Mulai hari ini, solar bersubsidi dibatasi di sejumlah wilayah. SPBU 31.103.03 Cikini, Jakarta Pusat, tidak lagi menjual solar bersubsidi.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengeluarkan kebijakan pengendalian penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai Jumat pekan lalu. Penggunaan solar bersubsidi di beberapa daerah juga mulai dibatasi mulai hari ini, Senin 4 Agustus 2014.
Pembatasan ini memicu protes keras dari para pengusaha angkutan umum yang tidak bisa lagi mengisi bahan bakar solar bersubsidi di Jakarta Pusat.
Kebijakan ini diambil setelah DPR mengunci kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter pada 2014. Kuota ini turun dari yang sebelumnya 48 juta kiloliter. Pemerintah dan DPR sepakat kuota tersebut tak boleh jebol hingga akhir tahun ini. Kalau lebih dari kuota, tak ada pembayaran subsidi BBM.
Ketentuan baru ini mencantumkan pembatasan penjualan solar bersubsidi di beberapa wilayah tertentu. Aturan ini ditujukan kepada badan usaha pelaksana, penyedia, dan pendistribusian bahan bakar minyak (bersubsidi), seperti PT Pertamina, untuk tidak menjual solar bersubsidi di SPBU.
Bila ada badan usaha yang menjual solar atau premium melebihi dari 46 juta kiloliter, subsidinya tidak akan dibayarkan pemerintah.
Pembatasan penjualan solar bersubsidi juga akan dilakukan di wilayah rawan penyalahgunaan BBM bersubsidi seperti di daerah industri, perkebunan, dan pertambangan. Waktunya pun dibatasi, yaitu mulai pukul 18.00-06.00 WIB.
"Pengendalian ini akan berlaku mulai 4 Agustus 2014," kata Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim, Jumat, 1 Agustus 2014.
Surat edaran soal ketentuan ini telah disampaikan kepada badan usaha dan instansi terkait dan telah melalui pembahasan intensif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, dan Pertamina.
Meski demikian, ada sejumlah wilayah yang menjadi pengecualian kebijakan BPH Migas terkait pembatasan penjualan solar bersubsidi, yakni di daerah yang menjadi jalur distribusi logistik.
“Yang dikecualikan adalah SPBU di jalur utama logistik, yaitu lintas Sumatera dan Pantura Jawa. Sebab khawatir mengganggu perekonomian dan suplai sembako bagi masyarakat,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar Kalimantan, aturan akan diterapkan sesuai ketentuan Pemerintah Daerah setempat.
Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.
Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi, hanya Pertamax series. Saat ini, total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah tersebut, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region III (Jawa Barat) dan 2 unit SPBU di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur).
Hasyim menjelaskan, pengendalian penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat, mulai Jumat lalu, diambil setelah melakukan riset terlebih dahulu. Menurut dia, Jakarta Pusat dipilih karena di wilayah ini penjualan solarnya lebih kecil dibanding wilayah lain.
Per hari, lanjut dia, penjualan solar hanya 3-4 ton. "Sebelum ditentukan, kami sudah melakukan peneropongan. Di Jakarta Pusat, omzet solarnya satu per sepuluh dari SPBU di luarnya," katanya.
Kecilnya jumlah penjualan solar di daerah itu dipengaruhi oleh larangan angkutan besar masuk ke Jakarta Pusat. Kebanyakan yang membeli bahan bakar di daerah tersebut adalah angkutan kota berbahan bakar premium.
Menurut pengelola SPBU Cikini, Rahmad Novizar, pihaknya telah menerima surat edaran dari BPH Migas sebelum Lebaran.
Kemudian, terhitung 4 Agustus 2014, penjualan solar bersubsidi hanya bisa dilakukan di luar Jakarta Pusat pada pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Penjualan di luar jam operasional tersebut tetap dilayani, namun BPH Migas tidak menghitungnya sebagai BBM bersubsidi.
Dengan subsidi, harga solar adalah Rp5.500. Namun, dengan pencabutan subsidi, harga solar melonjak hingga Rp12.800. Untuk pelarangan solar di Jakpus masih belum signifikan pengaruhnya karena masih dalam suasana libur Lebaran.
Rahmad menganjurkan, untuk mendapatkan solar subsidi, pengguna kendaraan bisa membelinya di Jakarta Barat, Timur, Utara atau Selatan. "Tapi, pembelian solar bersubsidi juga dibatasi dari jam 08.00 sampai 18.00 WIB," kata dia.
