Jakarta ♞ Dulu Indonesia dikenal sebagai negeri kaya minyak. Bahkan Indonesia juga mengekspor hasil produksi minyak ke sejumlah negara dan menjadi salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) sejak 1961.
Namun, turunnya produksi minyak membuat Indonesia harus tercoret dari daftar negara kaya minyak. Pasalnya, Indonesia sudah menjadi importir minyak, sejak 2003. Hal ini semakin ditegaskan pada Mei 2008, Indonesia mengumumkan telah mengajukan surat untuk keluar dari keanggotaannya di OPEC pada akhir 2008.
Kini di tengah terus menurunnya produksi, konsumsi minyak kian melonjak. Alhasil, Indonesia kini harus bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Apa saja yang membuat Indonesia menjadi negara importir minyak? Berikut Berikut ulasan lengkapnya seperti pernah ditulis Liputan6.com, Jumat (27/12/2013):
Kisah Manis dan Pahit Minyak RI
Indonesia melenggang masuk menjadi anggota OPEC pada 1961. Saat itu, Indonesia juga merupakan satu-satunya wakil Asia di OPEC.
Dalam sejarah perminyakan, Indonesia telah dua kali mengalami puncak produksi, yaitu tahun 1977 ketika produksi minyak mencapai 1,65 juta barel per hari (bph). Produksi sebesar itu dihasilkan dari kegiatan produksi yang dilakukan secara primary recovery.
Puncak produksi kedua terjadi tahun 1995 saat produksi minyak kembali pada kisaran 1,6 juta bph. Puncak produksi ini dapat dicapai dari hasil kegiatan Enhance Oil Recovery (EOR) yang dilakukan oleh Chevron, yaitu injeksi air (waterflood) di salah satu lapangannya berhasil meningkatkan produksi dari 12 ribu barel per hari menjadi 32 ribu barel per hari, serta Injeksi uap (steamflood) di lapangan Duri yang terbukti mampu meningkatkan produksi dari 30 ribu barel per hari menjadi 296 ribu barel per hari.
Dengan produksi 1,6 juta barel, saat itu konsumsi minyak Indonesia hanya 800 ribu bph sehingga Indonesia mampu mengekspor minyak.
Namun, Indonesia tidak bisa mempertahankan prestasinya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi minyak mentah terus menurun sejak 1997 yang turun menjadi 1,557 juta bph. Kemudian pada 2006 turun lagi menjadi 1,071 juta bph. Bahkan pada 2007, produksi minyak Indonesia berada di bawah 1 juta bph yaitu 952 ribu bph dan terus merosot.
Hal itulah yang membuat Indonesia mengajukan surat keluar dari anggota APEC pada Mei 2008. Menurut Purnomo Yusgiantoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri ESDM, status Indonesia sebagai negara pengimpor minyak dengan tingkat produksi yang terus menurun menyebabkan Indonesia memiliki perbedaan kepentingan dengan OPEC. Lagipula sejak 2003, Indonesia sudah menjadi importir minyak.
Produksi Minyak yang Kian Menipis
Dari tahun ke tahun, produksi minyak Indonesia terus merosot. Sempat menyentuh produksi puncak 1,6 juta bph, kini Indonesia hanya mampu memproduksi minyak setengahnya yaitu 826 ribu bph.
Kepala Plt Satuan Kerja Khusus Pelaksan kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Yohanes Widjonarko mengakui produksi minyak Indonesia terus menurun hingga 30%. Salah satu penyebabnya adalah semakin tuanya ladang-ladang minyak yang ada di Indonesia.
Kondisi itu semakin diperparah karena tidak adanya penemuan cadangan minyak dalam jumlah besar. Alhasil Indonesia hanya mengeruk cadangan minyak yang ada.
Dalam lima tahun terakhir rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi (reserves replacement ratio/RRR) sekitar 52%. Padahal idealnya, angka reserves replacement ratio di atas 100% agar setiap satu barel minyak yang diproduksi dapat diimbangi dengan penemuan cadangan dari kegiatan eksplorasi yang hasilnya lebih dari satu barel.
