Opini by Alman HAN219 PTDI ☆
Meskipun pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah berhasil mendapatkan Type Certificate CASR Part 23 dari Directorate General of Civil Aviation (DGCA) Indonesia pada 22 Desember 2020, perjalanan pesawat sayap tetap pertama buatan Indonesia pasca N250 masih panjang dan penuh tantangan.
Kini pesawat turboprop yang pengembangannya melibatkan LAPAN sedang menjalani fase performance improvement untuk memenuhi Design Requirement & Objective (DRO) yang telah ditetapkan sebelum memasuki tahap produksi serial. Sampai beberapa waktu silam, para insinyur BUMN ini juga sibuk mengembangkan N219 versi amfibi yang memerlukan Amended Type Certification dari DGCA sebelum dapat diproduksi.
Pesawat yang digadang-gadang mampu bersaing dengan Cessna SkyCourrier dan de Havilland DHC6-400 diharapkan memasuki lini produksi pada 2022 apabila telah mendapatkan kontrak dari beberapa calon konsumen dalam negeri.
Sebagaimana program N250 di era PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), program N219 mendapatkan pembiayaan dari APBN. Tidak terdapat data pasti berapa nilai APBN yang telah disalurkan untuk membiayai program tersebut. Namun diperkirakan nilainya hampir mencapai Rp 1 triliun yang berasal dari LAPAN. Selain itu, PTDI juga memakai dana internal untuk membiayai program pengembangan pesawat yang menggunakan mesin Pratt & Whitney PT6A-42 buatan Kanada ini. Diharapkan dana APBN masih akan terus mengucur hingga beberapa tahun ke depan sebagaimana telah menjadi komitmen pemerintah dalam mendukung program N219.
Namun terjadinya perubahan organisasi penelitian dan pengembangan di Indonesia di mana LAPAN diserap ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memengaruhi pendanaan program N219.
Sejumlah sumber kredibel di kalangan industri dirgantara telah memberikan konfirmasi BRIN tidak akan mengucurkan dana untuk mendukung program N219 sebagaimana dulu dilakukan oleh LAPAN. Alasannya karena program ini belum menguntungkan secara komersial dan lembaga super ini tidak ingin mengulangi pengalaman program N250 yang terhenti di tengah jalan. BRIN menyerahkan nasib program N219 kepada PTDI untuk membiayai program ini.
Kebijakan BRIN merupakan 'serangan torpedo' terhadap program N219, khususnya N219 Amfibi, yang ironisnya termasuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Sebelum BRIN berdiri, pemerintah telah berkomitmen untuk membantu pendanaan program N219 hingga beberapa tahun ke depan. Pendanaan pemerintah untuk program pesawat terbang di Indonesia merupakan hal yang tidak terhindarkan, meskipun skala pendanaannya tidak harus 100% seperti program N250. Karena pada tingkat minimal pemerintah harus maintain skilled jobs di bidang desain dan rancang bangun pesawat terbang, sedangkan pada tingkat maksimal pemerintah harus turut berkontribusi pada peningkatan penguasaan teknologi dirgantara.
Bantuan pemerintah dalam mendorong industri dirgantara di dunia merupakan hal yang lumrah, walaupun di negara maju bentuknya seringkali berbentuk subsidi tidak langsung. Sebagai contoh, pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan sejumlah subsidi kepada Boeing, salah satunya adalah progam pajak negara bagian Washington yang menjadi salah satu fasilitas produksi Boeing.
Bagaimanapun, industri dirgantara merupakan industri yang padat modal, padat teknologi, padat risiko dan padat teknologi. Keputusan pemerintah beberapa tahun silam untuk membantu pendanaan program N219 melalui LAPAN telah melalui analisis yang dalam agar pengalaman pahit program N250 tidak terulang lagi.
