✈ Drone Akinci Turkiye (Baykar)
Konflik antara Rusia dan Ukraina, serta yang terbaru antara Iran dan Israel, menjadi panggung hadirnya pesawat tanpa awak atau drone di dalam era peperangan modern. Kehadiran drone saat ini tak lagi hanya sekedar sebagai alat pengintai semata, tetapi sudah menjadi alat bantu militer dalam melancarkan serangan udara.
Pesatnya penggunaan drone tentu perlu dicermati oleh pemerintah dan TNI Angkatan Udara, terutama di dalam membangun postur kekuatan alat utama sistem senjata (alutsista) demi mengamankan wilayah kedaulatan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam serangan yang terjadi pada 14 April 2024 lalu itu, tak kurang dari 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal jelajah yang digunakan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) untuk melakukan serangan balasan terhadap Israel.
Serangan ini dilakukan usai Israel diduga menyerang konsulat Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan 13 orang, termasuk Mayor Jenderal Mohammad Reza Zahed.
Dalam kurun waktu lima jam usai ditembakkan, drone, rudal balistik dan rudal jelajah mulai masuk ke wilayah udara Israel usai menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 1.800 kilometer. Beruntung, negara yang dipimpin Perdana Menteri Benyamin Netanyahu ini memiliki sistem pertahanan udara Iron Dome, yang diklaim berhasil menghalau 99 persen serangan tersebut.
Keberhasilan Israel dalam menghalau serangan itu juga tidak terlepas dari bantuan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang menembak jatuh rudal-rudal dan drone Iran sebelum memasuki perbatasan.
Selain itu, Yordania juga turut menembak jatuh beberapa rudal Iran yang menerobos wilayah udaranya.
Israel sendiri mengklaim bahwa serangan yang disebut IRGC sebagai "Operation True Promise" itu hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur minor. Meskipun dalam sejumlah pemberitaan media massa menunjukkan bahwa beberapa fasilitas militer Israel mengalami kerusakan.
Al Jazeera bahkan melaporkan bahwa serangan itu berhasil membuat sirene serangan udara di 720 lokasi meraung-raung. Serta, terdengar sejumlah ledakan di seluruh kota-kota Israel, termasuk Tel Aviv dan Yerusalem.
Dalam video online yang dibagikan televisi pemerintah Iran, drone yang digunakan bergaya sayap delta yang menyerupai Shahed-136. Drone yang sama yang juga digunakan Rusia saat menghadapi Ukraina.
Shahed-136 atau yang dikenal Rusia sebagai Geran-2, merupakan drone ringan yang dirancang sebagai loitering munition, atau disebut juga drone kamikaze atau drone bunuh diri.
✈ Drone kamikaze (DW)
Drone buatan industri manufaktur pesawat terbang Iran, HESA, ini memiliki panjang 3,5 meter dan sayap selebar 2,5 meter. Dengan kecepatan maksimum 185 kilometer per jam dan berat 200 kilogram, drone ini bisa memuat bahan peledak seberat 36 kilogram dengan daya jangkau terbang mencapai 2.500 kilometer.
Selain itu, keunggulan dari drone tersebut adalah dapat terbang rendah dan sulit untuk dideteksi.
Sementara itu, militer Ukraina menggunakan drone Bayraktar TB2 buatan Turki, yang merupakan pesawat tempur nirawak (UCAV).
UCAV berjenis medium altitude long endurance (MALE) besutan Baykar, perusahaan pertahanan swasta Turki yang memiliki spesialisasi dalam UAV dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ini, dapat diterbangkan dan dikendalikan dari jarak jauh atau otonom.
Berbeda dari Shahed-136 yang memiliki kemampuan kamikaze, Bayraktar TB2 lebih banyak digunakan untuk pengintaian dan surveilans untuk menemukan keberadaan musuh, memantau pergerakannya, hingga memandu tembakan artileri pertahanan ke arah mereka.
Jenis drone
✈ Drone Akinci Turkiye (Baykar)
Jika dilihat dari dua drone yang digunakan dalam dua pertempuran di atas, maka ada beberapa jenis drone yang perlu diketahui.
Berdasarkan NATO Standardization Agreement 4670, setidaknya ada tiga kelas system pesawat tanpa awak berdasarkan beratnya.
Kelas I memiliki berat kurang dari 150 kilogram, Kelas II memiliki berat antara 150 kilogram hingga 600 kilogram dan Kelas III memiliki berat di atas 600 kilogram.
Untuk Kelas I, NATO masih membaginya ke dalam tiga subkategori yaitu micro yang memiliki kemampuan terbang hingga 5 kilometer dengan ketinggian mencapai 200 kaki, seperti drone Black Hornet.
Lalu ada subkategori mini yang memiliki berat kurang dari 15 kilogram, dan mempunyai kemampuan terbang hingga radius 25 kilometer dengan ketinggian hingga mencapai 3.000 kaki, seperti drone Raven.
Serta subkategori kecil yang memiliki berat antara 15 kilogram hingga 150 kilogram dan kemampuan terbang hingga 50 kilometer dengan ketinggian hingga 5.000 kaki, seperti drone ScanEagle.
Sedangkan drone Kelas II atau drone taktis memiliki ketahanan penerbangan sekitar 10 jam dengan jangkauan maksimum antara 100-200 kilometer. Drone kelas ini juga mampu membawa muatan 70 kilogram dengan kecepatan tertinggi mencapai 200 kilometer/jam.
Umumnya ada sejumlah teknologi yang turut disematkan pada drone kelas ini, mulai dari sensor elektro optic, inframerah, laser penargetan, dan peralatan komunikasi. Selain itu, drone ini juga dilengkapi sistem persenjataan ringan.
Drone Kelas II menggunakan fixed wing sehingga memerlukan landasan pacu kecil untuk meluncurkannya. Contoh drone ini seperti Elbit Hermes 450.
Sedangkan drone Kelas III umumnya berupa Medium Altitute Long Endurance (MALE) maupun High Altituted Long Endurance (HALE) dengan kemampuan jelajah 24 jam atau lebih.
Selain dua subkategori di atas, drone Kelas III juga biasanya merupakan drone serang (strike/combat drone).
Sama seperti drone Kelas II, drone Kelas III umumnya menggunakan fixed wing dan dapat beroperasi pada jarak ribuan kilometer atau lebih tergantung pada peralatan komunikasi yang disematkan.
Beberapa contoh drone kelas ini yaitu Heron, Global Hawk dan Reaper.
Indonesia sendiri sebenarnya sempat membuat MALE drone, Elang Hitam, yang memiliki spesifikasi kombatan. Pengembangan drone ini dilakukan konsorsium enam lembaga dan PT Dirgantara Indonesia.
Keenam lembaga itu adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, Institut Teknologi Bandung (ITB), PT Dirgantara Indoesia, dan PT LEN Industri (Persero).
Namun, riset Elang Hitam sebagai drone kombatan pada akhirnya dihentikan dan drone ini dialihfungsikan menjadi drone sipil.
Game changer
✈ UCAV CH4 TNI AU (Dispenau)
Di dalam perkembangannya, drone dinilai telah menjadi game changer di dalam era perang modern, khususnya pertempuran udara.
Menurut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim, aspek penting di dalam sebuah pertempuran udara adalah serangan tiba-tiba atau surprise attack.
Peristiwa Pearl Harbour tahun 1941, di mana pasukan Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang melakukan serangan kamikaze terhadap Armada Pasifik AL Amerika Serikat yang tengah berlabuh di Pangkalan AL Pearl Harbor, Hawaii menjadi contoh nyata efektifitas surprise attack.
Selang 60 tahun kemudian, AS Kembali mendapatkan surprise attack setelah kelompok al-Qaeda membajak empat pesawat komersial yang hendak terbang ke California pada 11 September 2001.
Dua pesawat di antaranya digunakan untuk menabrak menara kembar World Trade Center (WTC) di New York. Pesawat ketiga digunakan untuk menyerang Pentagon, sedangkan pesawat keempat jatuh di sebuah pedesaan di wilayah Pennsylvania.
Chappy mengatakan, selama 20 tahun terakhir, tidak ada gagasan baru di dalam pengembangan teknologi jet tempur. Namun, hal berbeda justru dialami drone yang disebutnya sebagai bagian dari perang siber.
"Sudah terjadi disrupsi di air war. Drone lebih efisien karena bagian dari cyber war, punya AI. Dari AI, dia terangkum dalam sistem komando pengendalian yang satellite base. Orang sering menyebutnya star war, karena terjadinya di luar angkasa. Sekarang orang akan mengandalkan drone untuk menyerang," ucap Chappy dalam wawancara eksklusif dalam program BRIGADE Podcast, yang tayang pada kanal YouTube Kompas.com, pada Rabu (29/5/2024).