"Dari 321 wilayah kerja, lima tahun terakhir RRR minyak turun 52%, artinya cadangan minyak lebih rendah dibanding yang diproduksi," kata Widjonarko di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2013.
Data SKK Migas menunjukkan cadangan minyak RI terus menurun. Pada awal 2012, cadangan minyak Indonesia berada di level 3,74 miliar barel, namun di awal tahun ini turun 150,39 juta barel menjadi 3,59 miliar barel. Jika kegiatan eksplorasi tidak digencarkan, cadangan minyak Indonesia bakal segera habis dalam 12 tahun.
Ada banyaknya kendala telah membuat investor enggan melakukan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan baru. "Kurangnya insentif, sosial, ekonomi, teknis, dan regulasi," ungkap dia.
Sementara itu, untuk menggenjot produksi minyak dari lapangan yang sudah tua membutuhkan teknologi tinggi seperti EOR. Semakin tua lapangan maka biaya produksinya lebih tinggi.
Impor Jadi Pilihan
Kepala Plt Satuan Kerja Khusus Pelaksan kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Yohanes Widjonarko mengakui produksi minyak Indonesia terus menurun hingga 30%. Salah satu penyebabnya adalah semakin tuanya ladang-ladang minyak yang ada di Indonesia.
Kondisi itu semakin diperparah karena tidak adanya penemuan cadangan minyak dalam jumlah besar. Alhasil Indonesia hanya mengeruk cadangan minyak yang ada.
Dalam lima tahun terakhir rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi (reserves replacement ratio/RRR) sekitar 52%. Padahal idealnya, angka reserves replacement ratio di atas 100% agar setiap satu barel minyak yang diproduksi dapat diimbangi dengan penemuan cadangan dari kegiatan eksplorasi yang hasilnya lebih dari satu barel.
"Dari 321 wilayah kerja, lima tahun terakhir RRR minyak turun 52%, artinya cadangan minyak lebih rendah dibanding yang diproduksi," kata Widjonarko di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2013.
Data SKK Migas menunjukkan cadangan minyak RI terus menurun. Pada awal 2012, cadangan minyak Indonesia berada di level 3,74 miliar barel, namun di awal tahun ini turun 150,39 juta barel menjadi 3,59 miliar barel. Jika kegiatan eksplorasi tidak digencarkan, cadangan minyak Indonesia bakal segera habis dalam 12 tahun.
Ada banyaknya kendala telah membuat investor enggan melakukan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan baru. "Kurangnya insentif, sosial, ekonomi, teknis, dan regulasi," ungkap dia.
Sementara itu, untuk menggenjot produksi minyak dari lapangan yang sudah tua membutuhkan teknologi tinggi seperti EOR. Semakin tua lapangan maka biaya produksinya lebih tinggi.
Impor Jadi Pilihan
Di tengah menurunnya produksi minyak Indonesia, jumlah BBM yang dikonsumsi masyarakat di Tanah Air justru semakin besar sejalan dengan terus tumbuhnya ekonomi Indonesia.
Data PT Pertamina (Persero) menunjukkan konsumsi solar naik 21% dan premium naik 14% dalam setahun terakhir. Dalam sehari, konsumsi BBM masyarakat Indonesia mencapai 1,5 juta bph, sementara produksi minyak nasional sekitar 840 ribu bph.
Tak ada pilihan lain, opsi impor harus diambil. Saat ini Indonesia tercatat mengimpor minyak mentah dan BBM sebanyak 765 ribu bph guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sejauh ini, persentase untuk produksi dalam negeri dan impor minyak mentah saja mencapai masing-masing berjumlah 61% dan 39%. Minyak mentah impor yang diimpor Pertamina paling banyak berasal dari Saudi Arabia sebesar 34,67%, impor minyak mentah kedua berasal dari wilayah Mediterania 31,11%, Afrika Barat 25,79% , Asia Pasifik 5,25% dan pecaha Uni Soviet 3,18%.
