KOMPAS.com - Sanny Gaddafi yang kini mulai aktif mengurusi Jakarta Founder Institute (JKTFI) mengawali debut di bisnis digital dengan mendirikan sebuah layanan online pertemanan terinspirasi Friendster. Kesuksesan jejaring pertemanan itu membuatnya penasaran ingin membuat jejaring sosial yang sama persis dengan nama Fupei.
Saat itu ia masih berstatus mahasiswa Univesitas Bina Nusantara jurusan Teknologi Informasi dan Statistik. Tak ada niat untuk menjadikan jejaring sosial yang dibangunnya tersebut menjadi sebuah bisnis. Namun, setelah lulus kuliah dan mendapat investor, ia sadar, apa yang dibangunnya bisa menghasilkan uang. Ia pun mengurusi Fupei.com bersama investor.
Meski hanya bertahan 9 bulan berjalan bersama investor, hingga kini Sanny masih mempertahankan Fupei karena jejaring sosial tersebut memiliki nilai sejarah bagi dirinya secara pribadi. Ia kemudian membangun start up lainnya seperti Bundagaul.com, Pendek.in, Infoiklan.com, Sixreps, Superbestdeal.com, Autosally.com, dan Travelnesia.com.
Aktifitas di dunia bisnis digital membantunya mengenal pendiri-pendiri start up yang lain, salah satunya Natali Ardianto. Pertemuannya dengan Natali, tanpa sengaja justru melahirkan terbentuknya komunitas #StartUpLokal. Pengalamannya mengikuti program Founder Institute di Silicon Valley bersama Novistiar Rustandi juga menginspirasi Sanny untuk membuat program yang sama di Jakarta dan melahirkan Jakarta Founder Institute (JKTFI).
Sanny pun berbagi pengalamannya kepada Kompas.com di sela-sela acara Jakarta Founder Institute, di Jakarta, akhir Agustus 2011 lalu. Berikut wawancara dengan Sanny. .
Bisa diceritakan awal mula mendirikan bisnis digital?
Awalnya saya tidak berniat untuk berbisnis digital. Saya punya background TI karena kuliah saya adalah jurusan Teknologi Informasi dan Statistik. Saat kuliah, sekitar tahun 2004, saya harus freelance untuk menjadi web developer dan saya pun membuat website hanya untuk portfolio. Saya terinpirasi dari kesuksesan Friendster (FS) dengan jejaring sosialnya. Iseng saya coba buat yang sama persis dan ternyata bisa. Saya terbantu dari keanggotaan FS karena banyak anggota FS yang juga daftar ke Fupei.com. Setelah lulus kuliah, saya malah mendapatkan investor. Meskipun hanya berjalan 9 bulan dengan investor, sampai sekarang saya masih mempertahankan Fupei.com dan mengurusinya sendiri.
Mengapa memilih untuk tetap mempertahankan Fupei?
Banyak anggota Fupei.com yang menggunakan Fupei karena mereka bangga menggunakan aplikasi buatan lokal, asli Indonesia. Selain itu, kalau FS dan FB untuk mencari teman lama, maka mereka pakai Fupei untuk cari teman baru. Banyak yang mendapat teman baru, bahkan bejodoh di Fupei. Maka, meskipun sudah tidak berjalan dengan investor, sampai sekarang saya masih mempertahankan Fupei karena ada nilai sejarahnya buat saya secara pribadi.
Bisa diceritakan berdirinya Bundagaul.com, Pendek.in, Infoiklan.com, Sixreps, Superbestbeal.com, Autosally.com, dan Travelnesia.com?
Pada mulanya justru saya mendirikan Infoiklan.com. Saya pikir domainnya bagus jadi masih saya pertahankan. Lalu semester akhir kuliah, saya mendirikan Fupei. Saat lulus kuliah dan mulai menjadikan Fupei sebagai bisnis, saya berpikir, penghasilan utama Fupei adalah dari iklan. Tetapi ternyata para pengiklan mengharapkan website yang segmented, sedangkan Fupei sangat general. Akhirnya saya buat Bundagaul.com yang lebih segmented. Ternyata saya tidak menemukan partner yang tepat untuk membangun Bundagaul.com, sehingga web ini sekarang masih dalam tahap pengembangan.