Salah satu keuntungan penggunaan drone dalam pembangunan sistem pertahanan dan serangan udara adalah harganya yang lebih murah, teknologi yang relatif lebih mudah dibuat dan dikembangkan, serta efektifitas di dalam melakukan manuver untuk menyerang target tertentu, dibandingkan jet tempur.
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia ini mencontohkan, ketika AS membalas serangan al-Qaeda akibat peristiwa 9/11, drone memainkan peranan penting di dalam keberhasilan operasi rahasia itu.
CIA, misalnya, mengerahkan MQ-1 Predator, pesawat nirawak atau unmanned aerial vehicle (UAV) untuk memburu keberadaan pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden pada Mei 2011. Setelah berhasil mengidentifikasi keberadaannya, pasukan Navy Seal AS kemudian melakukan penyerbuan di lokasi persembunyian Osama hingga menewaskannya.
"Waktu AS menyerang Afghanistan, Suriah, karena marah (terhadap) al-Qaeda, itu serang pakai drone. Pilotnya di Nevada. Kita bayangkan bagaimana perkembangan perang yang pengaruhi sistem pertahanan," ujarnya.
Operasi menggunakan drone pun kembali dilakukan AS untuk memburu orang kepercayaan Osama yang lain pada tahun-tahun berikutnya. Terbaru, Presiden AS Joe Biden memerintahkan serangan di wilayah Kabul, Afghanistan setelah intelijen meyakini menemukan lokasi pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri.
Setelah mempelajari kebiasaan sehari-hari Zawahiri, serangan menggunakan pesawat nirawak digunakan. Dua rudal Hellfire yang ditembakkan berhasil menghantam balkon rumah Zawahiri.
Serangan terhadap Zawahiri pada tahun 2022 itu hanya menewaskan sang pemimpin. Hal ini lantaran rudal Hellfire model R9X yang ditembakkan memiliki serangan terukur dan minim ledakan karena tidak dipersenjatai dengan hulu ledak, sehingga tidak menyebabkan kerusakan masif.
Penggunaan R9X tentu telah mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi terhadap masyarakat sipil yang tak bersalah apabila hulu ledak digunakan untuk menyasar target operasi.
"Drone adalah bagian dari perang udara. Dia jadi sangat istimewa karena metode yang paling menguntungkan dari air war itu surprise attack. Orang diserang dengan surprise attack pasti kalah," ucap Chappy.
Dalam contoh lainnya, Presiden Joko Widodo mengungkit kasus tewasnya Mayor Jenderal Qasem Soleimani, komandan Garda Revolusi Iran, akibat serangan drone yang dikendalikan dari jarak jauh.
Soleimani diketahui tewas di dekat Bandara Internasional Baghdad, Irak pada 3 Januari 2020 atas serangan pesawat nirawak AS yang dilakukan atas permintaan Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Jokowi menyebut, drone itu melakukan serangan yang sangat akurat dalam memburu target karena telah dilengkapi teknologi face recognition dengan tingkat akurasi tinggi.
Kepala Negara pun ingin agar TNI dapat beradaptasi dengan kemampuan teknologi yang ada saat ini, sehingga dapat lebih efektif di dalam menjalankan tugas-tugasnya.
"Ini adalah hal-hal yang harus kita ikuti, kita amati, bagaimana perkembangan teknologi itu bisa merubah dari perang konvensional atau perang-perang yang bisa dikendalikan dari jarak jauh," ucap Jokowi saat Rapim TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada 28 Februari 2024.
Bagaimana dengan Indonesia?
✈ Ujicoba Drone MALE Elang Hitam (Bambang Haryanta)
Mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal (Purn) Fadjar Prasetyo mengungkapkan bahwa TNI AU telah mempelajari dan mengoperasikan UAV atau drone sejak 2015.
Bahkan, ia menyebut, pasukan drone TNI AU juga sudah ikut bergabung di dalam sejumlah operasi gabungan yang dilakukan TNI-Polri di sejumlah wilayah Indonesia.
"Ke depan TNI akan terus dilengkapi dengan UAV dan UCAV (unmanned combat aerial vehicle/pesawat tempur tanpa awak) yang lebih modern," ungkap Fadjar saat membuka Rapat Pimpinan TNI AU Tahun 2024 di Gedung Puri Ardhya Garini, Jakarta, pada 29 Februari 2024 lalu, seperti dikutip dari Antara.
Sejauh ini, TNI Angkatan Udara telah memiliki dua skadron yang mengoperasikan UAV atau drone, yaitu Skadron Udara 51 yang bermarkas di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat dan Skadron Udara 52 yang berbasis di Lanud Raden Sadjad, Kepulauan Natuna.
Skadron Udara 52 merupakan markas bagi CH-4 Rainbow, sebuah UAV yang dikembangkan China Academy of Aerospace Aerodynamic. Pesawat ini memiliki daya tahan terbang hingga 40 jam dan daya tempuh mencapai 5.000 kilometer.
Pesawat ini juga dibekali kemampuan untuk dapat memuat muatan seberat 345 kilogram hingga sistem persenjataan berupa drop bomb atau guided drop bomb. Serta terintegrasi dengan satelit BLOS (Beyond Line of Sight).
Drone tipe MALE ini pernah ikut dalam latihan gabungan (latgab) TNI bersandi "Dharma Yuda 2019" di Pusat Latihan Tempur Marinir Asembagus, Situbondo, Jawa Timur.
Menariknya, selama mengikuti pelatihan tersebut, drone ini dikendalikan dari jarak jauh yaitu dari Surabaya, menurut Panglima TNI saat itu, Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto.
MALE drone ini rupanya berhasil melakukan misi menembak dan mengebom dari jarak 15.000 kaki dengan hasil yang sangat presisi.
Hadi menyebut, CH-4 masuk dalam pengadaan alutsista pada rencana strategis (renstra) TNI Tahap II tahun 2019. Rencananya, TNI akan mendatangkan enam pesawat serupa untuk menambah kekuata pada dua skadronnya.
Sementara itu, Skadron Udara 51 juga berhasil pada saat ikut ambil bagian dalam operasi gabungan TNI-Polri.
Misalnya, pada saat memburu kelompok teroris Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, TNI AU ikut serta dalam Operasi Tinombala.
Drone yang digunakan Skadron Udara 51 difungsikan untuk melakukan pengamatan berbagai area pegunungan, hingga berhasil mengidentifikasi pergerakan kelompok tersebut.
Hasil pemantauan itu kemudian dilaporkan sebagai informasi intelijen yang menjadi panduan bagi pasukan di darat untuk melaksanakan misi melumpuhkan kelompok ini.
TNI AU sendiri rencananya akan menambah dua skadron baru untuk mempertebal kekuatan pasukan dronenya, yaitu Skadron Udara 53 di Tarakan, Kalimantan Utara dan Skadron Udara 54 di Abdurachman Saleh, Malang, Jawa Timur.
Mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma (Purn) R Agung Sasongkojati mengatakan, dua skadron ini nantinya akan menjadi home base bagi ANKA, pesawat MALE drone buatan Turkish Aerospace Industries (TAI).
ANKA diketahui memiliki kemampuan terbang selama 33 jam dengan berat 1.700 kilogram dan dapat terbang dengan kecepatan 88 knot.
MALE drone ini dapat menjalankan berbagai fungsi sebagai drone tempur, seperti observasi (intelligence, surveillance, dan reconnaissance/ISR), deteksi dan identifikasi target, signal intelligence dan electronic warfare.
Selain itu, ANKA juga memiliki kemampuan untuk close air support mission, mengawasi wilayah maritim dan perbatasan, communication relay, air-to-ground strike, serta dilengkapi beberapa jenis senjata.
Mengutip Instagram @kemhanri, konfigrasi perangkat dan senjata yang bisa disematkan meliputi EO/IR SATCOM+Radio Relay, EO/IR+SATCOM + Laser Guided Smart Bombs and Missiles, EO/IR+SATCOM+SAR/ISAR/GMTI+AIS dan EO/IR+COMINT/DF+ESM/ELINT.
Rencananya, Indonesia akan mendatangkan 12 unit ANKA dari Turki. Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha menyebut, kontrak pembelian selusin MALE drone itu mencapai 300 juta dolar AS atau setara Rp 4,5 triliun.
Pembelian tersebut disertai dengan beberapa program pelatihan, alih teknologi,dan dukungan untuk integrated logistic support (ILS), ground support and test equipment (GS&TE), flight simulator, infrastruktur hangar, dan masa garansi selama 24 bulan/600 jam terbang.
