blog-indonesia.com

Rabu, 08 Maret 2023

Tantangan Program Kapal Perang Fregat Arrowhead 140 Indonesia

⚓️ Opini A. Helvas Desain Arrowhead 140 [babcock]

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah menyetujui Pinjaman Luar Negeri senilai US$ 1,1 miliar untuk membiayai akuisisi dua fregat Arrowhead 140 yang didesain oleh Babcock, Inggris. Angka tersebut merupakan gabungan dua Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP), yaitu PSP tahun 2017 dan PSP tahun 2023 yang kebetulan keduanya ditandatangani oleh Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Dalam program fregat Arrowhead 140, Indonesia membeli lisensi kapal perang itu dari Babcock untuk selanjutnya dibangun di Indonesia oleh PT PAL Indonesia. Melalui skema tersebut, diharapkan kemampuan anak usaha PT LEN Industri akan meningkat dalam hal pembangunan kapal perang yang kompleks seperti tipe fregat.

Walaupun kontrak pengadaan fregat Arrowhead 140 telah efektif sejak Mei 2021, akan tetapi kemajuan pembangunan kapal perang yang dikembangkan dari desain fregat kelas Iver Huitfeldt nampaknya tidak sesuai harapan. Ditengarai program pembangunan tidak berjalan dengan lancar oleh PT PAL Indonesia karena berbagai persoalan teknis, baik engineering maupun non-engineering. Apabila mengacu kontrak awal, kedua fregat akan dibangun dalam masa 69 bulan sejak kontrak efektif. Namun dengan memperhatikan perkembangan konstruksi fregat sejauh ini, banyak pihak memprediksi bahwa jadwal 69 bulan tersebut akan meleset.

Program pengadaan fregat senilai US$ 1,1 miliar ini sejak awal memang penuh dengan dinamika. Awalnya pemerintah Indonesia menandatangani kontrak pengadaan fregat kelas Iver Huitfeldt dengan PT PAL Indonesia dan OMT-SEA pada 30 April 2020. Namun kemudian kontrak itu diamandemen dengan menjadikan Babcock sebagai mitra PT PAL Indonesia, antara lain karena galangan Inggris tersebut telah mengembangkan desain fregat kelas Iver Huitfeldt menjadi Arrowhead 140. Terkait dengan pembangunan fregat Arrowhead 140, terdapat beberapa tantangan yang saling terkait yang dihadapi oleh PT PAL Indonesia agar program tidak menjadi beban bagi perseroan.

Pertama, desain. Seperti telah disebutkan, Babcock menjual lisensi Arrowhead 140 kepada PT PAL Indonesia melalui perjanjian lisensi. Mengacu pada kesepakatan antara kedua belah pihak, terdapat enam kali pembayaran license fee yang harus diterima oleh Babcock dengan masing-masing besaran adalah down payment 15 persen, first payment 50%, second payment 10%, third payment 10%, fourth payment 10% dan final payment 5%. Sebagai imbal balik dari setiap tahap pembayaran lisensi, Babcock akan memberikan gambar-gambar desain dasar fregat tersebut. Adapun final payment ditetapkan pada 30 Maret 2022 di mana setelah tanggal tersebut PT PAL Indonesia telah menerima lengkap gambar desain dasar fregat Arrowhead 140.

Dengan perkembangan saat ini, pertanyaan yang muncul adalah Babcock dan PT PAL Indonesia telah melaksanakan kewajiban kontraktualnya secara resiprokal? Apakah kedua belah pihak dapat memenuhi kesepakatan tentang final payment pada 30 Maret 2022? Apakah PT PAL Indonesia sudah menerima semua gambar desain dasar fregat Arrowhead 140? Kalau firma Indonesia itu belum menerima semua gambar desain dasar, apakah hal demikian mencerminkan ada hal yang terkait asas resiprokal yang belum ditunaikan?

Kedua, engineering. Salah satu hal dalam aspek engineering adalah konstruksi kapal perang melalui manufaktur modul-modul. Kegiatan manufaktur mustahil dapat dilakukan apabila gambar desain dasar tidak lengkap, karena gambar tersebut harus dijabarkan lagi menjadi gambar produksi agar proses produksi dapat dilaksanakan. Apabila asumsi bahwa Babcock belum menyerahkan semua gambar desain dasar kepada PT PAL Indonesia adalah benar, maka pihak yang disebutkan terakhir akan mengalami kesulitan memulai proses pembangunan kapal perang Arrowhead 140. Sebab dalam engineering, semua hal harus detail, terukur dan tidak boleh ada spekulasi karena spekulasi dapat menciptakan design flaws.

Berdasarkan amandemen kontrak, kapal perang yang akan dibangun oleh PT PAL Indonesia akan mempunyai panjang 140 meter dari sebelumnya 143 meter. Menyangkut combat system, terdapat kecenderungan Indonesia akan memakai combat system buatan Turki walaupun awalnya kapal itu digadang-gadang akan memakai combat system asal Belanda demi alasan commonality dengan kapal perang yang telah dioperasikan oleh TNI Angkatan Laut. Pertanyaannya adalah apakah betul harga combat system dari Turki lebih murah daripada buatan Belanda? Selanjutnya, apakah rencana adopsi combat system buatan Turki sudah diakomodasi dalam bentuk amandemen kontrak combat system?

Ketiga, pembiayaan program. Pembiayaan program adalah salah satu kunci lancar tidaknya suatu kegiatan, termasuk konstruksi kapal perang. Meskipun pemerintah berdasarkan kontrak akan selalu membayar kepada PT PAL Indonesia per termin sesuai dengan kemajuan pembangunan yang telah dicapai, tetapi kontraktor utama tidak dapat hanya mengandalkan pada kucuran dana dari pemerintah. Merupakan hal yang lumrah apabila para kontraktor utama mendapatkan dukungan pembiayaan program dari pihak ketiga yang biasanya adalah lembaga keuangan seperti perbankan.

Sampai saat ini nampaknya belum jelas bagaimana PT PAL Indonesia melakukan pembiayaan program fregat Arrowhead 140. Bekas BUMN ini belum mencapai kesepakatan dengan pihak ketiga manapun untuk membantu pembiayaan program kapal perang tersebut. Apalagi fakta menunjukkan bahwa lembaga keuangan di Indonesia masih menjaga jarak dengan firma ini sebagai dampak dari persoalan keuangan di masa lalu. Apabila kondisi ini terus berlanjut, apakah mungkin program fregat Arrowhead 140 akan berjalan sesuai dengan kontrak tanpa kejelasan dalam aspek pembiayaan program?

Kementerian Pertahanan dan Kementerian BUMN perlu memberikan perhatian pada tantangan-tantangan yang dihadapi oleh PT PAL Indonesia terkait program fregat Arrowhead 140. Namun pemerintah sebaiknya tidak menyuntikkan lagi dana tambahan dalam bentuk apapun, termasuk Penanaman Modal Negara, untuk menjaga agar program tersebut berjalan lancar. Sudah cukup bagi pemerintah melalui Kementerian Keuangan berutang US$ 1,1 miliar agar Indonesia memiliki kapal perang dengan kemampuan lebih baik dibandingkan yang dipunyai saat ini. Apabila dipandang perlu, kontrak fregat itu dialihkan saja kepada Babcock sebagai Original Equipment Manufacturer agar utang US$ 1,1 miliar tidak menjadi sia-sia. (miq/miq)

 ⚓️  CNBC  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More