Kalau Pendek.in itu hanya proyek lucu-lucan aja, bukan proyek yang serius. Kalau Autosally.com itu saya dirikan bersama partner saya di Founder Institute. Waktu itu seharusnya saya ke San Fransisco tapi karena visa ditahan, maka saya tidak berangkat. Partner saya di San Francisco yang mendirikan Autosally.com, dia yang sekarang mengurusi semuanya meskipun belum berjalan, masih tahap pengembangan. Sedangkan Superbestdeal saya hanya nyumbang ide aja, eksekutornya partner saya. Kalau Sixreps.com itu saya menjadi co-founder bersama Denny Santoso. Khusus untuk Sixreps.com saya bekerja full time.
Sixreps.com anggotanya sudah 25 ribu-an, Fupei.com 200 ribuan, Bundagaul.com hanya dua ribuan, yang lainnya masih dalam tahap pengembangan jadi belum punya member. Untuk Pendek.in dan Superbestdeal memang tidak merekrut member, jadi tidak ada data member.
Dengan start up sebanyak itu, bagaimana cara Sanny mengatur waktu?
Kalau Autosally.com dan Travelnesia.com itu masih dalam tahap pengembangan. Sedangkan Infoiklan.com sudah tidak saya urusi lagi, hanya mempertahankan domainnya saja. Pendek.in dan Fupei.com sudah bisa berjalan sendiri, jadi saya biarkan jalan sendiri. Superbestdeal.com saya hanya konseptor, jadi yang menjalankan partner saya. Bundagaul.com masih saya biarkan karena saya belum menemukan partner yang tepat. Jadi saat ini saya hanya full di Sixreps.com.
Untuk mengatur waktu, saya bersyukur punya partner yang sangat mengerti kondisi saya. Mereka tahu saya mengerti tanggung jawab saya. Dan kebetulan hampir semua start up yang saya dirikan dasarnya social network, jadi kalau ada pengembangan untuk satu web, bisa dikembangkan juga untuk yang lain.
Sebelum menjadi enterpreneur digital, apakah pernah bekerja sebagai karyawan?
Selama lulus kuliah sampai sekarang sebetulnya saya belum pernah jadi karyawan tetap. Saya ditawari bekerja justru setahun terakhir. Tahun lalu saya ditawari bekerja full time untuk sebuah perusahaan handset lokal untuk mengurusi aplikasi yang mereka bangun. Tapi saya hanya bertahan tiga bulan, karena saya merasa, menjadi karyawan ada batas-batas untuk inovasi, batas-batas untuk melakukan inisiatif. Sedangkan ketika menjadi founder start up, saya merasa lebih punya kontrol terhadap diri saya sendiri dan saya bisa lebih banyak melakukan eksperimen. Saya merasakan betul perbedaannya.
Apa peran Sanny di komunitas #StartUpLokal?
Awalnya tahun lalu ketemu sama Natali Ardianto di FX, ngobrol-ngobrol karena kebetulan satu minat dan sama-sama CTO (Chief Technology Officer). Saya ceritakan ke Natali, bagaimana kalau bikin event kumpul-kumpul seperti di Founder Institute (FI). Kebetulan saya pernah ikut yang di Silicon Valley. Lalu kami sepakat ngumpul lagi. Pertama kali ngumpul ternyata yang datang 30-an orang. Dari situ kami mulai rutin ketemuan sebulan sekali. Lalu saya pikir, mengapa tidak ada sharings session seperti di FI?
Akhirnya pada pertemuan ketiga dimulai dengan sharing session dari founder start up yang sudah matang. Waktu itu yang kami undang bapak Isaak Jenie. Di pertemuan pertama, saya dan Natali (Natali Ardianto) sudah dibantu Nuniek (Nuniek. Pertemuan kedua, Ollie mulai bantu-bantu. Lalu saya pikir, Natali dan Nuniek kan suami istri, harus ada orang lain yang bantu mengurusi supaya netral. Bergabunglah Ollie di pertemuan ke empat dia sudah jadi inisiator.
Lalu mengapa Sanny memutuskan mengundurkan diri sebagai inisiator komunitas #StartUpLokal? Apa karena pegang JKTFI?