Adapun dari 12 unit pesawat yang dibeli, enam di antaranya akan dirakit di Indonesia bersama PT Dirgantara Indonesia melalui proses transfer teknologi itu.
Mewujudkan pasukan drone TNI AU yang profesional ✈ UCAV MALE ANKA telah dipesan TNI (TAI)
Adaptasi terhadap teknologi kedirgantaraan modern perlu dilakukan TNI AU untuk menangkal setiap potensi ancaman yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.
Rencana penambahan drone, menurut KSAU Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono, bakal memperkuat armada pertahanan udara yang saat ini telah dimiliki TNI AU.
Selain CH-4 Rainbow dan ANKA, menurut Tonny, Indonesia berencana mendatangkan drone Bayraktar.
Bayraktar merupakan MALE drone besutan Baykar Turki, yang juga digunakan militer Ukraina saat menghadapi perang melawan Rusia.
"Mohon doa restunya, Angkatan Udara menjadi Angkatan Udara yang adaptif mengikuti perkembangan teknologi dan perkembangan situasi nasional, regional, maupun global," kata Tonny usai acara HUT ke-78 TNI AU di Lapangan Dirgantara AAU, Yogyakarta, seperti dilansir dari Antara.
Penerbang pesawat F-16 Fighting Falcon yang pernah terlibat dalam peristiwa Bawean ini menambahkan, ketiga jenis pesawat tanpa awak ini berteknologi satelit. Sehingga, diharapkan mampu mendukung pertempuran beyond visual range (BVR) atau pertempuran udara Jarak jauh.
"Kita bisa menerbangkan dari luar area yang ingin kita pantau misalnya di Papua atau di daerah mana, kita bisa menerbangkan dari luar Papua," ungkap penerbang tempur dengan callsign "Racoon" ini.
Dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, Agung mengungkapkan, teknologi pesawat drone dalam lima tahun terakhir, seperti yang digunakan dalam perang Rusia-Ukraina maupun serangan balasan Iran terhadap Israel, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari aspek teknologi.
Jika sebelumnya, sistem pengendalian drone sangat mahal, saat ini banyak sistem kendali yang digunakan untuk drone dengan harga yang lebih murah, sudah bisa digunakan untuk drone dengan spesifikasi militer.
"Maka tadinya yang autopilot, untuk survei, untuk terbang sejam-dua jam, sekarang bisa digunakan untuk menerbangkan drone 5 jam, 6 jam, membawa bahan peledak, melintasi negara, melintasi gunung, bahkan juga bisa disetel untuk following terrain, terbang rendah sesuai dengan mengikuti kontur, sehingga bisa menyerang dari Jarak jauh dan bisa bebas melewati tangkapan radar," ungkap Agung di program BRIGADE Podcast yang tayang di kanal YouTube Kompas.com, Rabu (29/5/2024).
Mantan pilot F-5 Tiger dengan callsign "Sharky" ini menambahkan, Indonesia yang merupakan negara kepulauan besar ini akan diuntungkan bila memperkuat armada drone untuk pengawasan.
Ia menjelaskan, sebagai negara dengan luas mencapai 1.904.569 kilometer persegi, tantangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini adalah pada aspek pengawasan.
Banyak kasus kejahatan yang terjadi di wilayah perbatasan yang tak terpantau langsung, meskipun upaya pengawasan telah dilakukan selama 24 jam baik menggunakan radar maupun pesawat pengintai.
Adapun kasus kejahatan itu, misalnya, illegal fishing, illegal mining, hingga penyelundupan barang secara illegal, baik itu narkoba maupun barang lain yang memiliki nilai ekonomis tetapi telah diproduksi di dalam negeri. Sehingga, hal tersebut berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
"Kita perlu pengawasan 24 jam. Udara bisa diawasi lewat radar kalau ada pesawat masuk. Laut juga ada radar. Namun tetap (pengawasan lewat radar) itu terbatas karena pengoperasinya adalah manusia," ucapnya.
Dengan drone, upaya pengawasan dapat dilakukan lebih maksimal. Sebab, selain dikendalikan secara manual oleh pilot, drone juga bisa dikendalikan secara otonom dengan bantuan AI.
Namun, AI yang bekerja di sini tetap berada di bawah kendali penuh pilot yang mengoperasikan drone tersebut dari ruang kendali. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya kesalahan ketika AI mulai menganalisis potensi ancaman yang didapati pada saat melakukan pengawasan pada target yang ditentukan.
"Dengan AI dia sudah bisa mewakili manusia untuk menentukan sampai seberapa jauh, dia ini sudah melanggar, mengganggu, mengusik, sehingga mereka bisa melakukan tindakan lain, yang baru setelah itu bertanya kepada manusia, saya ngapain nih," ujarnya.
"Tapi sebelum itu dia sudah bisa dengan gerak-geriknya, dengan waktu jalannya, kecepatannya, gerak-gerik orang di dalam itu dia sudah mengetahui bahwa ini mencurigakan. setelah itu diverifikasi ini mencurigakannya beralasan tidak, tanya, nah baru itu manusia berperan," imbuh dia.
Kelebihan lain di dalam penggunaan drone, menurut Sharky, tidak membutuhkan landasan panjang untuk take off. Kondisi ini menguntungkan apabila sewaktu-waktu dideteksi adanya ancaman langsung, drone bisa berperan terlebih dulu untuk melakukan pengintaian, pencegatan, bahkan perlawanan, sebelum pesawat tempur berawak menuju lokasi target.
"Kalau ternyata dia dianggap sangat berbahaya lalu merupakan direct threat atau ancaman langsung, contohnya pesawat tanpa awak dengan kecepatan sekian lurus menuju ibu kota, wah ngapain nih, nah itu kita bisa langsung melakukan tindakan. Tindakan-Tindakan sesuai dengan prosedur akan dilakukan, dan itu drone akan lebih cepat," kata dia.
"Bahkan mungkin, sebelum manusianya take off, drone ini bisa di-take off-kan lebih dulu untuk menyanggong (mengecek). Karena dia (drone) kan (bisa) tiap saat (terbang). Enggak perlu orang bangung, lari, pasang ini (jaket pilot). (Drone itu) langsung deg nyala mesin, GPS-nya on, lalu dia sistemnya disiapkan dia bisa airbone dulu," imbuhnya.
Dalam contoh lainnya, menurut Agung, kelebihan drone yang patut dipertimbangkan adalah terletak pada proses mencetak pilot, dibandingkan jet tempur.
Menurutnya, jika ada misi yang sifatnya kuantitatif, membutuhkan pesawat dan pilot dalam skala besar, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bila harus mencetak banyak pilot pesawat tempur dalam Waktu singkat.
Pada dasarnya, kata Agung, teruji atau tidaknya seorang pilot untuk melaksanakan sebuah misi tergantung pada jam terbang yang telah mereka kantongi.
Seorang pilot juga dituntut untuk memiliki kecerdasan tinggi, karena mereka dituntut harus mampu berpikir dan mengambil keputusan secara cepat, baik itu saat menjalankan misi mandiri maupun bekerja sama dalam tim.
Namun untuk pilot jet tempur, juga dibutuhkan kemampuan fisik dalam beradaptasi yang tinggi. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap seberapa kuat mereka ketika menghadapi tekanan saat terbang dan juga berkorelasi terhadap mental dan kemampuan berpikirnya.
"Nah untuk pesawat tanpa awak, tidak ada beban fisik yang lebih dalam. Tidak ada beban ini. Secara psikisnya dia (memang) harus kuat, (juga) secara skillnya. Namun skillnya kan bisa (dilatih) menggunakan simulator," ucapnya.
"Akibatnya, untuk mendapatkan pilot untuk pesawat tanpa awak relatif lebih mudah. Karena mungkin soal fisiknya ya, physically adapt itu dikurangi. Padahal itu beban terbesar untuk mendapatkan penerbang tempur itu adalah secara physically adapt," ujarnya.
Sharky menegaskan bahwa seorang pilot memiliki peranan penting di dalam keberhasilan operasi yang dilakukan drone. Meskipun drone saat ini telah dibekali AI sehingga mampu bergerak otonom, proses pengambilan keputusan tetaplah harus berada di tangan pilot.
Hal ini diperlukan agar drone tetap berfungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai alat pengawasan, pertahanan negara, serta membantu melumpuhkan setiap ancaman yang datang. Bukan sebaliknya menjadi mesin pembunuh bagi masyarakat sipil yang tidak bersalah karena kesalahan di dalam proses pengambilan keputusan.
Seperti serangan drone otonom saat terjadi pada saat perang saudara di Libya pada 2020 lalu.
Hal ini diketahui berdasarkan laporan panel ahli independen yang ditugaskan PBB untuk menyelidiki perang Libya, sebagaimana dilaporkan New York Times pada 3 Juni 2021.
