blog-indonesia.com

Jumat, 29 Juli 2022

5 Tantangan Investasi Asing di Sektor Industri Pertahanan RI

✈ Pesawat N219  [PTDI]

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan peluang kepada pihak asing untuk berinvestasi melalui skema foreign direct investment (FDI) di sektor industri pertahanan. Melalui UU itu, sektor industri pertahanan tidak lagi digolongkan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Karena dianggap mempunyai sifat strategis, industri pertahanan selalu dimasukkan dalam DNI sejak era Orde Baru hingga awal 2020. Sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan diamandemen oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020, seperti Pasal 11, Pasal 21, Pasal 38 dan Pasal 52.

Sebagai turunan dari undang-undang tersebut, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Dalam beleid tersebut dinyatakan bahwa entitas asing dapat menguasai saham maksimal 49% atau dalam hal kepentingan strategis, modal asing dapat melebihi 49% dengan persetujuan Menteri Pertahanan. Tentu menjadi pertanyaan mengapa negeri ini membutuhkan FDI di sektor industri pertahanan? Indonesia sangat memerlukan FDI di sektor industri pertahanan karena hampir 25 tahun terakhir industri pertahanan domestik nyaris tidak membuat kemajuan berarti.

Penguasaan teknologi tinggi masih mengandalkan dari Original Equipment Manufacturer (OEM) asing dan belum ada kemajuan signifikan terkait hal itu. Tentang permodalan dan finansial, BUMN industri pertahanan memiliki ruang finansial yang sempit dan masih mengandalkan pada suntikan penanaman modal negara (PMN) secara berkala setiap lima tahun sekali. Menyangkut pasar, BUMN industri pertahanan mayoritas jago kandang kecuali PT Dirgantara Indonesia yang telah mengekspor produknya ke luar negeri sejak era Orde Baru. Dalam hal sumber daya manusia, terjadi generational gap sekitar 15 tahun di BUMN industri pertahanan antara insinyur yang direkrut pada akhir zaman Orde Baru dengan perekrutan pertama pasca 1998, selain isu pendapatan yang kalah atraktif dibandingkan sektor swasta.

Indonesia bukan satu-satunya negara di kawasan Indo-Pasifik yang berjuang menarik FDI di sektor industri pertahanan. Australia, India, Filipina dan Thailand juga membuka kesempatan bagi FDI di sektor itu. Sejauh ini, hanya Australia dan Filipina yang sukses dalam menarik investasi asing di sektor industri pertahanan, sementara India dan Thailand belum sukses meskipun kebijakan investasi mereka cukup menarik. Terkait dengan Indonesia, berikut adalah sejumlah tantangan dalam menarik FDI di sektor industri pertahanan.

Pertama, lisensi ekspor teknologi pertahanan dan dual-use technology. Apabila terdapat Original Equipment Manufacturer (OEM) asing yang berinvestasi di Indonesia, mereka membutuhkan lisensi dari negara asalnya untuk mengekspor teknologi pertahanan dan dual-use technology ke Indonesia, di mana teknologi itu akan dipakai untuk kepentingan produksi senjata. Berdasarkan pengalaman di sejumlah negara yang menjadi pilihan bagi OEM asing untuk berinvestasi secara langsung, negara asal OEM melakukan penelaahan secara mendalam terhadap teknologi yang akan diekspor sebelum menerbitkan lisensi. Indonesia masih menjadi dinilai rawan dalam hal keamanan teknologi oleh Barat, terlebih lagi Indonesia tidak suka diikat dengan pembatasan-pembatasan teknologi.

Kedua, risiko tinggi. Indonesia mempunyai risiko tinggi dalam hal kapabilitas teknologi dan perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Resiko tinggi dalam kapabilitas teknologi yaitu penguasaan teknologi oleh BUMN industri pertahanan, mengutip data Janes, masih pada kisaran weak dan moderate-weak. Konsekuensinya, OEM asing harus mengeluarkan sumber daya untuk membantu meningkatkan kapabilitas itu agar sesuai dengan standar industri mereka. Menyangkut HAKI, Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan untuk mengamankan HAKI, termasuk pula yang terkait dengan teknologi pertahanan dan dual use technology.

Ketiga, anggaran pertahanan. Anggaran pertahanan Indonesia yang dialokasikan untuk pengadaan senjata masih kecil. Untuk APBN, pos belanja modal hanya sekitar 27% atau sekitar Rp 20 triliunan dari total alokasi anggaran pertahanan. Pinjaman Dalam Negeri (PDN) mempunyai nilai berfluktuasi setiap lima tahun, di mana pada 2015-2019 sebesar Rp 15 triliun, sedangkan pada 2020-2024 diproyeksikan senilai Rp 41 triliun. Begitu pula dengan Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang alokasinya berfluktuasi per lima tahun, di mana pada 2015-2019 senilai US$ 7,74 miliar dan pada 2020-2024 direncanakan sebesar US$ 20,75 miliar.

Keempat, rezim pajak. Agar Indonesia dapat menjadi sasaran FDI di sektor industri pertahanan, Indonesia harus menawarkan rezim pajak yang kompetitif. Pemerintah hendaknya menawarkan status kawasan industri di mana OEM asing berinvestasi sebagai kawasan berikat, sehingga investor secara tidak langsung dipaksa untuk berorientasi ekspor karena apabila mereka lebih banyak menjual produknya di pasar domestik, maka mereka harus membayar pajak dan bea masuk bagi bahan baku yang diimpor. Selain itu, pemerintah perlu menawarkan tax holiday kepada OEM asing yang berinvestasi di Indonesia.

Kelima, dampak finansial investasi. Semua OEM memiliki tujuan agar investasi mereka memberikan keuntungan yang maksimal melalui pendapatan dari penjualan senjata. Mengingat bahwa Indonesia masih mempunyai tantangan dalam hal alokasi belanja senjata dalam anggaran pertahanan, opsi yang realistis adalah mendorong agar OEM menjadikan investasi di Indonesia bukan saja untuk pasar domestik, tetapi juga untuk pasar regional. Apabila Indonesia tidak membolehkan OEM asing untuk mengekspor senjata yang mereka produksi di Indonesia, merupakan suatu tantangan untuk menarik FDI di sektor industri pertahanan.

Mengacu pada aturan yang berlaku, joint venture (JV) nampaknya merupakan model bisnis yang tepat untuk FDI pada sektor industri pertahanan di Indonesia. Namun tidak semua sektor pada industri pertahanan nampaknya akan menerapkan JV di Indonesia, khususnya pada sektor dirgantara dan perkapalan, karena co-production lebih realistis berdasarkan pertimbangan ceruk pasar. Sebagai contoh adalah kapal selam, pilihan yang realistis bagi OEM asing seperti Naval Group untuk memasarkan produknya di Indonesia adalah melalui co-production dengan PT PAL Indonesia daripada mendirikan JV. JV untuk industri kapal selam adalah semua keniscayaan apabila Indonesia mampu mengalokasikan anggaran besar untuk pengadaan kapal selam dalam jangka panjang.

  CNBC  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More