Pengusaha Setuju!Kartu kredit (AP/Keith Srakocic) 💰
Kalangan penerbit kartu kredit di Indonesia mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin kartu kredit pemerintah diterbitkan oleh penerbit lokal, bukan yang berasal dari luar negeri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta mengatakan, seharusnya pemerintah tidak hanya mendorong penggunaan kartu kredit pemerintah saja yang memanfaatkan penerbit lokal, melainkan juga kartu kredit masyarakat.
"Jadi bukan hanya kartu kredit pemerintah tapi saya rasa juga kartu kreditnya harusnya nanti suatu saat kita punya yang lokal," kata Steve kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2023).
Para penerbit kartu kredit yang berasal dari kalangan perbankan pun menurutnya juga akan mendukung langkah ini. Sebab, kartu kredit terbitan luar negeri tentu memiliki risiko dari aspek keamanan, sebagaimana yang disampaikan Jokowi terkait sanksi AS ke Rusia saat berkonflik dengan Ukraina.
"Saya rasa semua pelaku bisnis kartu kredit baik itu perbankan, itu saya rasa enggak ada yang tidak setuju apa bila diadakan domestik credit card," ujar Steve.
Kendati begitu, Steve menekankan, layanan penerbitan kartu kredit ini merupakan mekanisme pasar. Artinya, jika kartu kredit lokal yang didorong pemerintah tidak mampu bersaing dengan penerbit kartu kredit internasional, bukan tidak mungkin risiko akan banyak ditanggung masyarakat.
Misalnya, dari sisi keamanan data hingga beban biaya bunga yang bisa lebih besar bila tak ada yang menggunakan. Oleh sebab itu, ia menyarankan supaya layanan kartu kredit domestik harus terus bisa dikembangkan mengikuti perkembangan zaman.
"Sebagai contoh kalau sekarang masyarakat gunakan kartu kredit kan bukan hanya untuk face to face, misal bisa ke toko, bisa e commerce, atau bisa internasional transaksi dan contact less misalkan, jangan sampai ketika kita beralih ke lokal hal-hal seperti ini hilang," ujarnya.
PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) atau BNI pun sangat mendukung rencana ini dan tengah mempersiapkannya. Sebab, pengembangan kartu kredit yang menggunakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), disebut dapat memperkuat sistem pembayaran nasional.
"Saat ini kami telah melakukan berbagai persiapan terkait hal tersebut baik dari sisi kesiapan infrastruktur maupun mekanisme kerjasama dengan lembaga switching, serta ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) maupun PTEN sebagai penyelenggara Transaksi Elektronik Nasional, yang sebelumnya dilakukan oleh principal Internasional," ujar Direktur IT dan Operasi BNI Toto Prasetio kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/3/2023).
Ia menyampaikan bahwa kartu kredit GPN BNI diharapkan dapat diterbitkan pada kuartal I/2023. Tahap awal penerbitan kartu kredit GPN ini akan digunakan di lingkungan Pemerintah Pusat dan Daerah melalui produk Kartu Kredit Pemerintah Domestik.
"Penggunaan Kartu tersebut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah yang berasal dari Uang Persediaan yang selama ini masih dalam bentuk uang tunai," terang Toto.
Adapun KKP merupakan alat pembayaran yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah. Nantinya, KKP akan diterbitkan oleh tiga bank himbara, yaitu BRI, BNI dan Bank Mandiri. KKP ini nantinya dapat digunakan di 20 juta merchant di dalam dan luar negeri.
Untung RI Tak Gunakan Visa & Mastercard Infografis keuntungan menggunakan GPN (Indonesia Baik)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan Indonesia bisa mandiri dalam penerbitan kartu kredit dan tidak bergantung pada layanan Visa ataupun Mastercard demi kepentingan keamanan nasional.
Namun, ternyata, penerbitan atau prinsipal kartu kredit lokal ternyata juga bisa menekan biaya transaksi hingga bunga, asalkan layanan yang diberikan bisa terstandarisasi dan mengimbangi layanan Visa dan Mastercard.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta mengatakan, sebetulnya belum ada bukti kongkrit layanan kartu kredit domestik bisa menekan biaya-biaya. Ia berkaca pada layanan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk kartu debit.
Menurut Bank Indonesia, sebagai pihak yang mengembangkan GPN, menggunakan Visa atau Master Card harus memperoleh merchant discount rate (MDR) sebesar 3,5%, sedangkan menggunakan GPN bisa turun menjadi 1%. Tapi, menurut Steve ini keliru.
