Opini - Alman Helvas Ali
Ilustrasi satelit China [phys.org] ★
Dari alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) senilai US$ 20,7 miliar untuk Kementerian Pertahanan pada periode 2020-2024, kementerian yang dipimpin oleh Prabowo Subianto itu mengusulkan pembiayaan program satelit pertahanan sebesar US$ 300 juta. Kini usulan tersebut tinggal menunggu persetujuan pembiayaan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lewat penerbitan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP).
Program satelit pertahanan sesungguhnya bukan program baru karena sebelumnya pernah tercantum di periode 2015-2019 dengan nama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Namun program itu mengalami kegagalan dan melahirkan implikasi hukum yang kini berakhir di Tim Koneksitas Penyidikan Kejaksaan Agung dan Mabes TNI.
Tentang rencana pengadaan satelit pertahanan yang kembali diusulkan oleh Kementerian Pertahanan, terdapat beberapa catatan krisis yang dicermati.
Pertama, nilai usulan alokasi PLN. Dibandingkan dengan program serupa pada periode 2015-2019, angka US$ 300 juta yang diusulkan oleh Kemhan merupakan nilai yang tergolong wajar. Secara umum, harga satelit komersial di pasar internasional berkisar pada angka US$ 300 juta hingga US$ 400 juta, tergantung dari spesifikasi dan kemampuan yang disyaratkan oleh pembeli kepada pabrikan.
Namun belum jelas apakah PLN sebesar US$ 300 juta sudah termasuk paket asuransi dan biaya peluncuran atau belum. Secara ideal nilai tersebut sudah mencakup paket lengkap, namun bisa saja terjadi pemisahan kontrak antara pembuatan satelit dan peluncuran satelit. Apabila nilai PLN belum mencakup asuransi dan paket peluncuran, dibutuhkan tambahan dana agar satelit dapat diluncurkan. Apakah alokasi US$ 300 juta cukup untuk satu paket penuh atau tidak juga akan sangat tergantung pada spesifikasi satelit yang dikehendaki.
Kedua, spesifikasi satelit. Belum terdapat informasi yang kredibel tentang spesifikasi yang akan diakuisisi oleh Indonesia untuk kepentingan komunikasi pertahanan. Misalnya tentang jumlah transponder yang akan dimiliki, apakah 24 transponder atau 36 transponder. Jumlah transponder satelit tergantung pada kebutuhan calon operator dan tentu saja memiliki korelasi dengan harga satelit.
Bagian dari spesifikasi satelit lainnya adalah frekuensi yang akan diadopsi, apakah L-band, C-band, Ka-band, Ku-band ataukah gabungan dari frekuensi itu. Frekuensi yang akan dipakai oleh suatu satelit juga ditentukan oleh slot mana yang akan ditempati oleh satelit tersebut setelah diluncurkan ke orbit.
Sampai saat ini belum ada informasi pada slot mana satelit pertahanan nantinya akan ditempatkan. Akan lebih baik bila satelit pertahanan tidak ditempatkan pada slot 123 derajat Bujur Timur karena kinerjanya tidak akan optimal dalam mendukung kebutuhan komunikasi pertahanan ke saat ini dan ke depan.
Slot 123 derajat Bujur Timur diperuntukkan bagi satelit yang bekerja pada frekuensi L-band, sedangkan kebutuhan komunikasi pertahanan saat ini dan ke depan adalah pada frekuensi C-band, Ka-band dan Ku-band. L-band memiliki pita frekuensi yang sempit sehingga tidak dapat menampung kebutuhan transmisi suara, video dan data secara simultan.
Baik C-band, Ka-band dan Ku-band memiliki keunggulan dibandingkan dengan L-band untuk komunikasi pertahanan, namun ketiganya pun memiliki kekurangan. Sebagai contoh, pengguna C-band harus memiliki antena dengan dimensi besar, sementara pemakai Ka-band dan Ku-band memerlukan antena dengan dimensi kecil, namun dua pita terakhir rentan terhadap perubahan karakteristik cuaca.