Konvoi logistik Haftar Affiliated Force (HAF) diburu dan dilawan dari jarak jauh oleh drone otonom STM Kargu-2, setelah dipukul mundur oleh pasukan militer yang bergerak atas perintah Perdana Menteri Faiez Serraj.
Sistem senjata otonom mematikan diprogram untuk menyerang sasaran tanpa memerlukan konektivitas data antara operator dan amunisi. Pada dasarnya, drone tersebut dibekali kemampuan "fire, forget, and find" dalam misi yang sebenarnya.
Kemandirian teknologi dalam negeri ✈ UCAV TB2 Baykar (Baykar)
Sementara itu, selain menyiapkan skadron dan pilot yang profesional, hal lain yang tak kalah penting untuk disiapkan adalah kemampuan negeri sendiri dalam mengembangkan drone kombatan.
Indonesia bukannya tidak mampu membuat MALE drone kombatan sendiri. Buktinya, Elang Hitam berhasil dibuat, meskipun akhirnya beralih status dari drone tempur menjadi drone sipil.
Adanya keterbatasan akses terhadap mission system-lah yang membuat proyek ini harus beralih status dari kombatan menjadi sipil.
Namun, persoalan ini semestinya menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh para ahli drone di dalam negeri, sehingga Indonesia dapat secara mandiri mengembangkan drone versi kombatannya.
Menurut Guru Besar Teknik Elektro Universitas Indonesia Prof. Benyamin Kusumoputro, salah satu hal penting dan mahal di dalam pengembangan sebuah drone adalah sistem kendali. Setidaknya, ada dua jenis sistem kendali yang saat ini diketahui, yaitu sistem kendali berbasis mathematical modelling dan berbasis AI.
Sistem kendali berbasis mathematical modelling merupakan sistem kendali yang banyak digunakan oleh drone saat ini. Banyak negara di luar Indonesia yang sudah jauh lebih maju dalam menguasai sistem ini.
Sementara sistem kendali berbasis AI, relatif lebih baru. Benyamin yang juga dikenal sebagai "Professor Drone" karena meneliti sistem pengendalian drone berbasis AI sejak 2009 itu, meyakini bahwa Indonesia mampu bersaing dibandingkan negara lain.
"Drone berbasis AI masih dalam skala riset. Jadi, kalau mau dikembangkan kita mampu. AI itu ilmu masih baru. Kita enggak kalah dari researcher di luar negeri. Masalahnya support dan policy pemerintah," kata Benyamin dalam wawancara khusus BRIGADE Podcast yang tayang di kanal YouTube Kompas.com, Rabu (29/5/2024).
Dari aspek software, ia meyakini, bahwa software sistem pengendalian berbasis AI yang ada di Indonesia sudah baik dan bahkan sudah dapat diimplementasikan. Namun yang jadi persoalan adalah ketika hendak mengaplikasikan software itu ke dalam hardware, yang dalam hal ini UAV, UCAV atau bahkan jet tempur.
Sulitnya akses untuk terhadap drone kombatan maupun jet tempur untuk mempelajari pola pengendalian berbasis AI merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Sehingga, diperlukan kolaborasi antar stakeholders, yang dalam hal ini antara peneliti dan TNI untuk mengembangkan teknologi pengendalian berbasis AI bersama-sama.
Benyamin mengakui bahwa selama ini dirinya kerap mendapatkan anggaran riset dari pemerintah untuk mengembangkan software pengendalian drone berbasis AI tersebut. Namun sejauh ini, belum ada kerja sama yang dibangun dengan militer untuk mengimplementasikannya sehingga hasil yang diharapkan lebih paripurna.
"Ketika research secara software udah bagus, terapin ke hardware agak rumit karena belum ada di pasaran di Indonesia. Kalau yang military spec udah enggak mungkin masuk ke Indonesia. Perlu kemandirian, tapi butuh waktu buat riset. Kita nggak bisa pesen maunya kita, harus beli yang sudah ada," ucapnya.
Kemandirian di dalam mengembangkan drone kombatan sebagai kekuatan pertahanan, menurutnya, harus mampu dikuasai Indonesia.
Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah yang diatur di dalam Perpres RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020-2024.
Di dalam perpres itu disebutkan bahwa pembangunan teknologi pertahanan diarahkan untuk menguasai teknologi kunci program prioritas yaitu pesawat tempur, kapal selam, propelan, roket, peluru kendali, radar, satelit militer, tank berukuran sedang, pesawat udara tanpa awak, dan atau penginderaan Bawah permukaan air.
Di samping itu, pembangunan teknologi pertahanan juga diarahkan untuk membangun teknologi pendukung daya gempur, daya gerak, penginderaan, peperangan elektronik dan siber.
Dengan mengembangkan drone kombatan di dalam negeri, menurut Benyamin, Indonesia dapat terhindar dari ketergantungan teknologi dari negara lain. Sesuatu yang tentu saja dapat menjadi persoalan di masa depan apabila Indonesia harus sampai terlibat perang.
Persoalan lainnya, ketika Indonesia mendatangkan drone dari luar negeri, ada kemungkinan bahwa data rahasia yang dimiliki Indonesia justru mengalir keluar negeri.
Ia pun menganalogikan persoalan ini seperti mobil yang telah dilengkapi sistem otonom. Di negara pabrikan asalnya, mobil yang telah dilengkapi sistem kendali otonom tentu akan melaju dengan mudahnya karena telah disetting dengan GPS dan perilaku masyarakat sesuai budayanya.
Lain halnya ketika mobil tersebut diimpor ke Indonesia dan melintasi jalanan di Tanah Air. Ia harus beradaptasi kembali dengan perilaku masyarakat di Indonesia.
"Ada orang nyeberang seenaknya di sini, itu saja sudah bikin sistem otonom kacau. Mereka butuh data itu dari Indonesia, jadi data mereka," ujarnya.
Hal ini tentu tidak menjadi masalah apabila kebiasaan itu dipelajari untuk teknologi sederhana yang tidak berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Namun, akan menjadi persoalan serius apabila yang dipelajari dan data itu dikirim keluar negeri adalah data untuk kepentingan pertahanan.
Selama ini, Indonesia masih mengimpor drone kombatan dari negara lain. Padahal, dari kemampuan jelajah terbang, MALE drone Indonesia, Elang Hitam, sebenarnya tidak kalah dibandingkan MQ-9 Reaper, CH-4 Rainbow, hingga Bayraktar.
Menurut Benyamin, jika riset di dalam negeri digalakkan, tentu kemampuan para insinyur akan meningkat. Sehingga, bisa menciptakan drone kombatan berkemampuan canggih dengan harga yang lebih terjangkau.
Kondisi ini tentu akan menguntungkan pemerintah dalam mengatasi keterbatasan anggaran dalam memenuhi kebutuhan alutsista pertahanan.
Di sisi lain, kedaulatan informasi juga dapat dijaga karena teknologi yang digunakan buatan negeri sendiri. Lain halnya bila drone tersebut masih diimpor dari luar negeri.
"Ketika kita merasa mampu mempertahankan negara, itu menjadi semu. Karena, ketika data enggak ada di kita, tapi enggak dipakai sama mereka. Kita masih merasa punya kemampuan mempertahankan negara. Lain halnya kalau data kita dibuka, kita enggak punya pertahanan sama sekali," ungkapnya.
Tentu masih segar dalam ingatan saat peristiwa Bawean terjadi pada 2003 lalu. Saat itu, dua pesawat F-16 Fighting Falcon TNI AU nyaris "dogfight" dengan lima F-18 Hornet milik Angkatan Laut AS yang melintas di atas Pulau Bawean, Jawa Timur.
Walau begitu, perang elektronik antara F-16 dengan F-18 tak dapat dihindarkan, yang membuat radar tak bisa membaca pergerakan musuh karena di-jamming.
Baik F-16 maupun F-18, kemudian saling bermanuver untuk mencari celah menembak. Namun, salah satu F-16 berhasil dikunci oleh F-18 yang siap menembak dengan rudal Sidewinder-nya.
Melihat hal ini, F-16 yang lain melaksanakan rocking the wing untuk memberi tahu kepada F-18 bahwa mereka tidak mengancam.
Tentu tidak ada satu pun negara yang berharap akan berada pada situasi peperangan. Namun, bila hal ini terjadi, akan menjadi persoalan jika Indonesia terlibat dan harus menggunakan drone.
Apalagi, bila dalam perang tersebut, Indonesia berhadapan dengan negara asal drone yang digunakan. Mereka telah menguasai teknologinya dan tentu dapat dengan mudah melumpuhkan drone tersebut melalui perang elektronik.