"Ini yang perlu dikaji, sering kali ada kesalahpahaman sekarang ini sebagai contoh merchant discount rate, itu misalnya biaya yang dipotong oleh bank kepada merchant," kata Steve kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2023).
Steve menjelaskan, besaran MDR dari Visa atau Mastercard itu memang ada biaya untuk membayar layanan ke prinsipal asing. Namun, besarannya itu sudah memperhitungan skala ekonomi karena cakupan global, sedangkan GPN masih sebatas cakupan domestik dengan layanan terbatas dan belum sampai pada digital seperti untuk e-commerce dan contact less.
"Jadi, biaya itu bukan semata-mata ke principle asing, enggak, itu adalah biaya antar bank kita, jadi kita perlu kita lihat ini. Apakah economic of scale kita bisa menurunkan cost itu? karena cost itu salah satu yang kita kejar supaya turun," ujar Steve.
Maka dari itu, ia mengatakan, supaya komponen biaya di kartu kredit bisa turun maka penggunanya harus banyak. Oleh sebab itu, selain mendorong adanya prinsipal domestik dalam menerbitkan kartu kredit ia berpendapat Presiden Jokowi juga harus mendorong literasinya supaya penggunanya banyak.
"Balik lagi, ini ayam sama telur, kalau enggak ada yang pakai costnya jadi besar. Jadi saya rasa perlu planning lah jangan, harus kepala dingin, jangan nafsu tapi tujuannya benar (kartu kredit domestik), sangat betul," tegas Steve.
Dari sisi keamanan pun, ia menekankan, sebetulnya tak menjamin, prinsipal kartu kredit domestik lebih baik ketimbang internasional. Sebab, belum ada pembuktian standarnya serupa dengan keamanan yang dibuat prinsipal asing.
Meskipun, Presiden Joko Widodo menekankan kartu kredit domestik bertujuan supaya belanja pemerintah dan masyarakat tidak diketahui pihak asing, serta tak rentan dimanfaatkan sebagai instrumen sanksi seperti yang dialami Rusia saat berkonflik dengan Ukraina.
"Dari sisi keamanan itu kan sebetulnya siapa yang pegang data. Kalau kita anggap orang asing yang pegang data, enggak aman, wajar, karena itu bukan keluarga kita, takut mereka diintervensi pemerintahnya," ujar Steve.
"Tapi apabila kita lokal, orang-orang yang pegang data, standarnya tidak bisa mengikuti standar dunia misalkan ya sama aja bahaya juga. Jadi ini bukan hal yang saya mau orang lokal bikin, boleh orang lokal bikin, taruh aja datanya di lemari, ya enggak mungkin," kata Steve.
Pengganti Visa & Mastercard Dirancang BI Ilustrasi Gerbang Pembayaran Nasional pada kartu bank (faspay)
Mimpi Presiden Joko Widodo enggan bergantung pada layanan Visa dan Mastercard untuk kartu kredit pemerintah masih tersandung kesiapan domestik, terutama karena prinsipal atau penerbit lokal belum ada yang mampu menggantikan posisi mereka.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sebetulnya Indonesia sudah memiliki Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Namun, layanan masih terbatas pada debit, belum sampai kartu kredit.
"GPN tinggal dikembangkan saja ke fasilitas kartu kredit bank domestik. Di China ada Union Pay sebagai alternatif visa dan master card. Problemnya persiapan infrastruktur pembayaran, dan keamanan digital," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (16/3/2023).
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta menambahkan, persoalan layanan GPN yang tak kunjung berkembang mancakupi kartu kredit karena dalam hal pengembangan kartu debit saja terbilang mandek.
Ia menegaskan, layanan kartu debit GPN masih cukup banyak kekurangan bila dibandingkan layanan kartu debit Visa dan Mastercard. Mulai dari penggunaannya yang tak kunjung sampai pada tahapan digital, seperti untuk transaksi e-commerce.
"Kenapa tidak dikembangkan? orang kalau mau GPN besar zamannya e-commerce pasti dia juga bisa transaksi e-commerce, kedua contact less belum bisa, ini sebagai contoh," tuturnya.
Padahal, Steve berpendapat, untuk kartu kredit yang ada saat ini, termasuk yang disediakan Visa dan Mastercard bukan lagi hanya untuk layanan transaksi langsung atau face to face, seperti di toko-toko, melainkan sudah masuk tahap pembayaran di e-commerce, berlaku secara internasional, serta tak perlu lagi kontak fisik.
