blog-indonesia.com

Kamis, 09 Februari 2023

BRIN Cari Pendeteksi Tsunami Murah

Tapi Tolak PUMMA Krakatau PUMMA, alat deteksi tsunami murah yang pernah ditolak BRIN. (Arsip Istimewa) 💥

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Semeidi Husrin mengungkap lembaganya menolak memberi anggaran untuk alat deteksi tsunami Perangkat Ukur Murah Untuk Muka Air (PUMMA) di sekitar Gunung Anak Krakatau.

Pada 2022, salah satu proposal program riset yang diajukan Semeidi dan tim ditolak BRIN. Padahal, program deteksi bencana laut ini diakui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

"Tahun lalu (2022), proposal PUMMA Krakatau kami ditolak BRIN, padahal jelas si PUMMA ini menjadi andalan peringatan dini tsunami Krakatau," ujar Semeidi kepada CNNIndonesia.com pada Kamis (2/2).

"Walaupun anggaran dari BRIN nol Rupiah, alhamdulillah pihak lain terutama BMKG sangat support pada implementasi riset kami," tambahnya.

Tak hanya BMKG, program PUMMA krakatau pada 2022 juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, mulai dari lembaga dalam negeri hingga luar negeri.

"BMKG, Kominfo, Telkomsel, Marves, KKP, ESDM, KLHK, UNILA, Balawista dan mitra asing kita JRC-EC bahu membahu membangun sistem ini di Krakatau," tutur peneliti dari Organisasi Riset Kebumian dan Maritim ini.

"Alhamdulillah dengan kerjasama yang baik, sistem ini terpasang pada 1 Mei 2022 dan menjadi andalan BMKG satu-satunya hingga saat ini untuk tsunami akibat aktivitas Krakatau," lanjutnya.

Masing-masing lembaga tersebut memberikan dukungan yang berbeda. Semeidi menjelaskan bahwa "BMKG koordinir dan support seluruh operasional, Kominfo untuk telekomunikasi satelit, Telkomsel untuk pembangunan jaringan 4G (bikin tower baru)."

Selain itu, lanjut dia, "Kemenhub sediakan platform, perizinan dari BKSDA, Balawista ikut menjaga alat, observasi bersama dengan PVMBG, kami dengan tim UNILA dan JRC-EC sama-sama mengembangkan alternatifnya."

Koordinator program riset deteksi tsunami ini menyebut penolakan proposal PUMMA pada 2022 adalah akibat masalah administrasi dan substansi.

"Yang pertama administrasi dan yang kedua di substansi...mungkin proposal kami tidak bagus," aku dia.

Sebelum ini, program riset PUMMA dan Semeidi berada di bawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ketika peran riset di tanah air dilaksanakan oleh BRIN, program beserta penelitinya pun beralih ke lembaga pimpinan Laksana Tri Handoko itu.

"Dulu kan di Kementerian boleh melakukan riset, kami di KKP sendiri itu di bawah badan riset dan pengembangan SDM, di bawah pusat riset kelautan. Waktu itu masih bisa melakukan," jelas I Nyoman Radiarta, Kepala BRSDM KKP, lewat sambungan telepon, Kamis (2/2).

"Tapi dengan peran riset per Januari 2022, kita sudah tidak boleh, anggaran sudah tidak ada, dan semua yang berbau riset harus dipindahkan. Otomatis penelitinya pindah, sehingga semua yang berhubungan dengan riset dialihkan ke sana (BRIN)," imbuhnya.

  Diterima di Pangandaran 
Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Semeidi Husrin bercerita soal alat deteksi tsunami bernama Perangkat Ukur Murah Untuk Muka Air (PUMMA). Pada 2022, salah satu proposal program riset yang diajukan Semeidi dan tim ditolak BRIN, padahal program deteksi bencana laut ini diakui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Peneliti menunjukkan jeroan PUMMA. (Arsip Istimewa)


Selain dilaksanakan di Krakatau, program riset PUMMA juga dilaksanakan di Pangandaran. Kabar baiknya, program di selatan Jawa tersebut mendapat dukungan dari BRIN.

"Jadi tahun 2022 itu dua proposal IDSL/PUMMA ini ya: 1. PUMMA di krakatau ditolak BRIN, tapi support dari instansi lain yang sangat membutuhkan sistem ini cukup besar, sehingga risetnya tetap jalan."

"2. PUMMA di Pangandaran diterima BRIN dan ini alhamdulillah lancar juga kegiatannya," lanjut Semeidi.

Lebih lanjut, meski ditolak pada 2022, pengajuan proposal kembali pada 2023 akhirnya diloloskan oleh BRIN, sehingga program PUMMA Krakatau bisa mendapat dukungan dari badan riset tanah air ini.