Terakhir Bangun Kilang Zaman Soeharto
Data PT Pertamina (Persero) menunjukkan konsumsi solar naik 21% dan premium naik 14% dalam setahun terakhir. Dalam sehari, konsumsi BBM masyarakat Indonesia mencapai 1,5 juta bph, sementara produksi minyak nasional sekitar 840 ribu bph.
Tak ada pilihan lain, opsi impor harus diambil. Saat ini Indonesia tercatat mengimpor minyak mentah dan BBM sebanyak 765 ribu bph guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sejauh ini, persentase untuk produksi dalam negeri dan impor minyak mentah saja mencapai masing-masing berjumlah 61% dan 39%. Minyak mentah impor yang diimpor Pertamina paling banyak berasal dari Saudi Arabia sebesar 34,67%, impor minyak mentah kedua berasal dari wilayah Mediterania 31,11%, Afrika Barat 25,79% , Asia Pasifik 5,25% dan pecaha Uni Soviet 3,18%.
Terakhir Bangun Kilang Zaman Soeharto
Tak hanya produksi minyak, masalah fasilitas pengolahan minyak juga menjadi kendala dalam pemenuhan konsumsi BBM di dalam negeri. Data menunjukkan, Pertamina hanya memiliki 6 kilang pengolahan minyak di Indonesia.
Kilang minyak Pangkalan Brandan yang kini sudah tidak beroperasi merupakan salah satu cikal bakal kilang minyak Pertamina yang dibangun sejak penjajahan Belanda. Kilang lain seperti Plaju dan Balikpapan juga warisan zaman Belanda.
Meski baru resmi berdiri sejak 10 Desember 1957, jejak kilang PT Pertamina (Persero) sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Meski begitu sepanjang rentang sejarahnya, Pertamina kini tercatat hanya memiliki enam unit kilang minyak yang memiliki kapasitas 1,05 juta barel per hari (bph).
Keenam kilang milik Pertamina yaitu Kilang Dumai, Kilang plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong.
Dari total kapasitas kilang tersebut, hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu-800 ribu bph. Sementara, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini mencapai 1,5 juta-1,6 juta bph dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu membuat jumlah impor minyak dan BBM Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya.
Rendahnya produksi BBM domestik disebabkan perusahaan migas pelat merah itu tidak menambah kilang sejak tahun 1995. Kilang terakhir yang dibangun Pertamina yaitu kilang Balongan pada 1994.
"Terakhir kita bangun kilang itu pas zaman pemerintahan Soeharto. Setelah itu, tidak ada kilang dibangun. Semua hanya sebatas wacana," jelas Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 19 Juni 2013.
Sebenarnya pemerintah sudah menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembangunan kilang dengan pemerintah negara lain maupun perusahaan asing. Sejumlah negara yang sudah menyatakan kesiapannya untuk membangun kilang di Tanah Air yaitu Jepang, Iran, Saudi Arabia dan Kuwait, namun tidak ada satupun yang dieksekusi pemerintah.
"Dulu alasannya biaya besar dan margin kecil, lalu belakangan setelah sudah banyak yang minat investasi, isunya beralih dari insentif tax holiday dan pembebasan bea masuk yang diminta investor. Aturan tax holiday bea masuk sudah ada, nyatanya sampai sekarang masih tidak jalan," ungkap Marwan.
Lambatnya penambahan kilang di Indonesia, menurut Marwan, tak lepas dari pengaruh mafia minyak yang diuntungkan dari aktivitas impor BBM di Tanah Air.
Jika pemerintah berniat menambah kapasitas kilang, harusnya Indonesia mencontoh India yang dalam tiga tahun bisa membangun kilang besar dengan kapasitas 1,1 juta bph. Proyek itu bahkan dibangun perusahaan lokal India. "India sekarang punya kompleks kilang minyak terbesar di dunia," papar Marwan.
Beri Subsidi Besar-besaran
Kilang minyak Pangkalan Brandan yang kini sudah tidak beroperasi merupakan salah satu cikal bakal kilang minyak Pertamina yang dibangun sejak penjajahan Belanda. Kilang lain seperti Plaju dan Balikpapan juga warisan zaman Belanda.