Oleh sebab itu, ia menganggap, ketika Presiden Jokowi menginginkan supaya layanan kartu kredit pemerintah tidak bergantung dari Visa dan Mastercard seharusnya sistem dan infrastrukturnya sudah disiapkan sejak lama dan tidak terburu-buru digunakan sebelum mampu bersaing.
"Jangan sampai ini terjadi, kalau menurut saya sedikit banyak harusnya par dengan pemain pemain asing. Bisa enggak Indonesia, bisa saya rasa, negara-negara lain juga bisa," tegasnya.
Dengan perkembangan layanan penerbit kartu kredit saat ini, mulai dari negara-negara maju seperti Visa dan Mastercard, serta China melalui Union Pay, seharusnya Indonesia kata dia sudah punya prinsipal kartu kredit sendiri, karena tinggal mencontoh pengembangan mereka.
"Paling gampang kan nyontoh, bukan hal sesuatu yang kita harus pikirkan dari nol. Jangan sampai kita kalah, kalau kita kalah nanti asal ada kartu debit, asal ada kartu kredit lokal, tapi nanti penggunaannya enggak memenuhi kebutuhan masyarakat, buat apa," tegas dia.
Layanan kartu kredit pemerintah yang masih bergantung pada Visa dan Mastercard telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo sendiri. Dia menginginkan ke depan kartu kredit pemerintah menggunakan layanan penerbit dalam negeri.
"Penggunaan kartu kredit pemerintah daerah, zamannya sudah digital seperti ini, mestinya ini semua bisa menggunakan. Kalau kita bisa menggunakan itu bisa mandiri," kata Jokowi dalam Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Permintaan tersebut bukannya tanpa alasan. Jokowi menceritakan kejadian yang menimpa Rusia ketika pecah perang di Ukraina pada Februari 2022. Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi kepada Rusia, diikuti oleh kebijakan perusahaan asal AS.
"Dan hati hati, kita ingat sanksi dari AS ke Rusia, visa dan mastercard menjadi masalah," jelasnya.
Maka dari itu, Indonesia harus mandiri dari sisi sistem pembayaran. "Kalau kita bisa memakai platform kita sendiri dan itu menyebar semuanya menggunakan dimulai dari KL, provinsi, kabupaten, kota kita akan lebih tenang," tegas Jokowi. (mij/mij)
Kalangan penerbit kartu kredit di Indonesia mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin kartu kredit pemerintah diterbitkan oleh penerbit lokal, bukan yang berasal dari luar negeri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta mengatakan, seharusnya pemerintah tidak hanya mendorong penggunaan kartu kredit pemerintah saja yang memanfaatkan penerbit lokal, melainkan juga kartu kredit masyarakat.
"Jadi bukan hanya kartu kredit pemerintah tapi saya rasa juga kartu kreditnya harusnya nanti suatu saat kita punya yang lokal," kata Steve kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2023).
Para penerbit kartu kredit yang berasal dari kalangan perbankan pun menurutnya juga akan mendukung langkah ini. Sebab, kartu kredit terbitan luar negeri tentu memiliki risiko dari aspek keamanan, sebagaimana yang disampaikan Jokowi terkait sanksi AS ke Rusia saat berkonflik dengan Ukraina.
"Saya rasa semua pelaku bisnis kartu kredit baik itu perbankan, itu saya rasa enggak ada yang tidak setuju apa bila diadakan domestik credit card," ujar Steve.
Kendati begitu, Steve menekankan, layanan penerbitan kartu kredit ini merupakan mekanisme pasar. Artinya, jika kartu kredit lokal yang didorong pemerintah tidak mampu bersaing dengan penerbit kartu kredit internasional, bukan tidak mungkin risiko akan banyak ditanggung masyarakat.
Misalnya, dari sisi keamanan data hingga beban biaya bunga yang bisa lebih besar bila tak ada yang menggunakan. Oleh sebab itu, ia menyarankan supaya layanan kartu kredit domestik harus terus bisa dikembangkan mengikuti perkembangan zaman.
"Sebagai contoh kalau sekarang masyarakat gunakan kartu kredit kan bukan hanya untuk face to face, misal bisa ke toko, bisa e commerce, atau bisa internasional transaksi dan contact less misalkan, jangan sampai ketika kita beralih ke lokal hal-hal seperti ini hilang," ujarnya.
PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) atau BNI pun sangat mendukung rencana ini dan tengah mempersiapkannya. Sebab, pengembangan kartu kredit yang menggunakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), disebut dapat memperkuat sistem pembayaran nasional.