Sebelumnya, BRIN dikritik usai mandeknya pemeliharaan buoy alias InaBuoy karena ketiadaan anggaran khusus. Cekaknya anggaran itu pula yang menyebabkan program Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTews) tak berjalan.

Kepala Biro Komunikasi Publik, Umum, dan Kesekretariatan BRIN Dsrizal Friyantoni menampik kabar lembaganya tidak mempedulikan fasilitas pendeteksi tsunami. Alasannya, mencari teknologi yang lebih murah.

Pihaknya mengaku tengah melakukan riset lain untuk menghasilkan teknologi deteksi tsunami yang bagus, canggih, dan murah namun tetap mengeluarkan hasil yang akurat.

"Mumpung masih riset, kita coba juga melakukan riset terkait dengan kebencanaan itu untuk menghasilkan suatu teknologi canggih, bagus dan operasionalnya murah. Nanti detailnya, kita panggil teman kita," tutur dia. (lom/arh)

  Banjir Kritik 
PT PAL Indonesia (Persero) berhasil luncurkan Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) (PAL)

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengaku mengganti baterai buoy usai mendapat kritik soal ketiadaan anggaran khusus buat program Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).

"Yang buoy masih kita pantau. Kita lihat baru saja ada penggantian baterai," ungkap Kepala Biro Komunikasi Publik Umum dan Kesekretariatan BRIN Driszal Friyantoni, di kantornya, Jakarta, Jumat (3/2).

Diberitakan sebelumnya, pemeliharaan alat bernama resmi InaBuoy itu mandek karena ketiadaan anggaran khusus, senasib dengan program InaTEWS.

Kantor Indonesia Tsunami Observation Center (InaTOC), yang menjadi pusat pemantauan data dari buoy dan fasilitas pemantau lainnya, pun terpantau kosong tanpa aktivitas.

Terpisah, Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika BRIN Budi Prawara mengungkapkan usia InaBuoy sudah mencapai dua tahun sejak pertama kali diluncurkan. Kini, alat-alat itu mati.

"Kenapa rusak? Karena umurnya sudah dua tahun. Memang karena itu memakai sumber energi dari baterai yang harus diganti," kata dia, dikutip dari detikcom, Jumat (3/2).

Lokasi buoy pendeteksi tsunami itu, kata dia, antara lain di lautan dekat Bengkulu, laut dekat anak Gunung Krakatau, Selat Sunda, laut selatan Pangandaran, selatan Jawa Timur, laut selatan Bali, dan laut selatan Waingapu di Sumba Timur.

  Kenapa tak diprioritaskan? 
Peta Penempatan Ina TEWS Pada Perairan Indonesia. (PAL)

BRIN mengungkapkan priroritas anggaran yang tak berpihak pada buoy itu disebabkan berbagai hal.

Pertama, Budi mengungkapkan alat-alat itu belum sepenuhnya beroperasi dan masih dalam tahap penelitian.

"Buoy yang kita kembangkan ini statusnya masih riset, belum operasional," kata dia.

Dsrizal menambahkan pihaknya tengah melakukan riset lain untuk menghasilkan teknologi deteksi tsunami yang bagus, canggih, dan murah namun tetap mengeluarkan hasil yang akurat.

"Mumpung masih riset, kita coba juga melakukan riset terkait dengan kebencanaan itu untuk menghasilkan suatu teknologi canggih, bagus dan operasionalnya murah. Nanti detailnya, kita panggil teman kita," tutur dia.

Hal tersebut sejalan dengan tugas BRIN untuk melakukan riset yang penuh inovasi sehingga bisa menemukan penemuan-penemuan yang lebih baik dan efisien.

"Itu sedang dilakukan. Kita lihat juga kan di berita bahwa si Buoy sedang kita lakukan penggantian baterai karena ada beberapa yang sudah habis masanya," katanya.

Kedua, potensi hilang alat. Driszal mengungkap InaBuoy yang berada di tengah laut sebenarnya berpotensi hilang hingga membutuhkan pemeliharaan yang menghabiskan biaya sangat tinggi.

Ketiga, biaya operasional tinggi. Menurut Budi, satu unit buoy bisa memakan biaya miliaran rupiah.

"Ada kendala, termasuk biaya operasionalnya. Untuk men-deploy buoy ini butuh biaya besar," kata dia.

Keempat, dasar hukum. Budi mengungkap dulunya negara mengamanatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memonitor tinggi muka air laut.

Lembaga yang kini dicaplok BRIN itu kemudian mencurahkan riset buoy tersebut dengan dasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.

Saat BPPT sudah tidak ada, yang kemudian diambil BRIN, apakah Perpres itu sudah tidak berlaku lagi?

"Kita sudah mengajukan legislasi menyampaikan ke biro hukum BRIN. Kita perlu konfirmasi. Memang berat juga. Kita jangan dibebani oleh operasional karena BRIN adalah badan riset," jawab Budi. (lth/arh)

  👷
CNN  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More