Dalam aplikasi di Indonesia, Ku-band sejak beberapa tahun lalu telah digunakan untuk keperluan komunikasi TNI Angkatan Laut. Angkatan ini membutuhkan C-band untuk komunikasi dari daratan ke daratan dan Ku-band bagi komunikasi dari daratan ke kapal perang dan kapal perang ke kapal perang. Memang baru sedikit kapal perang Indonesia yang mengadopsi Ku-band, akan tetapi pemilihan Ku-band untuk komunikasi karena pita itu tidak membutuhkan antena dengan dimensi besar untuk dipasang di kapal perang. Seperti dipahami, kapal perang mempunyai ruang yang terbatas sehingga setiap ruang harus dimanfaatkan secara optimal.
Sebagai perbandingan, Departemen Amerika Serikat kini banyak mengadopsi Ka-band dan Ku-band untuk komunikasi militer, termasuk pula untuk pengendalian pesawat tanpa awak yang memakai Ku-band bersama dengan C-band. Saat ini, sepanjang pengetahuan penulis, baru BRISat milik Bank BRI yang berada pada slot 105.5 derajat Bujur Timur yang menyediakan layanan Ku-band dan telah dimanfaatkan oleh TNI Angkatan Laut. Mengingat bahwa satelit pertahanan akan dimanfaatkan sekitar 15 tahun sampai 20 tahun sejak diluncurkan, perlu diantisipasi kebutuhan komunikasi pertahanan ke depan sehingga pemilihan pita frekuensi yang akan digunakan pun mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
Ketiga, keamanan satelit. Seperti diketahui, fasilitas pertahanan Australia di Shoal Bay, Northern Territory merupakan salah satu tempat untuk menyadap komunikasi pertahanan Indonesia, termasuk komunikasi satelit. Memang tidak dapat dimungkiri mayoritas komunikasi pertahanan Indonesia, baik menggunakan satelit maupun tidak, tidak terenskripsi karena pemakaian fasilitas komunikasi terenskripsi dipandang sebagai beban daripada kemudahan. Kenyamanan berkomunikasi masih dipandang penting dan diutamakan daripada menjaga kerahasiaan data dan informasi yang disalurkan dalam komunikasi yang terjadi.
Pertanyaannya adalah seberapa besar tingkat keamanan komunikasi pada satelit pertahanan yang akan dibeli oleh Indonesia. Apakah untuk uplink dan downlink akan mengadopsi sistem enskripsi yang customized ataukah hanya ala kadarnya saja? Sistem enskripsi buatan siapa yang nantinya akan digunakan oleh satelit tersebut? Menjaga keamanan komunikasi pertahanan dari upaya penyadapan dan pembongkaran sistem enskripsi masih menjadi tantangan besar di Indonesia karena budaya terhadap kerahasiaan komunikasi belum tertanam dan menyebar luas di negeri ini.
Keempat, pemasok satelit. Menurut informasi, setidaknya terdapat empat pabrikan satelit yang tertarik dengan program satelit pertahanan, yakni Airbus Defence and Space, Thales Alenia Space, Turksat dan China Great Wall Industry Corporation. Penting bagi Indonesia untuk memilih pemasok satelit yang andal, telah memiliki pengalaman panjang dan bukan hanya didasarkan pada penawar dengan harga termurah. Tidak boleh dilupakan pula pertimbangan geopolitik masa kini dan masa depan, seperti sikap politik China yang cenderung merusak norma internasional di kawasan ini.
Indonesia pernah mempunyai pengalaman buruk dalam berbisnis satelit komersial dengan China beberapa tahun lalu. Pengalaman serupa hendaknya tidak terulang pada satelit pertahanan, selain pertimbangan bahwa jangan sampai satelit pertahanan diproduksi oleh negara yang berpotensi memiliki benturan kepentingan nasional dengan Indonesia dalam jangka panjang. Pengadaan satelit pertahanan bukan bisnis normal yang semata-mata yang didorong oleh aspek komersial dan teknologi, tetapi harus melibatkan pula aspek politik jangka panjang. (miq/miq)
Ilustrasi satelit China [phys.org] ★
Dari alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) senilai US$ 20,7 miliar untuk Kementerian Pertahanan pada periode 2020-2024, kementerian yang dipimpin oleh Prabowo Subianto itu mengusulkan pembiayaan program satelit pertahanan sebesar US$ 300 juta. Kini usulan tersebut tinggal menunggu persetujuan pembiayaan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lewat penerbitan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP).