Sebagai dampak dari kebijakan BRIN terhadap program N219, pengembangan N219 Amfibi telah dihentikan. Sejumlah insinyur muda PTDI yang terlibat dalam program ini, khususnya N219 Amfibi, telah mengundurkan diri. Hal itu merupakan ironi karena mereka direkrut sekitar 10 tahun silam setelah dalam periode 1998-2010 BUMN ini tidak melakukan rekrutmen sumber daya manusia (SDM) karena mengalami turbulensi yang hebat. Diperkirakan jumlah insinyur muda yang akan mengundurkan diri dari program N219 Amfibi masih akan bertambah dan merupakan tanda bahaya bagi regenerasi sumber daya manusia industri manufaktur pesawat terbang Indonesia di masa depan.
Para insinyur muda tersebut merupakan jembatan dalam transfer pengetahuan dan pengalaman tentang desain dan pengembangan pesawat terbang dari para insinyur senior yang tersisa di PTDI. Para insinyur senior yang merupakan anak didik B.J. Habibie mempunyai pengalaman dalam pengembangan N250, sedangkan para insinyur muda yang direkrut pasca 2010 hanya memiliki pengalaman memodifikasi pesawat terbang seperti NC212i dan CN235-220.
Melalui program N219, para insinyur muda diberikan kesempatan mendapatkan pengalaman bagaimana mendesain dan mengembangkan pesawat sayap tetap, mulai dari conceptual design sampai dengan maintenance, repair and overhaul. Pengunduran diri mereka merupakan kerugian besar bagi industri dirgantara Indonesia secara keseluruhan sekaligus hilangnya sumber daya manusia yang terdidik. Sebagian besar para insinyur muda itu telah mendalami ilmu aeronautika di luar negeri, di antaranya menggunakan dana APBN lewat program beasiswa.
Dihadapkan pada kondisi demikian, PTDI perlu mengintensifkan pencarian pembiayaan program N219 dari luar negeri. Firma ini perlu menindaklanjuti komitmen awal beberapa pihak asing yang pernah menyatakan siap membantu pendanaan program pesawat yang mengadopsi avionik buatan Garmin. Terlepas dari isu pembiayaan program, korban kebijakan BRIN telah berjatuhan, yaitu sumber daya manusia PTDI. Masih ada asa agar program N219 tidak terhenti sampai pada tahap purwarupa dan selanjutnya masuk museum seperti program N250. (miq/miq)
Meskipun pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah berhasil mendapatkan Type Certificate CASR Part 23 dari Directorate General of Civil Aviation (DGCA) Indonesia pada 22 Desember 2020, perjalanan pesawat sayap tetap pertama buatan Indonesia pasca N250 masih panjang dan penuh tantangan.
Kini pesawat turboprop yang pengembangannya melibatkan LAPAN sedang menjalani fase performance improvement untuk memenuhi Design Requirement & Objective (DRO) yang telah ditetapkan sebelum memasuki tahap produksi serial. Sampai beberapa waktu silam, para insinyur BUMN ini juga sibuk mengembangkan N219 versi amfibi yang memerlukan Amended Type Certification dari DGCA sebelum dapat diproduksi.
Pesawat yang digadang-gadang mampu bersaing dengan Cessna SkyCourrier dan de Havilland DHC6-400 diharapkan memasuki lini produksi pada 2022 apabila telah mendapatkan kontrak dari beberapa calon konsumen dalam negeri.
Sebagaimana program N250 di era PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), program N219 mendapatkan pembiayaan dari APBN. Tidak terdapat data pasti berapa nilai APBN yang telah disalurkan untuk membiayai program tersebut. Namun diperkirakan nilainya hampir mencapai Rp 1 triliun yang berasal dari LAPAN. Selain itu, PTDI juga memakai dana internal untuk membiayai program pengembangan pesawat yang menggunakan mesin Pratt & Whitney PT6A-42 buatan Kanada ini. Diharapkan dana APBN masih akan terus mengucur hingga beberapa tahun ke depan sebagaimana telah menjadi komitmen pemerintah dalam mendukung program N219.
Namun terjadinya perubahan organisasi penelitian dan pengembangan di Indonesia di mana LAPAN diserap ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memengaruhi pendanaan program N219.