Meski baru resmi berdiri sejak 10 Desember 1957, jejak kilang PT Pertamina (Persero) sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Meski begitu sepanjang rentang sejarahnya, Pertamina kini tercatat hanya memiliki enam unit kilang minyak yang memiliki kapasitas 1,05 juta barel per hari (bph).
Keenam kilang milik Pertamina yaitu Kilang Dumai, Kilang plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong.
Dari total kapasitas kilang tersebut, hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu-800 ribu bph. Sementara, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini mencapai 1,5 juta-1,6 juta bph dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu membuat jumlah impor minyak dan BBM Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya.
Rendahnya produksi BBM domestik disebabkan perusahaan migas pelat merah itu tidak menambah kilang sejak tahun 1995. Kilang terakhir yang dibangun Pertamina yaitu kilang Balongan pada 1994.
"Terakhir kita bangun kilang itu pas zaman pemerintahan Soeharto. Setelah itu, tidak ada kilang dibangun. Semua hanya sebatas wacana," jelas Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu 19 Juni 2013.
Sebenarnya pemerintah sudah menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembangunan kilang dengan pemerintah negara lain maupun perusahaan asing. Sejumlah negara yang sudah menyatakan kesiapannya untuk membangun kilang di Tanah Air yaitu Jepang, Iran, Saudi Arabia dan Kuwait, namun tidak ada satupun yang dieksekusi pemerintah.
"Dulu alasannya biaya besar dan margin kecil, lalu belakangan setelah sudah banyak yang minat investasi, isunya beralih dari insentif tax holiday dan pembebasan bea masuk yang diminta investor. Aturan tax holiday bea masuk sudah ada, nyatanya sampai sekarang masih tidak jalan," ungkap Marwan.
Lambatnya penambahan kilang di Indonesia, menurut Marwan, tak lepas dari pengaruh mafia minyak yang diuntungkan dari aktivitas impor BBM di Tanah Air.
Jika pemerintah berniat menambah kapasitas kilang, harusnya Indonesia mencontoh India yang dalam tiga tahun bisa membangun kilang besar dengan kapasitas 1,1 juta bph. Proyek itu bahkan dibangun perusahaan lokal India. "India sekarang punya kompleks kilang minyak terbesar di dunia," papar Marwan.
Beri Subsidi Besar-besaran
Meski sudah menjadi negara importir minyak, Indonesia hingga kini masih memberikan subsidi BBM buat rakyatnya. Dana subsidi ini selalu dicantumkan dalam Anggaran Belanja Pendapatan Negara (APBN). Uang yang dikucurkan untuk subsidi BBM dari tahun ke tahun terus meningkat.
Pada 2009, pemerintah telah menggelontorkan dana subsidi BBM Rp 45 triliun. Seiring dengan meningkatkanya konsumsi BBM di Tanah Air, subsidi BBM tahun ini diprediksi bisa menembus Rp 224 triliun.
Untuk mengurangi besaran subsidi BBM sebenarnya pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar mulai Sabtu, 22 Juni 2013 pukul 00.00 WIB. Harga premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500 per liter.
Bukan oleh Presiden, kenaikan harga diumumkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Keekonomian, Lapangan Banteng Jakarta.
Meski sudah dinaikkan, pemerintah mengaku masih memberikan subsidi BBM yang cukup besar bagi rakyat. Sebenarnya dengan dana itu, Indonesia bisa membangun banyak infrastruktur seperti pembangkit listrik, jalan tol dan kilang minyak.
Cara Efektif Tekan Impor Minyak
Pada 2009, pemerintah telah menggelontorkan dana subsidi BBM Rp 45 triliun. Seiring dengan meningkatkanya konsumsi BBM di Tanah Air, subsidi BBM tahun ini diprediksi bisa menembus Rp 224 triliun.
Untuk mengurangi besaran subsidi BBM sebenarnya pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar mulai Sabtu, 22 Juni 2013 pukul 00.00 WIB. Harga premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500 per liter.