Program satelit pertahanan sesungguhnya bukan program baru karena sebelumnya pernah tercantum di periode 2015-2019 dengan nama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Namun program itu mengalami kegagalan dan melahirkan implikasi hukum yang kini berakhir di Tim Koneksitas Penyidikan Kejaksaan Agung dan Mabes TNI.
Tentang rencana pengadaan satelit pertahanan yang kembali diusulkan oleh Kementerian Pertahanan, terdapat beberapa catatan krisis yang dicermati.
Pertama, nilai usulan alokasi PLN. Dibandingkan dengan program serupa pada periode 2015-2019, angka US$ 300 juta yang diusulkan oleh Kemhan merupakan nilai yang tergolong wajar. Secara umum, harga satelit komersial di pasar internasional berkisar pada angka US$ 300 juta hingga US$ 400 juta, tergantung dari spesifikasi dan kemampuan yang disyaratkan oleh pembeli kepada pabrikan.
Namun belum jelas apakah PLN sebesar US$ 300 juta sudah termasuk paket asuransi dan biaya peluncuran atau belum. Secara ideal nilai tersebut sudah mencakup paket lengkap, namun bisa saja terjadi pemisahan kontrak antara pembuatan satelit dan peluncuran satelit. Apabila nilai PLN belum mencakup asuransi dan paket peluncuran, dibutuhkan tambahan dana agar satelit dapat diluncurkan. Apakah alokasi US$ 300 juta cukup untuk satu paket penuh atau tidak juga akan sangat tergantung pada spesifikasi satelit yang dikehendaki.
Kedua, spesifikasi satelit. Belum terdapat informasi yang kredibel tentang spesifikasi yang akan diakuisisi oleh Indonesia untuk kepentingan komunikasi pertahanan. Misalnya tentang jumlah transponder yang akan dimiliki, apakah 24 transponder atau 36 transponder. Jumlah transponder satelit tergantung pada kebutuhan calon operator dan tentu saja memiliki korelasi dengan harga satelit.
Bagian dari spesifikasi satelit lainnya adalah frekuensi yang akan diadopsi, apakah L-band, C-band, Ka-band, Ku-band ataukah gabungan dari frekuensi itu. Frekuensi yang akan dipakai oleh suatu satelit juga ditentukan oleh slot mana yang akan ditempati oleh satelit tersebut setelah diluncurkan ke orbit.
Sampai saat ini belum ada informasi pada slot mana satelit pertahanan nantinya akan ditempatkan. Akan lebih baik bila satelit pertahanan tidak ditempatkan pada slot 123 derajat Bujur Timur karena kinerjanya tidak akan optimal dalam mendukung kebutuhan komunikasi pertahanan ke saat ini dan ke depan.
Slot 123 derajat Bujur Timur diperuntukkan bagi satelit yang bekerja pada frekuensi L-band, sedangkan kebutuhan komunikasi pertahanan saat ini dan ke depan adalah pada frekuensi C-band, Ka-band dan Ku-band. L-band memiliki pita frekuensi yang sempit sehingga tidak dapat menampung kebutuhan transmisi suara, video dan data secara simultan.
Baik C-band, Ka-band dan Ku-band memiliki keunggulan dibandingkan dengan L-band untuk komunikasi pertahanan, namun ketiganya pun memiliki kekurangan. Sebagai contoh, pengguna C-band harus memiliki antena dengan dimensi besar, sementara pemakai Ka-band dan Ku-band memerlukan antena dengan dimensi kecil, namun dua pita terakhir rentan terhadap perubahan karakteristik cuaca.
