan Angkatan Laut mendapat alokasi Rp 14,5 triliun dari tambahan anggaran Rp 37 triliun yang didapat TNI. Dengan jumlah itu, ia berharap peremajaan alutsista dapat terwujud.
“Kapal kami berjumlah 145, tapi 50 persen di antaranya perlu peremajaan. Padahal bila merujuk konsep rencana strategi MEF, TNI AL butuh minimal 154 KRI (kapal perang RI) dalam kondisi siap berlayar dan bertempur," kata Zainuddin.
Kini dengan tambahan anggaran Rp 14,5 triliun, TNI AL siap mengoptimalkan alutsista yang sudah ada, dan menyukseskan visi poros maritim pemerintahan Jokowi.
“TNI AL sudah memesan 12 kapal selam. Kapal-kapal itu akan berdampak luar biasa, berfungsi sebagai deterrent effect (efek gentar) bagi mereka yang kerap menyusup di wilayah RI,” ujar Zainuddin.
Selusin kapal selam itu bakal didatangkan secara bertahap, dan dianggap sangat berguna untuk mencegah pelanggaran wilayah RI serta pencurian sumber daya alam di perairan nusantara yang begitu luas. Peran vital lain Angkatan Laut dalam poros maritim ialah terkait tol laut, yakni jalur yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia dari barat ke timur. Konsep ini dimunculkan pemerintah Jokowi untuk mempermudah distribusi barang sehingga ketimpangan biaya logistik di kawasan barat dan timur RI dapat dicegah.
“Banyak bantuan kementerian ke daerah-daerah yang didistribusikan menggunakan KRI. Kapal kami mengangkut berbagai kebutuhan masyarakat, dari sarana pendidikan sampai alat berat,” kata Zainuddin.
Selain Angkatan Laut, Angkatan Udara menjadi tumpuan poros maritim. “Kalau bicara poros maritim, TNI AU tak bisa ditinggalkan karena transportasi yang paling cepat itu pesawat kami,” kata Kepala Dinas Penerangan AU Marsekal Pertama Dwi Badarmanto.
Dwi mengatakan TNI AU amat mendukung visi pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu pula AU mengusulkan pembelian pesawat angkut jenis sedang dan ringan kepada pemerintah.
“Bila bicara soal kekuatan udara yang ideal, alutsista kami masih kurang. Anggaran TNI AU baru 30 persen dari ideal. Belum 100 persen memenuhi MEF. Semua itu tergantung kemampuan pemerintah. Berapa banyak pemerintah punya uang, kami menyesuaikan,” ujar mantan Asisten Deputi Koordinator Strategi Politik Luar Negeri Kementerian Politik Hukum dan Keamanan itu.
Lantas bagaimana dengan posisi Angkatan Darat dalam poros maritim Jokowi? Luhut dalam tulisannya, TNI “Baru” yang Disegani, menyebut AD tak lantas berada di belakang. Prajurit AD diproyeksikan dapat bergerak cepat dari satu wilayah ke wilayah lain. Fleksibilitas mobilitas mereka akan berperan penting.
“Poros maritim bukan berarti hanya Angkatan Laut yang jadi perhatian. Indonesia amat luas. Seluruh daratan dan lautan harus dijaga,” kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Brigadir Jenderal Mohamad Sabrar Fadhilah.
Soal anggaran yang didapat AD, menurut Fadhilah, belum tentu akan dipergunakan untuk membeli alutsista, melainkan lebih untuk meremajakan alutsista yang telah mereka miliki saat ini.
“Kami tata kembali berdasarkan prioritas. Pembelian alutsista sementara kami kurangi. Kami menyesuaikan dengan anggaran. Program yang sudah ada dijalankan,” ujar mantan ajudan Wakil Presiden Boediono itu, tanpa menyebut berapa persisnya jumlah anggaran yang diperoleh AD.
Fadhilah mengatakan tugas TNI, baik AD, AL, dan AU, sesungguhnya sama, yakni menegakkan kedaulatan dan melindungi bangsa.
Poros maritim yang diusung pemerintah Jokowi saat ini, kata dia, menegaskan bahwa lautan merupakan pemersatu bangsa, bukan pemisah.
Angkatan Darat, ujar Fadhilah, siap membangun bersama Indonesia menjadi poros maritim dunia sesuai amanat Presiden: samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban Indonesia.
♞ CNN
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.