Bukan oleh Presiden, kenaikan harga diumumkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Keekonomian, Lapangan Banteng Jakarta.
Meski sudah dinaikkan, pemerintah mengaku masih memberikan subsidi BBM yang cukup besar bagi rakyat. Sebenarnya dengan dana itu, Indonesia bisa membangun banyak infrastruktur seperti pembangkit listrik, jalan tol dan kilang minyak.
Cara Efektif Tekan Impor Minyak
Ada beberapa cara yang bisa diambil Indonesia untuk menekan konsumsi Impor minyak. Salah satunya mengalihkan konsumsi BBM ke gas.
Langkah pertama yang bisa diambil pemerintah yaitu dengan merealisasikan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Pasalnya, harga gas jauh lebih murah dari BBM. Saat ini harga keekonomian BBM mencapai Rp 9.500-Rp 10 ribu per liter, sementara gas hanya Rp 4.100 per liter setara premium (lsp).
Tak hanya impor BBM yang bisa ditekan, subsidi BBM juga bisa turun drastis. Apalagi harga premium dan solar saat ini lebih mahal dari gas, yaitu Rp 6.500 untuk premium dan solar Rp 5.500.
Penggunaan gas untuk bahan bakar kendaraan juga diterapkan di banyak negara. Selain lebih murah, gas juga energi yang ramah lingkungan.
Menurut Pengamat Energi Darmawan Prasodjo, pemerintah harus cepat bergerak agar program ini bisa terealisasi. Mengingat, Indonesia juga memiliki sejumlah proyek gas skala besar yang sedang dikembangkan sehingga nantinya bisa memasok gas lebih banyak ke domestik.
"Contoh di Pakistan saja sudah pakai 70%-80% gas, padahal negara itu tidak punya gas. Pakistan rela beli gas dari spot market karena keekonomian memang lebih baik dari BBM," ungkap lulusan dari Texas A & M University tersebut.
Opsi lain yang bisa diambil yaitu mengembangkan ethanol sebagai pengganti BBM. Pengembangan ethanol sebaiknya tidak menggunakan bahan baku minyak jarak karena tidak ekonomis, tapi memakai singkong gajah.
Pemanfaatan ethanol sebagai bahan bakar bisa membantu Indonesia mengurangi impor minyak dan BBM dari sejumlah negara Timur Tengah.(Sis/Ndw/*)
Langkah pertama yang bisa diambil pemerintah yaitu dengan merealisasikan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Pasalnya, harga gas jauh lebih murah dari BBM. Saat ini harga keekonomian BBM mencapai Rp 9.500-Rp 10 ribu per liter, sementara gas hanya Rp 4.100 per liter setara premium (lsp).
Tak hanya impor BBM yang bisa ditekan, subsidi BBM juga bisa turun drastis. Apalagi harga premium dan solar saat ini lebih mahal dari gas, yaitu Rp 6.500 untuk premium dan solar Rp 5.500.
Penggunaan gas untuk bahan bakar kendaraan juga diterapkan di banyak negara. Selain lebih murah, gas juga energi yang ramah lingkungan.
Menurut Pengamat Energi Darmawan Prasodjo, pemerintah harus cepat bergerak agar program ini bisa terealisasi. Mengingat, Indonesia juga memiliki sejumlah proyek gas skala besar yang sedang dikembangkan sehingga nantinya bisa memasok gas lebih banyak ke domestik.
"Contoh di Pakistan saja sudah pakai 70%-80% gas, padahal negara itu tidak punya gas. Pakistan rela beli gas dari spot market karena keekonomian memang lebih baik dari BBM," ungkap lulusan dari Texas A & M University tersebut.
Opsi lain yang bisa diambil yaitu mengembangkan ethanol sebagai pengganti BBM. Pengembangan ethanol sebaiknya tidak menggunakan bahan baku minyak jarak karena tidak ekonomis, tapi memakai singkong gajah.
Pemanfaatan ethanol sebagai bahan bakar bisa membantu Indonesia mengurangi impor minyak dan BBM dari sejumlah negara Timur Tengah.(Sis/Ndw/*)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.