Dalam aplikasi di Indonesia, Ku-band sejak beberapa tahun lalu telah digunakan untuk keperluan komunikasi TNI Angkatan Laut. Angkatan ini membutuhkan C-band untuk komunikasi dari daratan ke daratan dan Ku-band bagi komunikasi dari daratan ke kapal perang dan kapal perang ke kapal perang. Memang baru sedikit kapal perang Indonesia yang mengadopsi Ku-band, akan tetapi pemilihan Ku-band untuk komunikasi karena pita itu tidak membutuhkan antena dengan dimensi besar untuk dipasang di kapal perang. Seperti dipahami, kapal perang mempunyai ruang yang terbatas sehingga setiap ruang harus dimanfaatkan secara optimal.
Sebagai perbandingan, Departemen Amerika Serikat kini banyak mengadopsi Ka-band dan Ku-band untuk komunikasi militer, termasuk pula untuk pengendalian pesawat tanpa awak yang memakai Ku-band bersama dengan C-band. Saat ini, sepanjang pengetahuan penulis, baru BRISat milik Bank BRI yang berada pada slot 105.5 derajat Bujur Timur yang menyediakan layanan Ku-band dan telah dimanfaatkan oleh TNI Angkatan Laut. Mengingat bahwa satelit pertahanan akan dimanfaatkan sekitar 15 tahun sampai 20 tahun sejak diluncurkan, perlu diantisipasi kebutuhan komunikasi pertahanan ke depan sehingga pemilihan pita frekuensi yang akan digunakan pun mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
Ketiga, keamanan satelit. Seperti diketahui, fasilitas pertahanan Australia di Shoal Bay, Northern Territory merupakan salah satu tempat untuk menyadap komunikasi pertahanan Indonesia, termasuk komunikasi satelit. Memang tidak dapat dimungkiri mayoritas komunikasi pertahanan Indonesia, baik menggunakan satelit maupun tidak, tidak terenskripsi karena pemakaian fasilitas komunikasi terenskripsi dipandang sebagai beban daripada kemudahan. Kenyamanan berkomunikasi masih dipandang penting dan diutamakan daripada menjaga kerahasiaan data dan informasi yang disalurkan dalam komunikasi yang terjadi.
Pertanyaannya adalah seberapa besar tingkat keamanan komunikasi pada satelit pertahanan yang akan dibeli oleh Indonesia. Apakah untuk uplink dan downlink akan mengadopsi sistem enskripsi yang customized ataukah hanya ala kadarnya saja? Sistem enskripsi buatan siapa yang nantinya akan digunakan oleh satelit tersebut? Menjaga keamanan komunikasi pertahanan dari upaya penyadapan dan pembongkaran sistem enskripsi masih menjadi tantangan besar di Indonesia karena budaya terhadap kerahasiaan komunikasi belum tertanam dan menyebar luas di negeri ini.
Keempat, pemasok satelit. Menurut informasi, setidaknya terdapat empat pabrikan satelit yang tertarik dengan program satelit pertahanan, yakni Airbus Defence and Space, Thales Alenia Space, Turksat dan China Great Wall Industry Corporation. Penting bagi Indonesia untuk memilih pemasok satelit yang andal, telah memiliki pengalaman panjang dan bukan hanya didasarkan pada penawar dengan harga termurah. Tidak boleh dilupakan pula pertimbangan geopolitik masa kini dan masa depan, seperti sikap politik China yang cenderung merusak norma internasional di kawasan ini.
Indonesia pernah mempunyai pengalaman buruk dalam berbisnis satelit komersial dengan China beberapa tahun lalu. Pengalaman serupa hendaknya tidak terulang pada satelit pertahanan, selain pertimbangan bahwa jangan sampai satelit pertahanan diproduksi oleh negara yang berpotensi memiliki benturan kepentingan nasional dengan Indonesia dalam jangka panjang. Pengadaan satelit pertahanan bukan bisnis normal yang semata-mata yang didorong oleh aspek komersial dan teknologi, tetapi harus melibatkan pula aspek politik jangka panjang. (miq/miq)
★ CNBC
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.