Sejumlah sumber kredibel di kalangan industri dirgantara telah memberikan konfirmasi BRIN tidak akan mengucurkan dana untuk mendukung program N219 sebagaimana dulu dilakukan oleh LAPAN. Alasannya karena program ini belum menguntungkan secara komersial dan lembaga super ini tidak ingin mengulangi pengalaman program N250 yang terhenti di tengah jalan. BRIN menyerahkan nasib program N219 kepada PTDI untuk membiayai program ini.
Kebijakan BRIN merupakan 'serangan torpedo' terhadap program N219, khususnya N219 Amfibi, yang ironisnya termasuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Sebelum BRIN berdiri, pemerintah telah berkomitmen untuk membantu pendanaan program N219 hingga beberapa tahun ke depan. Pendanaan pemerintah untuk program pesawat terbang di Indonesia merupakan hal yang tidak terhindarkan, meskipun skala pendanaannya tidak harus 100% seperti program N250. Karena pada tingkat minimal pemerintah harus maintain skilled jobs di bidang desain dan rancang bangun pesawat terbang, sedangkan pada tingkat maksimal pemerintah harus turut berkontribusi pada peningkatan penguasaan teknologi dirgantara.
Bantuan pemerintah dalam mendorong industri dirgantara di dunia merupakan hal yang lumrah, walaupun di negara maju bentuknya seringkali berbentuk subsidi tidak langsung. Sebagai contoh, pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan sejumlah subsidi kepada Boeing, salah satunya adalah progam pajak negara bagian Washington yang menjadi salah satu fasilitas produksi Boeing.
Bagaimanapun, industri dirgantara merupakan industri yang padat modal, padat teknologi, padat risiko dan padat teknologi. Keputusan pemerintah beberapa tahun silam untuk membantu pendanaan program N219 melalui LAPAN telah melalui analisis yang dalam agar pengalaman pahit program N250 tidak terulang lagi.
Sebagai dampak dari kebijakan BRIN terhadap program N219, pengembangan N219 Amfibi telah dihentikan. Sejumlah insinyur muda PTDI yang terlibat dalam program ini, khususnya N219 Amfibi, telah mengundurkan diri. Hal itu merupakan ironi karena mereka direkrut sekitar 10 tahun silam setelah dalam periode 1998-2010 BUMN ini tidak melakukan rekrutmen sumber daya manusia (SDM) karena mengalami turbulensi yang hebat. Diperkirakan jumlah insinyur muda yang akan mengundurkan diri dari program N219 Amfibi masih akan bertambah dan merupakan tanda bahaya bagi regenerasi sumber daya manusia industri manufaktur pesawat terbang Indonesia di masa depan.
Para insinyur muda tersebut merupakan jembatan dalam transfer pengetahuan dan pengalaman tentang desain dan pengembangan pesawat terbang dari para insinyur senior yang tersisa di PTDI. Para insinyur senior yang merupakan anak didik B.J. Habibie mempunyai pengalaman dalam pengembangan N250, sedangkan para insinyur muda yang direkrut pasca 2010 hanya memiliki pengalaman memodifikasi pesawat terbang seperti NC212i dan CN235-220.
Melalui program N219, para insinyur muda diberikan kesempatan mendapatkan pengalaman bagaimana mendesain dan mengembangkan pesawat sayap tetap, mulai dari conceptual design sampai dengan maintenance, repair and overhaul. Pengunduran diri mereka merupakan kerugian besar bagi industri dirgantara Indonesia secara keseluruhan sekaligus hilangnya sumber daya manusia yang terdidik. Sebagian besar para insinyur muda itu telah mendalami ilmu aeronautika di luar negeri, di antaranya menggunakan dana APBN lewat program beasiswa.
Dihadapkan pada kondisi demikian, PTDI perlu mengintensifkan pencarian pembiayaan program N219 dari luar negeri. Firma ini perlu menindaklanjuti komitmen awal beberapa pihak asing yang pernah menyatakan siap membantu pendanaan program pesawat yang mengadopsi avionik buatan Garmin. Terlepas dari isu pembiayaan program, korban kebijakan BRIN telah berjatuhan, yaitu sumber daya manusia PTDI. Masih ada asa agar program N219 tidak terhenti sampai pada tahap purwarupa dan selanjutnya masuk museum seperti program N250. (miq/miq)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.