PENELITI
yang sehari-hari menjabat sebagai direktur Advanced Marine Vehicles
Research Center di Universitas Surya tersebut memang sudah lama
terobsesi pada dunia penerbangan.
Berbekal pengetahuan dan pengalaman selama lebih dari 20 tahun di bidang
penerbangan, doktor lulusan Universitas Nagoya, Jepang, tersebut
membuka harapan baru bagi dunia kedirgantaraan dan militer Indonesia
dengan menciptakan pesawat tanpa awak yang diberi nama Super Drone.
Berawal dari penunjukan dirinya sebagai penanggung jawab penelitian dan
pembuatan drone oleh Universitas Surya yang bekerja sama dengan TNI-AD,
Thombi lalu mengumpulkan sejumlah peneliti sebagai tim pembuat Super
Drone. Jumlahnya tujuh orang dan semuanya merupakan pakar di bidang
aeromodeling.
Tim itu juga diperkuat tim ahli dari TNI-AD. ”Jadi, total tim beranggota
14 pakar,” kata Thombi kepada Jawa Pos saat ditemui Rabu lalu (25/6).
Mantan peneliti BPPT (Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi) itu
mengatakan, proyek tersebut nyaris membuat para anggota tim kencing
berdiri. Sebab, proyek itu sejak awal ditargetkan selesai dalam enam
bulan.
Hal tersebut terkait dengan dana yang terbatas, yakni sekitar Rp 1
miliar. Waktu enam bulan itu relatif singkat untuk sebuah proyek
pembuatan pesawat tanpa awak. Juga, mulai Oktober 2013 proyek itu
dieksekusi.
Meski begitu, Thombi cs tidak lantas mundur. Target waktu yang singkat
dan biaya yang terbatas bagi sebuah proyek berteknologi tinggi tersebut
mereka jadikan tantangan. Thombi juga perlu memompa semangat timnya agar
bekerja keras menyelesaikan proyek itu sesuai dengan target waktu yang
dicanangkan.
”Harus siap berpanas-panas. Kalau tidak mau, jangan bergabung di tim
ini,” tegasnya.
Dengan berbekal pengetahuan, ketelitian, dan kerja keras, akhirnya
Thombi cs berhasil menyelesaikan pembuatan Super Drone dalam waktu enam
bulan pada Maret 2014.
”Sepanjang sejarah di Indonesia, yang saya tahu, (pembuatan drone) ini
rekor tercepat. BPPT saja itu butuh waktu 15 tahun,” ujar pria kelahiran
Jakarta, 20 Agustus 1966, tersebut.
Tidak hanya selesai membuat bodi, Thombi dan kawan-kawan juga sukses membuat Super Drone
bisa terbang nyaris sempurna. Pesawat tanpa awak itu kali pertama diuji
coba di lokasi latihan Kopassus di kawasan Batujajar, Bandung Barat,
Jawa Barat.
Memang menerbangkan Super Drone yang baru jadi tersebut tidak
bisa sembarangan. Perlu memperhatikan kondisi cuaca dan arah angin.
Sebab, apabila salah memperhitungkan cuaca, drone bisa gagal lepas
landas atau jatuh.
”Makanya, harus sabar. Kalau tidak bisa hari ini, ditunggu sampai besok
hingga cuacanya bagus dan memungkinkan untuk menerbangkan,” terang
Thombi.
”Momen yang paling luar biasa adalah ketika melihat drone berhasil lepas
landas. Rasanya, terbayar kerja keras kami selama ini,” tambah doktor
yang pernah bergabung di Japan Society for Aeronautical and Space
Sciences tersebut.
Super Drone karya Thombi dan timnya punya bobot total 120
kilogram dengan rentang sayap 6 meter dan panjang 4 meter. Drone itu
mampu membawa bahan bakar bensin hingga 20 liter di udara.
Bensin dibawa dengan menggunakan dua tabung yang diletakkan di tiap-tiap sayap. Dengan stok bahan bakar sebanyak itu, Super Drone
mampu terbang 6–9 jam dengan daya jelajah sejauh sekitar 100 kilometer.
Pesawat itu juga bisa membawa beban seberat 45 kg saat terbang.