"Saat ini kami telah melakukan berbagai persiapan terkait hal tersebut baik dari sisi kesiapan infrastruktur maupun mekanisme kerjasama dengan lembaga switching, serta ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) maupun PTEN sebagai penyelenggara Transaksi Elektronik Nasional, yang sebelumnya dilakukan oleh principal Internasional," ujar Direktur IT dan Operasi BNI Toto Prasetio kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/3/2023).
Ia menyampaikan bahwa kartu kredit GPN BNI diharapkan dapat diterbitkan pada kuartal I/2023. Tahap awal penerbitan kartu kredit GPN ini akan digunakan di lingkungan Pemerintah Pusat dan Daerah melalui produk Kartu Kredit Pemerintah Domestik.
"Penggunaan Kartu tersebut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah yang berasal dari Uang Persediaan yang selama ini masih dalam bentuk uang tunai," terang Toto.
Adapun KKP merupakan alat pembayaran yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah. Nantinya, KKP akan diterbitkan oleh tiga bank himbara, yaitu BRI, BNI dan Bank Mandiri. KKP ini nantinya dapat digunakan di 20 juta merchant di dalam dan luar negeri.
Untung RI Tak Gunakan Visa & Mastercard Infografis keuntungan menggunakan GPN (Indonesia Baik)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan Indonesia bisa mandiri dalam penerbitan kartu kredit dan tidak bergantung pada layanan Visa ataupun Mastercard demi kepentingan keamanan nasional.
Namun, ternyata, penerbitan atau prinsipal kartu kredit lokal ternyata juga bisa menekan biaya transaksi hingga bunga, asalkan layanan yang diberikan bisa terstandarisasi dan mengimbangi layanan Visa dan Mastercard.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta mengatakan, sebetulnya belum ada bukti kongkrit layanan kartu kredit domestik bisa menekan biaya-biaya. Ia berkaca pada layanan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk kartu debit.
Menurut Bank Indonesia, sebagai pihak yang mengembangkan GPN, menggunakan Visa atau Master Card harus memperoleh merchant discount rate (MDR) sebesar 3,5%, sedangkan menggunakan GPN bisa turun menjadi 1%. Tapi, menurut Steve ini keliru.
"Ini yang perlu dikaji, sering kali ada kesalahpahaman sekarang ini sebagai contoh merchant discount rate, itu misalnya biaya yang dipotong oleh bank kepada merchant," kata Steve kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2023).
Steve menjelaskan, besaran MDR dari Visa atau Mastercard itu memang ada biaya untuk membayar layanan ke prinsipal asing. Namun, besarannya itu sudah memperhitungan skala ekonomi karena cakupan global, sedangkan GPN masih sebatas cakupan domestik dengan layanan terbatas dan belum sampai pada digital seperti untuk e-commerce dan contact less.
"Jadi, biaya itu bukan semata-mata ke principle asing, enggak, itu adalah biaya antar bank kita, jadi kita perlu kita lihat ini. Apakah economic of scale kita bisa menurunkan cost itu? karena cost itu salah satu yang kita kejar supaya turun," ujar Steve.
Maka dari itu, ia mengatakan, supaya komponen biaya di kartu kredit bisa turun maka penggunanya harus banyak. Oleh sebab itu, selain mendorong adanya prinsipal domestik dalam menerbitkan kartu kredit ia berpendapat Presiden Jokowi juga harus mendorong literasinya supaya penggunanya banyak.
"Balik lagi, ini ayam sama telur, kalau enggak ada yang pakai costnya jadi besar. Jadi saya rasa perlu planning lah jangan, harus kepala dingin, jangan nafsu tapi tujuannya benar (kartu kredit domestik), sangat betul," tegas Steve.
Dari sisi keamanan pun, ia menekankan, sebetulnya tak menjamin, prinsipal kartu kredit domestik lebih baik ketimbang internasional. Sebab, belum ada pembuktian standarnya serupa dengan keamanan yang dibuat prinsipal asing.
Meskipun, Presiden Joko Widodo menekankan kartu kredit domestik bertujuan supaya belanja pemerintah dan masyarakat tidak diketahui pihak asing, serta tak rentan dimanfaatkan sebagai instrumen sanksi seperti yang dialami Rusia saat berkonflik dengan Ukraina.
"Dari sisi keamanan itu kan sebetulnya siapa yang pegang data. Kalau kita anggap orang asing yang pegang data, enggak aman, wajar, karena itu bukan keluarga kita, takut mereka diintervensi pemerintahnya," ujar Steve.