Sebetulnya saya mundur bukan karena JKTFI. Saya bisa saja menjalani kedua-duanya sekaligus, karena tidak terlalu menyita waktu. Hanya saja, ada beberapa keputusan yang diambil mayoritas yang sudah tidak sejalan dengan visi misi saya. Karena merasa kontribusi saya juga tidak terlalu besar, saya memilih mundur agar tidak menganggu yang lain. Tapi saya mundur bukan sepenuhnya mundur lalu pergi begitu saja. Selama masih ada yang bisa saya bantu, saya akan tetap bantu komunitas #StartUpLokal.
Pengalaman apa yang paling berkesan selama mengurusi komunitas start up lokal?
Saya tidak menyangka ternyata banyak orang-orang seperti saya, developer website yang baru mendirikan perusahaan digital. Ternyata jumlahnya lumayan banyak dan terus bertambah. Saya ketemu sama partner di Sixreps, Denny Santoso, dari start up meet up. Natali juga ketemu partner-nya di sana. Nuniek juga gabung di Fimela karena meet up.
Menurut Sanny, bagaimana perkembangan start up digital di Indonesia?
Start up lokal perkembangannya cukup bagus, tapi kita masih dalam tahap infancy. Kita masih seperti bayi yang sedang belajar berjalan. Kita mungkin butuh role model dari luar yang bisa di-adopt di Indonesia. Berita-berita mengenai start up lokal juga sudah mulai ramai di luar negeri. Sekarang tinggal bagaimana kita mempertahankan semua itu, agar saat mereka ke Indonesia, mereka betul-betul melihat keunggulan kita, bukan beritanya saja. Kalau dari sisi kompetisi menurut saya kita mampu kok, cuma bagaimana kita mengatur sustainability seperti yang dilakukan di luar.
Dari pengalaman mendirikan sekian banyak start up digital. Apa kiat yang bisa Anda bagikan buat para founder sebelum membuat perusahaan?
Sebelum membuat startup harus tahu problema apa yg harus mereka solve, kalau enggak ada, buat apa mereka dirikan start up? Sebelum bikin start up harus lihat market, bukan ide. Mungkin banyak juga yang punya background teknikal, cuma kalau mau memasarkan, ada teknologi yang harus diredam karena masyarakat tidak butuh itu. Percuma web keren tapi masyarakat tidak mau pakai. Contohnya Twitter, awalnya Twitter konsepnya sederhana sekali, tapi sekarang digunakan banyak orang dan berkembang dengan sendirinya. Contoh lainnya aplikasi Movrek. Berhubung saya suka nonton, saya pakai aplikasi itu untuk cek jadwal film. Sesederhana itu untuk aplikasi kita bisa bermanfaat bagi orang lain.
Motivasi pendiri start up minimal bisa seperti Koprol. Ada juga yang menjadikan kasus koprol sebagai role model yang bisa menjadi contoh kesuksesan untuk diceritakan kepada orang tua.
Apa target yang ingin diraih dari program JKTFI bagi perkembangan start up lokal?
Target kami adalah mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin high potensial founder melalui sistem filter yang sudah ada. Pada saat terpilih, menteor-mentor mereka akan share dari dunia masing-masing sehingga harapan JKTFI adalah adanya start up baru yang didirikan dari berbagai aspek yang berbeda. Kalau ada dua yang sama, bergabung saja agar lebih kuat. Start up yang akan lolos nanti adalah start up yang memang kompeten untuk masuk ke pasar yang sebenarnya. Start up tidak lagi hanya sebagai tren, tapi start up didirikan untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di Indonesia.
Terakhir, bagaimana dukungan pemerintah selama ini terhadap perkembangan start up lokal di mata Sanny?
Menurut saya kita tidak boleh bergantung kepada dukungan pemerintah. Start up lokal bukan center of Indonesia, bukan center of problem di Indonesia. Banyak hal yang harus diurusi pemerintah yang menjadi prioritas. Jadi kita jangan terpaku dengan bantuan pemerintah. Kasus kita sebetulnya sama dengan yang dialami perusahaan-perusahaan di Silicon Valley yang tidak mendapat dukungan dari pemerintah secara langsung. Tapi mereka bisa jadi Silicon Valley yang sekarang, dalam waktu 10 tahun. Mereka berkembang sendiri, build network sendiri, sharing antar komunitas mereka sendiri. Kita pun sudah ada di jalan yang sama, jadi kita lanjutkan saja apa yang sudah kita lakukan sampai sejauh ini. Kalau akhirnya nanti pemerintah mendukung, ya anggap itu bonus saja.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.