Meski bukan drone pertama yang dibuat di Indonesia, terang
Thombi, Super Drone akan menjadi bagian dari alutsista (alat utama
sistem persenjataan) TNI-AD untuk kepentingan pertahanan negara. Ke
depan, Super Drone disempurnakan sehingga dapat digunakan untuk
menyerang musuh, seperti Predator Drone milik Amerika Serikat atau Eitan
kepunyaan Israel.
”Tidak hanya untuk pertahanan, untuk aksi kombat juga bisa. Misalnya,
tabung bensin diganti dengan bom. Minimal dapat digunakan untuk latihan
menjatuhkan bom,” terang Thombi.
Menurut rencana, Super Drone dilengkapi dengan kamera pengintai
di bagian bawah kepala pesawat. ”Saat ini belum dipasangi karena masih
butuh penyempurnaan. Kamera itu mahal harganya. Kalau dipakai sekarang,
terus jatuh, saya bisa nangis,” ucapnya.
Kendati demikian, Thombi mengakui bahwa Super Drone masih jauh dari
sempurna. Banyak bagian drone di sana-sini yang masih butuh penyesuaian
dan penyempurnaan agar dapat digunakan di lapangan.
Menurut Thombi, yang paling sulit dalam penyempurnaan Super Drone adalah
menentukan titik keseimbangan pesawat. Thombi, yang menamatkan program
S-1 di Jurusan Teknik Penerbangan Texas A&M University, AS,
mengatakan bahwa titik keseimbangan dalam pembuatan pesawat merupakan
salah satu yang paling vital. Sebab, beda berat 1 gram saja akan
memengaruhi posisi pesawat saat berada di udara.
”Kalau mobil atau truk beda berat di samping atau depan-belakangnya, ia
masih bisa jalan di darat. Kalau pesawat, akan jatuh. Makanya, bidang
penerbangan menuntut untuk disiplin dan teliti menghitung semuanya,”
ujar dia.
Sebab, lanjut dia, waktu enam bulan yang diberikan buat penelitian dan
penyelesaian drone tidak mencukupi untuk menciptakan drone yang punya
kemampuan baik. ”Waktu enam bulan ya hasilnya adalah enam bulan itu.
Jangan ini dibandingkan dengan drone milik Israel. Penelitian mereka bertahun-tahun dengan dana yang unlimited. Jadi, harus dibandingkan apple-to-apple,” tuturnya.
Selain bidang penerbangan, Thombi ternyata juga menekuni bidang maritim.
Dia pernah terlibat dalam pembuatan kapal laut dan kapal selam kecil
untuk keperluan penelitian di salah satu perusahaan pembuat kapal.
Bagi Thombi, sistem kerja pesawat terbang dan kapal selam tidak jauh
berbeda karena sama-sama melayang. Bedanya, pesawat melayang di udara,
sedangkan kapal selam ”melayang” di air laut. ”Bedanya ada di fluidanya.
Yang satu udara dan satunya air,” ucapnya seraya tertawa.
Pengetahuan mengenai udara dan air tersebut dia wujudkan melalui hasil
riset berupa perahu hovercraft yang dirancang dapat terbang di atas air.
Perahu itu dapat melayang karena dilengkapi dengan sebuah kipas yang
mengarah ke bawah dan sayap. Dengan mengatur pada kecepatan tertentu,
perahu akan terbang statis setinggi sekitar 1 meter dari permukaan air.
Hovercraft terbang tersebut akan digunakan untuk program iFly yang dia
gagas. Proyek itu merupakan program sosial untuk memperkenalkan
pengetahuan berbasis teknologi tingkat tinggi kepada anak-anak putus
sekolah. Dalam program tersebut, Thombi bakal memperkenalkan perahu
terbang karyanya itu dan mengajak anak-anak untuk ikut mempelajari
kinerjanya.
”Dengan memperkenalkan teknologi tingkat tinggi, anak-anak jalanan itu
akan termotivasi bahwa mereka juga bisa menciptakan teknologi. Mereka
punya potensi yang tidak mereka sadari, yaitu otak yang luar biasa,”
tegas dia.
Purnarupa P8 Light Tank SSE
-
*D*ari website X robe_1807 diposkan purnarupa kendaraan militer terbaru
produksi perusahaan swasta PT SSE (Sentra Surya Ekajaya) di Tangerang,
Banten.
R...
6 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.