"Tapi apabila kita lokal, orang-orang yang pegang data, standarnya tidak bisa mengikuti standar dunia misalkan ya sama aja bahaya juga. Jadi ini bukan hal yang saya mau orang lokal bikin, boleh orang lokal bikin, taruh aja datanya di lemari, ya enggak mungkin," kata Steve.
Pengganti Visa & Mastercard Dirancang BI Ilustrasi Gerbang Pembayaran Nasional pada kartu bank (faspay)
Mimpi Presiden Joko Widodo enggan bergantung pada layanan Visa dan Mastercard untuk kartu kredit pemerintah masih tersandung kesiapan domestik, terutama karena prinsipal atau penerbit lokal belum ada yang mampu menggantikan posisi mereka.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sebetulnya Indonesia sudah memiliki Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Namun, layanan masih terbatas pada debit, belum sampai kartu kredit.
"GPN tinggal dikembangkan saja ke fasilitas kartu kredit bank domestik. Di China ada Union Pay sebagai alternatif visa dan master card. Problemnya persiapan infrastruktur pembayaran, dan keamanan digital," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (16/3/2023).
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), Steve Marta menambahkan, persoalan layanan GPN yang tak kunjung berkembang mancakupi kartu kredit karena dalam hal pengembangan kartu debit saja terbilang mandek.
Ia menegaskan, layanan kartu debit GPN masih cukup banyak kekurangan bila dibandingkan layanan kartu debit Visa dan Mastercard. Mulai dari penggunaannya yang tak kunjung sampai pada tahapan digital, seperti untuk transaksi e-commerce.
"Kenapa tidak dikembangkan? orang kalau mau GPN besar zamannya e-commerce pasti dia juga bisa transaksi e-commerce, kedua contact less belum bisa, ini sebagai contoh," tuturnya.
Padahal, Steve berpendapat, untuk kartu kredit yang ada saat ini, termasuk yang disediakan Visa dan Mastercard bukan lagi hanya untuk layanan transaksi langsung atau face to face, seperti di toko-toko, melainkan sudah masuk tahap pembayaran di e-commerce, berlaku secara internasional, serta tak perlu lagi kontak fisik.
Oleh sebab itu, ia menganggap, ketika Presiden Jokowi menginginkan supaya layanan kartu kredit pemerintah tidak bergantung dari Visa dan Mastercard seharusnya sistem dan infrastrukturnya sudah disiapkan sejak lama dan tidak terburu-buru digunakan sebelum mampu bersaing.
"Jangan sampai ini terjadi, kalau menurut saya sedikit banyak harusnya par dengan pemain pemain asing. Bisa enggak Indonesia, bisa saya rasa, negara-negara lain juga bisa," tegasnya.
Dengan perkembangan layanan penerbit kartu kredit saat ini, mulai dari negara-negara maju seperti Visa dan Mastercard, serta China melalui Union Pay, seharusnya Indonesia kata dia sudah punya prinsipal kartu kredit sendiri, karena tinggal mencontoh pengembangan mereka.
"Paling gampang kan nyontoh, bukan hal sesuatu yang kita harus pikirkan dari nol. Jangan sampai kita kalah, kalau kita kalah nanti asal ada kartu debit, asal ada kartu kredit lokal, tapi nanti penggunaannya enggak memenuhi kebutuhan masyarakat, buat apa," tegas dia.
Layanan kartu kredit pemerintah yang masih bergantung pada Visa dan Mastercard telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo sendiri. Dia menginginkan ke depan kartu kredit pemerintah menggunakan layanan penerbit dalam negeri.
"Penggunaan kartu kredit pemerintah daerah, zamannya sudah digital seperti ini, mestinya ini semua bisa menggunakan. Kalau kita bisa menggunakan itu bisa mandiri," kata Jokowi dalam Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Permintaan tersebut bukannya tanpa alasan. Jokowi menceritakan kejadian yang menimpa Rusia ketika pecah perang di Ukraina pada Februari 2022. Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi kepada Rusia, diikuti oleh kebijakan perusahaan asal AS.
"Dan hati hati, kita ingat sanksi dari AS ke Rusia, visa dan mastercard menjadi masalah," jelasnya.
Maka dari itu, Indonesia harus mandiri dari sisi sistem pembayaran. "Kalau kita bisa memakai platform kita sendiri dan itu menyebar semuanya menggunakan dimulai dari KL, provinsi, kabupaten, kota kita akan lebih tenang," tegas Jokowi. (mij/mij)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.