Saat ini, teknologi penyimpanan air buatan tersebut sudah diaplikasikan di sebuah pulau.
Saat ini teknologi penyimpanan air buatan tersebut sudah diaplikasikan di sebuah pulau kecil di Sulawesi Selatan yakni pulau Kapoposan. (Antara/ Akbar Nugroho Gumay)
VIVAnews - Keterbatasan daya dukung air di kawasan berpenduduk padat dapat menyebabkan kekeringan saat musim kemarau. Belum lagi, masyarakat cenderung hanya ingin mengambil air dari dalam tanah, tanpa melakukan upaya pelestarian sumber air dalam tanah tersebut.
Sebagai langkah antisipasi atas persoalan di atas, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan solusinya dengan menggunakan teknik penyimpanan air buatan dalam tanah untuk digunakan sebagai cadangan, saat musim kemarau tiba.
Teknik ini dinamakan Artificial Storage and Recharge of Groundwater (ASRG), yang dapat disebut juga dengan Simpanan dan Imbuhan Buatan Air Tanah (SIMBAT). Teknik ini merupakan salah satu aplikasi dari cabang ilmu geofisika dalam mengekplorasi sumber daya kebumian.
Prinsip SIMBAT adalah memasukkan air tawar yang berasal dari air hujan ke dalam aquifer (air dalam tanah). Metode tahanan jenis ini sangat berperan dalam menunjukkan penyebaran lensa aquifer buatan yang berisi air tawar.
“Pemicunya adalah kolam air yang kemudian diinjeksikan ke lapisan aquifer,” kata Edi Prasetyo Utomo, penemu teknologi tersebut yang dikukuhkan sebagai Profesor Riset LIPI di Jakarta, Jumat 11 November 2011.
Dari dalam tanah, Edi menyebutkan, ia kemudian disalurkan ke berbagai arah sesuai radius yang proporsional. “Ini dianggap mampu memberikan kecukupan air yang memadai dalam suatu daerah,” ucapnya. “Untuk kedalaman, injeksi menyesuaikan dengan aquifer".
Untuk injeksi, dibutuhkan air yang besar antara 1.500 hingga 3.500 meter kubik per hari. Setelah diinjeksi, permukaan air dalam tanah dimonitor secara kontinu.
“Nah, nanti air tanah naik, kemudian disalurkan ke dalam radius sesuai sumber daya injeksi,” tutur Edi. “Dengan teknik ini, suatu daerah tidak akan mengalami kekurangan air. Dari sini, akan diketahui, misalnya daerah ini sumber daya airnya melimpah atau tidak”.
Edi menyebutkan, saat ini teknologi itu sudah diaplikasikan di sebuah pulau kecil, yakni Kapoposan, Sulawesi Selatan.
“Daerah pulau kecil sangat tertolong dengan teknik ini, karena hampir sebagian besar pulau-pulau kecil daya dukung airnya sangat sedikit dibandingkan dengan kepadatan penduduk yang tinggi,” kata Edi.
“Pada pulau kecil juga jarang dijumpai sungai permanen atau danau. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui sampai di mana posisi penyebaran air tanah, baik vertikal maupun horizontal setelah dilakukan proses imbuhan buatan,” ujarnya.
Edi menyebutkan, metode ini juga cocok diterapkan untuk perumahan, gedung kantor, dan real estate. Metode ini juga sekaligus berfungsi untuk pengetahuan masyarakat agar tidak hanya mengambil air, tapi dibarengi dengan upaya penyimpanan air. “Jangan hanya ambil saja, kita juga mesti menyimpan air,” tuturnya. (art)
• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.