Konflik antara Rusia dan Ukraina, serta yang terbaru antara Iran dan Israel, menjadi panggung hadirnya pesawat tanpa awak atau drone di dalam era peperangan modern. Kehadiran drone saat ini tak lagi hanya sekedar sebagai alat pengintai semata, tetapi sudah menjadi alat bantu militer dalam melancarkan serangan udara.
Pesatnya penggunaan drone tentu perlu dicermati oleh pemerintah dan TNI Angkatan Udara, terutama di dalam membangun postur kekuatan alat utama sistem senjata (alutsista) demi mengamankan wilayah kedaulatan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam serangan yang terjadi pada 14 April 2024 lalu itu, tak kurang dari 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal jelajah yang digunakan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) untuk melakukan serangan balasan terhadap Israel.
Serangan ini dilakukan usai Israel diduga menyerang konsulat Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan 13 orang, termasuk Mayor Jenderal Mohammad Reza Zahed.
Dalam kurun waktu lima jam usai ditembakkan, drone, rudal balistik dan rudal jelajah mulai masuk ke wilayah udara Israel usai menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 1.800 kilometer. Beruntung, negara yang dipimpin Perdana Menteri Benyamin Netanyahu ini memiliki sistem pertahanan udara Iron Dome, yang diklaim berhasil menghalau 99 persen serangan tersebut.
Keberhasilan Israel dalam menghalau serangan itu juga tidak terlepas dari bantuan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis yang menembak jatuh rudal-rudal dan drone Iran sebelum memasuki perbatasan.
Selain itu, Yordania juga turut menembak jatuh beberapa rudal Iran yang menerobos wilayah udaranya.
Israel sendiri mengklaim bahwa serangan yang disebut IRGC sebagai "Operation True Promise" itu hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur minor. Meskipun dalam sejumlah pemberitaan media massa menunjukkan bahwa beberapa fasilitas militer Israel mengalami kerusakan.
Al Jazeera bahkan melaporkan bahwa serangan itu berhasil membuat sirene serangan udara di 720 lokasi meraung-raung. Serta, terdengar sejumlah ledakan di seluruh kota-kota Israel, termasuk Tel Aviv dan Yerusalem.
Dalam video online yang dibagikan televisi pemerintah Iran, drone yang digunakan bergaya sayap delta yang menyerupai Shahed-136. Drone yang sama yang juga digunakan Rusia saat menghadapi Ukraina.
Shahed-136 atau yang dikenal Rusia sebagai Geran-2, merupakan drone ringan yang dirancang sebagai loitering munition, atau disebut juga drone kamikaze atau drone bunuh diri.
✈ Drone kamikaze (DW)
Drone buatan industri manufaktur pesawat terbang Iran, HESA, ini memiliki panjang 3,5 meter dan sayap selebar 2,5 meter. Dengan kecepatan maksimum 185 kilometer per jam dan berat 200 kilogram, drone ini bisa memuat bahan peledak seberat 36 kilogram dengan daya jangkau terbang mencapai 2.500 kilometer.
Selain itu, keunggulan dari drone tersebut adalah dapat terbang rendah dan sulit untuk dideteksi.
Sementara itu, militer Ukraina menggunakan drone Bayraktar TB2 buatan Turki, yang merupakan pesawat tempur nirawak (UCAV).
UCAV berjenis medium altitude long endurance (MALE) besutan Baykar, perusahaan pertahanan swasta Turki yang memiliki spesialisasi dalam UAV dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ini, dapat diterbangkan dan dikendalikan dari jarak jauh atau otonom.
Berbeda dari Shahed-136 yang memiliki kemampuan kamikaze, Bayraktar TB2 lebih banyak digunakan untuk pengintaian dan surveilans untuk menemukan keberadaan musuh, memantau pergerakannya, hingga memandu tembakan artileri pertahanan ke arah mereka.
Jenis drone
✈ Drone Akinci Turkiye (Baykar)
Jika dilihat dari dua drone yang digunakan dalam dua pertempuran di atas, maka ada beberapa jenis drone yang perlu diketahui.
Berdasarkan NATO Standardization Agreement 4670, setidaknya ada tiga kelas system pesawat tanpa awak berdasarkan beratnya.
Kelas I memiliki berat kurang dari 150 kilogram, Kelas II memiliki berat antara 150 kilogram hingga 600 kilogram dan Kelas III memiliki berat di atas 600 kilogram.
Untuk Kelas I, NATO masih membaginya ke dalam tiga subkategori yaitu micro yang memiliki kemampuan terbang hingga 5 kilometer dengan ketinggian mencapai 200 kaki, seperti drone Black Hornet.
Lalu ada subkategori mini yang memiliki berat kurang dari 15 kilogram, dan mempunyai kemampuan terbang hingga radius 25 kilometer dengan ketinggian hingga mencapai 3.000 kaki, seperti drone Raven.
Serta subkategori kecil yang memiliki berat antara 15 kilogram hingga 150 kilogram dan kemampuan terbang hingga 50 kilometer dengan ketinggian hingga 5.000 kaki, seperti drone ScanEagle.
Sedangkan drone Kelas II atau drone taktis memiliki ketahanan penerbangan sekitar 10 jam dengan jangkauan maksimum antara 100-200 kilometer. Drone kelas ini juga mampu membawa muatan 70 kilogram dengan kecepatan tertinggi mencapai 200 kilometer/jam.
Umumnya ada sejumlah teknologi yang turut disematkan pada drone kelas ini, mulai dari sensor elektro optic, inframerah, laser penargetan, dan peralatan komunikasi. Selain itu, drone ini juga dilengkapi sistem persenjataan ringan.
Drone Kelas II menggunakan fixed wing sehingga memerlukan landasan pacu kecil untuk meluncurkannya. Contoh drone ini seperti Elbit Hermes 450.
Sedangkan drone Kelas III umumnya berupa Medium Altitute Long Endurance (MALE) maupun High Altituted Long Endurance (HALE) dengan kemampuan jelajah 24 jam atau lebih.
Selain dua subkategori di atas, drone Kelas III juga biasanya merupakan drone serang (strike/combat drone).
Sama seperti drone Kelas II, drone Kelas III umumnya menggunakan fixed wing dan dapat beroperasi pada jarak ribuan kilometer atau lebih tergantung pada peralatan komunikasi yang disematkan.
Beberapa contoh drone kelas ini yaitu Heron, Global Hawk dan Reaper.
Indonesia sendiri sebenarnya sempat membuat MALE drone, Elang Hitam, yang memiliki spesifikasi kombatan. Pengembangan drone ini dilakukan konsorsium enam lembaga dan PT Dirgantara Indonesia.
Keenam lembaga itu adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, Institut Teknologi Bandung (ITB), PT Dirgantara Indoesia, dan PT LEN Industri (Persero).
Namun, riset Elang Hitam sebagai drone kombatan pada akhirnya dihentikan dan drone ini dialihfungsikan menjadi drone sipil.
Game changer
✈ UCAV CH4 TNI AU (Dispenau)
Di dalam perkembangannya, drone dinilai telah menjadi game changer di dalam era perang modern, khususnya pertempuran udara.
Menurut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim, aspek penting di dalam sebuah pertempuran udara adalah serangan tiba-tiba atau surprise attack.
Peristiwa Pearl Harbour tahun 1941, di mana pasukan Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang melakukan serangan kamikaze terhadap Armada Pasifik AL Amerika Serikat yang tengah berlabuh di Pangkalan AL Pearl Harbor, Hawaii menjadi contoh nyata efektifitas surprise attack.
Selang 60 tahun kemudian, AS Kembali mendapatkan surprise attack setelah kelompok al-Qaeda membajak empat pesawat komersial yang hendak terbang ke California pada 11 September 2001.
Dua pesawat di antaranya digunakan untuk menabrak menara kembar World Trade Center (WTC) di New York. Pesawat ketiga digunakan untuk menyerang Pentagon, sedangkan pesawat keempat jatuh di sebuah pedesaan di wilayah Pennsylvania.
Chappy mengatakan, selama 20 tahun terakhir, tidak ada gagasan baru di dalam pengembangan teknologi jet tempur. Namun, hal berbeda justru dialami drone yang disebutnya sebagai bagian dari perang siber.
"Sudah terjadi disrupsi di air war. Drone lebih efisien karena bagian dari cyber war, punya AI. Dari AI, dia terangkum dalam sistem komando pengendalian yang satellite base. Orang sering menyebutnya star war, karena terjadinya di luar angkasa. Sekarang orang akan mengandalkan drone untuk menyerang," ucap Chappy dalam wawancara eksklusif dalam program BRIGADE Podcast, yang tayang pada kanal YouTube Kompas.com, pada Rabu (29/5/2024).
Salah satu keuntungan penggunaan drone dalam pembangunan sistem pertahanan dan serangan udara adalah harganya yang lebih murah, teknologi yang relatif lebih mudah dibuat dan dikembangkan, serta efektifitas di dalam melakukan manuver untuk menyerang target tertentu, dibandingkan jet tempur.
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia ini mencontohkan, ketika AS membalas serangan al-Qaeda akibat peristiwa 9/11, drone memainkan peranan penting di dalam keberhasilan operasi rahasia itu.
CIA, misalnya, mengerahkan MQ-1 Predator, pesawat nirawak atau unmanned aerial vehicle (UAV) untuk memburu keberadaan pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden pada Mei 2011. Setelah berhasil mengidentifikasi keberadaannya, pasukan Navy Seal AS kemudian melakukan penyerbuan di lokasi persembunyian Osama hingga menewaskannya.
"Waktu AS menyerang Afghanistan, Suriah, karena marah (terhadap) al-Qaeda, itu serang pakai drone. Pilotnya di Nevada. Kita bayangkan bagaimana perkembangan perang yang pengaruhi sistem pertahanan," ujarnya.
Operasi menggunakan drone pun kembali dilakukan AS untuk memburu orang kepercayaan Osama yang lain pada tahun-tahun berikutnya. Terbaru, Presiden AS Joe Biden memerintahkan serangan di wilayah Kabul, Afghanistan setelah intelijen meyakini menemukan lokasi pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri.
Setelah mempelajari kebiasaan sehari-hari Zawahiri, serangan menggunakan pesawat nirawak digunakan. Dua rudal Hellfire yang ditembakkan berhasil menghantam balkon rumah Zawahiri.
Serangan terhadap Zawahiri pada tahun 2022 itu hanya menewaskan sang pemimpin. Hal ini lantaran rudal Hellfire model R9X yang ditembakkan memiliki serangan terukur dan minim ledakan karena tidak dipersenjatai dengan hulu ledak, sehingga tidak menyebabkan kerusakan masif.
Penggunaan R9X tentu telah mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi terhadap masyarakat sipil yang tak bersalah apabila hulu ledak digunakan untuk menyasar target operasi.
"Drone adalah bagian dari perang udara. Dia jadi sangat istimewa karena metode yang paling menguntungkan dari air war itu surprise attack. Orang diserang dengan surprise attack pasti kalah," ucap Chappy.
Dalam contoh lainnya, Presiden Joko Widodo mengungkit kasus tewasnya Mayor Jenderal Qasem Soleimani, komandan Garda Revolusi Iran, akibat serangan drone yang dikendalikan dari jarak jauh.
Soleimani diketahui tewas di dekat Bandara Internasional Baghdad, Irak pada 3 Januari 2020 atas serangan pesawat nirawak AS yang dilakukan atas permintaan Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Jokowi menyebut, drone itu melakukan serangan yang sangat akurat dalam memburu target karena telah dilengkapi teknologi face recognition dengan tingkat akurasi tinggi.
Kepala Negara pun ingin agar TNI dapat beradaptasi dengan kemampuan teknologi yang ada saat ini, sehingga dapat lebih efektif di dalam menjalankan tugas-tugasnya.
"Ini adalah hal-hal yang harus kita ikuti, kita amati, bagaimana perkembangan teknologi itu bisa merubah dari perang konvensional atau perang-perang yang bisa dikendalikan dari jarak jauh," ucap Jokowi saat Rapim TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada 28 Februari 2024.
Bagaimana dengan Indonesia?
✈ Ujicoba Drone MALE Elang Hitam (Bambang Haryanta)
Mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal (Purn) Fadjar Prasetyo mengungkapkan bahwa TNI AU telah mempelajari dan mengoperasikan UAV atau drone sejak 2015.
Bahkan, ia menyebut, pasukan drone TNI AU juga sudah ikut bergabung di dalam sejumlah operasi gabungan yang dilakukan TNI-Polri di sejumlah wilayah Indonesia.
"Ke depan TNI akan terus dilengkapi dengan UAV dan UCAV (unmanned combat aerial vehicle/pesawat tempur tanpa awak) yang lebih modern," ungkap Fadjar saat membuka Rapat Pimpinan TNI AU Tahun 2024 di Gedung Puri Ardhya Garini, Jakarta, pada 29 Februari 2024 lalu, seperti dikutip dari Antara.
Sejauh ini, TNI Angkatan Udara telah memiliki dua skadron yang mengoperasikan UAV atau drone, yaitu Skadron Udara 51 yang bermarkas di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat dan Skadron Udara 52 yang berbasis di Lanud Raden Sadjad, Kepulauan Natuna.
Skadron Udara 52 merupakan markas bagi CH-4 Rainbow, sebuah UAV yang dikembangkan China Academy of Aerospace Aerodynamic. Pesawat ini memiliki daya tahan terbang hingga 40 jam dan daya tempuh mencapai 5.000 kilometer.
Pesawat ini juga dibekali kemampuan untuk dapat memuat muatan seberat 345 kilogram hingga sistem persenjataan berupa drop bomb atau guided drop bomb. Serta terintegrasi dengan satelit BLOS (Beyond Line of Sight).
Drone tipe MALE ini pernah ikut dalam latihan gabungan (latgab) TNI bersandi "Dharma Yuda 2019" di Pusat Latihan Tempur Marinir Asembagus, Situbondo, Jawa Timur.
Menariknya, selama mengikuti pelatihan tersebut, drone ini dikendalikan dari jarak jauh yaitu dari Surabaya, menurut Panglima TNI saat itu, Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto.
MALE drone ini rupanya berhasil melakukan misi menembak dan mengebom dari jarak 15.000 kaki dengan hasil yang sangat presisi.
Hadi menyebut, CH-4 masuk dalam pengadaan alutsista pada rencana strategis (renstra) TNI Tahap II tahun 2019. Rencananya, TNI akan mendatangkan enam pesawat serupa untuk menambah kekuata pada dua skadronnya.
Sementara itu, Skadron Udara 51 juga berhasil pada saat ikut ambil bagian dalam operasi gabungan TNI-Polri.
Misalnya, pada saat memburu kelompok teroris Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, TNI AU ikut serta dalam Operasi Tinombala.
Drone yang digunakan Skadron Udara 51 difungsikan untuk melakukan pengamatan berbagai area pegunungan, hingga berhasil mengidentifikasi pergerakan kelompok tersebut.
Hasil pemantauan itu kemudian dilaporkan sebagai informasi intelijen yang menjadi panduan bagi pasukan di darat untuk melaksanakan misi melumpuhkan kelompok ini.
TNI AU sendiri rencananya akan menambah dua skadron baru untuk mempertebal kekuatan pasukan dronenya, yaitu Skadron Udara 53 di Tarakan, Kalimantan Utara dan Skadron Udara 54 di Abdurachman Saleh, Malang, Jawa Timur.
Mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsma (Purn) R Agung Sasongkojati mengatakan, dua skadron ini nantinya akan menjadi home base bagi ANKA, pesawat MALE drone buatan Turkish Aerospace Industries (TAI).
ANKA diketahui memiliki kemampuan terbang selama 33 jam dengan berat 1.700 kilogram dan dapat terbang dengan kecepatan 88 knot.
MALE drone ini dapat menjalankan berbagai fungsi sebagai drone tempur, seperti observasi (intelligence, surveillance, dan reconnaissance/ISR), deteksi dan identifikasi target, signal intelligence dan electronic warfare.
Selain itu, ANKA juga memiliki kemampuan untuk close air support mission, mengawasi wilayah maritim dan perbatasan, communication relay, air-to-ground strike, serta dilengkapi beberapa jenis senjata.
Mengutip Instagram @kemhanri, konfigrasi perangkat dan senjata yang bisa disematkan meliputi EO/IR SATCOM+Radio Relay, EO/IR+SATCOM + Laser Guided Smart Bombs and Missiles, EO/IR+SATCOM+SAR/ISAR/GMTI+AIS dan EO/IR+COMINT/DF+ESM/ELINT.
Rencananya, Indonesia akan mendatangkan 12 unit ANKA dari Turki. Kepala Biro Humas Setjen Kemenhan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha menyebut, kontrak pembelian selusin MALE drone itu mencapai 300 juta dolar AS atau setara Rp 4,5 triliun.
Pembelian tersebut disertai dengan beberapa program pelatihan, alih teknologi,dan dukungan untuk integrated logistic support (ILS), ground support and test equipment (GS&TE), flight simulator, infrastruktur hangar, dan masa garansi selama 24 bulan/600 jam terbang.
Adapun dari 12 unit pesawat yang dibeli, enam di antaranya akan dirakit di Indonesia bersama PT Dirgantara Indonesia melalui proses transfer teknologi itu.
Mewujudkan pasukan drone TNI AU yang profesional ✈ UCAV MALE ANKA telah dipesan TNI (TAI)
Adaptasi terhadap teknologi kedirgantaraan modern perlu dilakukan TNI AU untuk menangkal setiap potensi ancaman yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.
Rencana penambahan drone, menurut KSAU Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono, bakal memperkuat armada pertahanan udara yang saat ini telah dimiliki TNI AU.
Selain CH-4 Rainbow dan ANKA, menurut Tonny, Indonesia berencana mendatangkan drone Bayraktar.
Bayraktar merupakan MALE drone besutan Baykar Turki, yang juga digunakan militer Ukraina saat menghadapi perang melawan Rusia.
"Mohon doa restunya, Angkatan Udara menjadi Angkatan Udara yang adaptif mengikuti perkembangan teknologi dan perkembangan situasi nasional, regional, maupun global," kata Tonny usai acara HUT ke-78 TNI AU di Lapangan Dirgantara AAU, Yogyakarta, seperti dilansir dari Antara.
Penerbang pesawat F-16 Fighting Falcon yang pernah terlibat dalam peristiwa Bawean ini menambahkan, ketiga jenis pesawat tanpa awak ini berteknologi satelit. Sehingga, diharapkan mampu mendukung pertempuran beyond visual range (BVR) atau pertempuran udara Jarak jauh.
"Kita bisa menerbangkan dari luar area yang ingin kita pantau misalnya di Papua atau di daerah mana, kita bisa menerbangkan dari luar Papua," ungkap penerbang tempur dengan callsign "Racoon" ini.
Dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, Agung mengungkapkan, teknologi pesawat drone dalam lima tahun terakhir, seperti yang digunakan dalam perang Rusia-Ukraina maupun serangan balasan Iran terhadap Israel, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari aspek teknologi.
Jika sebelumnya, sistem pengendalian drone sangat mahal, saat ini banyak sistem kendali yang digunakan untuk drone dengan harga yang lebih murah, sudah bisa digunakan untuk drone dengan spesifikasi militer.
"Maka tadinya yang autopilot, untuk survei, untuk terbang sejam-dua jam, sekarang bisa digunakan untuk menerbangkan drone 5 jam, 6 jam, membawa bahan peledak, melintasi negara, melintasi gunung, bahkan juga bisa disetel untuk following terrain, terbang rendah sesuai dengan mengikuti kontur, sehingga bisa menyerang dari Jarak jauh dan bisa bebas melewati tangkapan radar," ungkap Agung di program BRIGADE Podcast yang tayang di kanal YouTube Kompas.com, Rabu (29/5/2024).
Mantan pilot F-5 Tiger dengan callsign "Sharky" ini menambahkan, Indonesia yang merupakan negara kepulauan besar ini akan diuntungkan bila memperkuat armada drone untuk pengawasan.
Ia menjelaskan, sebagai negara dengan luas mencapai 1.904.569 kilometer persegi, tantangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini adalah pada aspek pengawasan.
Banyak kasus kejahatan yang terjadi di wilayah perbatasan yang tak terpantau langsung, meskipun upaya pengawasan telah dilakukan selama 24 jam baik menggunakan radar maupun pesawat pengintai.
Adapun kasus kejahatan itu, misalnya, illegal fishing, illegal mining, hingga penyelundupan barang secara illegal, baik itu narkoba maupun barang lain yang memiliki nilai ekonomis tetapi telah diproduksi di dalam negeri. Sehingga, hal tersebut berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
"Kita perlu pengawasan 24 jam. Udara bisa diawasi lewat radar kalau ada pesawat masuk. Laut juga ada radar. Namun tetap (pengawasan lewat radar) itu terbatas karena pengoperasinya adalah manusia," ucapnya.
Dengan drone, upaya pengawasan dapat dilakukan lebih maksimal. Sebab, selain dikendalikan secara manual oleh pilot, drone juga bisa dikendalikan secara otonom dengan bantuan AI.
Namun, AI yang bekerja di sini tetap berada di bawah kendali penuh pilot yang mengoperasikan drone tersebut dari ruang kendali. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya kesalahan ketika AI mulai menganalisis potensi ancaman yang didapati pada saat melakukan pengawasan pada target yang ditentukan.
"Dengan AI dia sudah bisa mewakili manusia untuk menentukan sampai seberapa jauh, dia ini sudah melanggar, mengganggu, mengusik, sehingga mereka bisa melakukan tindakan lain, yang baru setelah itu bertanya kepada manusia, saya ngapain nih," ujarnya.
"Tapi sebelum itu dia sudah bisa dengan gerak-geriknya, dengan waktu jalannya, kecepatannya, gerak-gerik orang di dalam itu dia sudah mengetahui bahwa ini mencurigakan. setelah itu diverifikasi ini mencurigakannya beralasan tidak, tanya, nah baru itu manusia berperan," imbuh dia.
Kelebihan lain di dalam penggunaan drone, menurut Sharky, tidak membutuhkan landasan panjang untuk take off. Kondisi ini menguntungkan apabila sewaktu-waktu dideteksi adanya ancaman langsung, drone bisa berperan terlebih dulu untuk melakukan pengintaian, pencegatan, bahkan perlawanan, sebelum pesawat tempur berawak menuju lokasi target.
"Kalau ternyata dia dianggap sangat berbahaya lalu merupakan direct threat atau ancaman langsung, contohnya pesawat tanpa awak dengan kecepatan sekian lurus menuju ibu kota, wah ngapain nih, nah itu kita bisa langsung melakukan tindakan. Tindakan-Tindakan sesuai dengan prosedur akan dilakukan, dan itu drone akan lebih cepat," kata dia.
"Bahkan mungkin, sebelum manusianya take off, drone ini bisa di-take off-kan lebih dulu untuk menyanggong (mengecek). Karena dia (drone) kan (bisa) tiap saat (terbang). Enggak perlu orang bangung, lari, pasang ini (jaket pilot). (Drone itu) langsung deg nyala mesin, GPS-nya on, lalu dia sistemnya disiapkan dia bisa airbone dulu," imbuhnya.
Dalam contoh lainnya, menurut Agung, kelebihan drone yang patut dipertimbangkan adalah terletak pada proses mencetak pilot, dibandingkan jet tempur.
Menurutnya, jika ada misi yang sifatnya kuantitatif, membutuhkan pesawat dan pilot dalam skala besar, tentu akan menjadi tantangan tersendiri bila harus mencetak banyak pilot pesawat tempur dalam Waktu singkat.
Pada dasarnya, kata Agung, teruji atau tidaknya seorang pilot untuk melaksanakan sebuah misi tergantung pada jam terbang yang telah mereka kantongi.
Seorang pilot juga dituntut untuk memiliki kecerdasan tinggi, karena mereka dituntut harus mampu berpikir dan mengambil keputusan secara cepat, baik itu saat menjalankan misi mandiri maupun bekerja sama dalam tim.
Namun untuk pilot jet tempur, juga dibutuhkan kemampuan fisik dalam beradaptasi yang tinggi. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap seberapa kuat mereka ketika menghadapi tekanan saat terbang dan juga berkorelasi terhadap mental dan kemampuan berpikirnya.
"Nah untuk pesawat tanpa awak, tidak ada beban fisik yang lebih dalam. Tidak ada beban ini. Secara psikisnya dia (memang) harus kuat, (juga) secara skillnya. Namun skillnya kan bisa (dilatih) menggunakan simulator," ucapnya.
"Akibatnya, untuk mendapatkan pilot untuk pesawat tanpa awak relatif lebih mudah. Karena mungkin soal fisiknya ya, physically adapt itu dikurangi. Padahal itu beban terbesar untuk mendapatkan penerbang tempur itu adalah secara physically adapt," ujarnya.
Sharky menegaskan bahwa seorang pilot memiliki peranan penting di dalam keberhasilan operasi yang dilakukan drone. Meskipun drone saat ini telah dibekali AI sehingga mampu bergerak otonom, proses pengambilan keputusan tetaplah harus berada di tangan pilot.
Hal ini diperlukan agar drone tetap berfungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai alat pengawasan, pertahanan negara, serta membantu melumpuhkan setiap ancaman yang datang. Bukan sebaliknya menjadi mesin pembunuh bagi masyarakat sipil yang tidak bersalah karena kesalahan di dalam proses pengambilan keputusan.
Seperti serangan drone otonom saat terjadi pada saat perang saudara di Libya pada 2020 lalu.
Hal ini diketahui berdasarkan laporan panel ahli independen yang ditugaskan PBB untuk menyelidiki perang Libya, sebagaimana dilaporkan New York Times pada 3 Juni 2021.
Konvoi logistik Haftar Affiliated Force (HAF) diburu dan dilawan dari jarak jauh oleh drone otonom STM Kargu-2, setelah dipukul mundur oleh pasukan militer yang bergerak atas perintah Perdana Menteri Faiez Serraj.
Sistem senjata otonom mematikan diprogram untuk menyerang sasaran tanpa memerlukan konektivitas data antara operator dan amunisi. Pada dasarnya, drone tersebut dibekali kemampuan "fire, forget, and find" dalam misi yang sebenarnya.
Kemandirian teknologi dalam negeri ✈ UCAV TB2 Baykar (Baykar)
Sementara itu, selain menyiapkan skadron dan pilot yang profesional, hal lain yang tak kalah penting untuk disiapkan adalah kemampuan negeri sendiri dalam mengembangkan drone kombatan.
Indonesia bukannya tidak mampu membuat MALE drone kombatan sendiri. Buktinya, Elang Hitam berhasil dibuat, meskipun akhirnya beralih status dari drone tempur menjadi drone sipil.
Adanya keterbatasan akses terhadap mission system-lah yang membuat proyek ini harus beralih status dari kombatan menjadi sipil.
Namun, persoalan ini semestinya menjadi tantangan yang harus diselesaikan oleh para ahli drone di dalam negeri, sehingga Indonesia dapat secara mandiri mengembangkan drone versi kombatannya.
Menurut Guru Besar Teknik Elektro Universitas Indonesia Prof. Benyamin Kusumoputro, salah satu hal penting dan mahal di dalam pengembangan sebuah drone adalah sistem kendali. Setidaknya, ada dua jenis sistem kendali yang saat ini diketahui, yaitu sistem kendali berbasis mathematical modelling dan berbasis AI.
Sistem kendali berbasis mathematical modelling merupakan sistem kendali yang banyak digunakan oleh drone saat ini. Banyak negara di luar Indonesia yang sudah jauh lebih maju dalam menguasai sistem ini.
Sementara sistem kendali berbasis AI, relatif lebih baru. Benyamin yang juga dikenal sebagai "Professor Drone" karena meneliti sistem pengendalian drone berbasis AI sejak 2009 itu, meyakini bahwa Indonesia mampu bersaing dibandingkan negara lain.
"Drone berbasis AI masih dalam skala riset. Jadi, kalau mau dikembangkan kita mampu. AI itu ilmu masih baru. Kita enggak kalah dari researcher di luar negeri. Masalahnya support dan policy pemerintah," kata Benyamin dalam wawancara khusus BRIGADE Podcast yang tayang di kanal YouTube Kompas.com, Rabu (29/5/2024).
Dari aspek software, ia meyakini, bahwa software sistem pengendalian berbasis AI yang ada di Indonesia sudah baik dan bahkan sudah dapat diimplementasikan. Namun yang jadi persoalan adalah ketika hendak mengaplikasikan software itu ke dalam hardware, yang dalam hal ini UAV, UCAV atau bahkan jet tempur.
Sulitnya akses untuk terhadap drone kombatan maupun jet tempur untuk mempelajari pola pengendalian berbasis AI merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Sehingga, diperlukan kolaborasi antar stakeholders, yang dalam hal ini antara peneliti dan TNI untuk mengembangkan teknologi pengendalian berbasis AI bersama-sama.
Benyamin mengakui bahwa selama ini dirinya kerap mendapatkan anggaran riset dari pemerintah untuk mengembangkan software pengendalian drone berbasis AI tersebut. Namun sejauh ini, belum ada kerja sama yang dibangun dengan militer untuk mengimplementasikannya sehingga hasil yang diharapkan lebih paripurna.
"Ketika research secara software udah bagus, terapin ke hardware agak rumit karena belum ada di pasaran di Indonesia. Kalau yang military spec udah enggak mungkin masuk ke Indonesia. Perlu kemandirian, tapi butuh waktu buat riset. Kita nggak bisa pesen maunya kita, harus beli yang sudah ada," ucapnya.
Kemandirian di dalam mengembangkan drone kombatan sebagai kekuatan pertahanan, menurutnya, harus mampu dikuasai Indonesia.
Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah yang diatur di dalam Perpres RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020-2024.
Di dalam perpres itu disebutkan bahwa pembangunan teknologi pertahanan diarahkan untuk menguasai teknologi kunci program prioritas yaitu pesawat tempur, kapal selam, propelan, roket, peluru kendali, radar, satelit militer, tank berukuran sedang, pesawat udara tanpa awak, dan atau penginderaan Bawah permukaan air.
Di samping itu, pembangunan teknologi pertahanan juga diarahkan untuk membangun teknologi pendukung daya gempur, daya gerak, penginderaan, peperangan elektronik dan siber.
Dengan mengembangkan drone kombatan di dalam negeri, menurut Benyamin, Indonesia dapat terhindar dari ketergantungan teknologi dari negara lain. Sesuatu yang tentu saja dapat menjadi persoalan di masa depan apabila Indonesia harus sampai terlibat perang.
Persoalan lainnya, ketika Indonesia mendatangkan drone dari luar negeri, ada kemungkinan bahwa data rahasia yang dimiliki Indonesia justru mengalir keluar negeri.
Ia pun menganalogikan persoalan ini seperti mobil yang telah dilengkapi sistem otonom. Di negara pabrikan asalnya, mobil yang telah dilengkapi sistem kendali otonom tentu akan melaju dengan mudahnya karena telah disetting dengan GPS dan perilaku masyarakat sesuai budayanya.
Lain halnya ketika mobil tersebut diimpor ke Indonesia dan melintasi jalanan di Tanah Air. Ia harus beradaptasi kembali dengan perilaku masyarakat di Indonesia.
"Ada orang nyeberang seenaknya di sini, itu saja sudah bikin sistem otonom kacau. Mereka butuh data itu dari Indonesia, jadi data mereka," ujarnya.
Hal ini tentu tidak menjadi masalah apabila kebiasaan itu dipelajari untuk teknologi sederhana yang tidak berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Namun, akan menjadi persoalan serius apabila yang dipelajari dan data itu dikirim keluar negeri adalah data untuk kepentingan pertahanan.
Selama ini, Indonesia masih mengimpor drone kombatan dari negara lain. Padahal, dari kemampuan jelajah terbang, MALE drone Indonesia, Elang Hitam, sebenarnya tidak kalah dibandingkan MQ-9 Reaper, CH-4 Rainbow, hingga Bayraktar.
Menurut Benyamin, jika riset di dalam negeri digalakkan, tentu kemampuan para insinyur akan meningkat. Sehingga, bisa menciptakan drone kombatan berkemampuan canggih dengan harga yang lebih terjangkau.
Kondisi ini tentu akan menguntungkan pemerintah dalam mengatasi keterbatasan anggaran dalam memenuhi kebutuhan alutsista pertahanan.
Di sisi lain, kedaulatan informasi juga dapat dijaga karena teknologi yang digunakan buatan negeri sendiri. Lain halnya bila drone tersebut masih diimpor dari luar negeri.
"Ketika kita merasa mampu mempertahankan negara, itu menjadi semu. Karena, ketika data enggak ada di kita, tapi enggak dipakai sama mereka. Kita masih merasa punya kemampuan mempertahankan negara. Lain halnya kalau data kita dibuka, kita enggak punya pertahanan sama sekali," ungkapnya.
Tentu masih segar dalam ingatan saat peristiwa Bawean terjadi pada 2003 lalu. Saat itu, dua pesawat F-16 Fighting Falcon TNI AU nyaris "dogfight" dengan lima F-18 Hornet milik Angkatan Laut AS yang melintas di atas Pulau Bawean, Jawa Timur.
Walau begitu, perang elektronik antara F-16 dengan F-18 tak dapat dihindarkan, yang membuat radar tak bisa membaca pergerakan musuh karena di-jamming.
Baik F-16 maupun F-18, kemudian saling bermanuver untuk mencari celah menembak. Namun, salah satu F-16 berhasil dikunci oleh F-18 yang siap menembak dengan rudal Sidewinder-nya.
Melihat hal ini, F-16 yang lain melaksanakan rocking the wing untuk memberi tahu kepada F-18 bahwa mereka tidak mengancam.
Tentu tidak ada satu pun negara yang berharap akan berada pada situasi peperangan. Namun, bila hal ini terjadi, akan menjadi persoalan jika Indonesia terlibat dan harus menggunakan drone.
Apalagi, bila dalam perang tersebut, Indonesia berhadapan dengan negara asal drone yang digunakan. Mereka telah menguasai teknologinya dan tentu dapat dengan mudah melumpuhkan drone tersebut melalui perang elektronik.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.