Protes Organda
Menanggapi larangan menjual solar di Jakarta Pusat, pengusaha angkutan menolaknya. Menurut Ketua DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, kebijakan itu bisa mengganggu operasional bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan angkutan barang. Kondisi tersebut juga akan berpengaruh kepada pelayanan dan akan ada pembebanan biaya kepada masyarakat.
Shafruhan juga menilai kebijakan BPH Migas dan Pertamina tak masuk akal. Dia meminta agar kebijakan ini ditinjau ulang. Ketentuan yang akan diterapkan akan berdampak besar secara nasional terhadap pelayanan kepada masyarakat.
"Kami meminta agar SPBU di wilayah Jakarta Pusat tetap melayani penjualan BBM bersubsidi untuk mem-back up operasional angkutan kota yang beroperasi di wilayah itu," kata dia.
Rencananya, hari ini para sopir bus angkutan umum berencana melakukan demonstrasi menentang ketiadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat. "Nanti mau demo hari Senin tanggal 4 Agustus 2014. Semua sopir bus angkutan umum sudah tahu semua," ujar kondektur bus angkutan umum Kopaja 19 jurusan Blok M-Ragunan-Tanah Abang, Hengki, Sabtu, 2 Agustus 2014.
Menurut Hengki, pembelian solar non-subsidi di Jakarta Pusat akan memangkas pendapatan mereka. Kemungkinan, tarif juga akan dinaikkan Rp1.000, angka ini masih belum menutupi pembelian solar 12 ribuan rupiah per liter.
Kondektur bus angkutan, Baskoro, berpendapat bahwa pemerintah tidak berpihak pada angkutan umum. "Harusnya pemerintah berpihak pada angkutan umum. Jangan disamakan dengan mobil pribadi," katanya.
Tak Ada yang Rugi
Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan, sebenarnya tidak ada yang dirugikan dengan pengendalian solar bersubsidi di Jakpus. Menurut dia, angkutan umum bisa mengisinya di tempat lain di wilayah Jakarta lainnya.
"Tidak ada yang dirugikan, kok. Mereka kan bisa mengisi solar di tempat lain," katanya.
Andy mengatakan bahwa pengaturan SPBU Jakarta Pusat tak boleh menjual solar bersubsidi masih dicoba sampai akhir tahun. "Kami akan mencoba sampai akhir tahun. Itu saja dulu. Itu juga banyak yang protes, terutama Organda," kata Andy.
"Kalau nanti mereka akan minta penjelasan, ya, kami akan menjelaskan. Yang penting, mereka kan bisa dilayani di SPBU lain. Kecuali, kalau tidak dilayani di SPBU lain, itu baru. Begitu saja, kok repot," lanjut Andy. (art)
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengeluarkan kebijakan pengendalian penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai Jumat pekan lalu. Penggunaan solar bersubsidi di beberapa daerah juga mulai dibatasi mulai hari ini, Senin 4 Agustus 2014.
Pembatasan ini memicu protes keras dari para pengusaha angkutan umum yang tidak bisa lagi mengisi bahan bakar solar bersubsidi di Jakarta Pusat.
Kebijakan ini diambil setelah DPR mengunci kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter pada 2014. Kuota ini turun dari yang sebelumnya 48 juta kiloliter. Pemerintah dan DPR sepakat kuota tersebut tak boleh jebol hingga akhir tahun ini. Kalau lebih dari kuota, tak ada pembayaran subsidi BBM.
Ketentuan baru ini mencantumkan pembatasan penjualan solar bersubsidi di beberapa wilayah tertentu. Aturan ini ditujukan kepada badan usaha pelaksana, penyedia, dan pendistribusian bahan bakar minyak (bersubsidi), seperti PT Pertamina, untuk tidak menjual solar bersubsidi di SPBU.
Bila ada badan usaha yang menjual solar atau premium melebihi dari 46 juta kiloliter, subsidinya tidak akan dibayarkan pemerintah.
Pembatasan penjualan solar bersubsidi juga akan dilakukan di wilayah rawan penyalahgunaan BBM bersubsidi seperti di daerah industri, perkebunan, dan pertambangan. Waktunya pun dibatasi, yaitu mulai pukul 18.00-06.00 WIB.
"Pengendalian ini akan berlaku mulai 4 Agustus 2014," kata Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim, Jumat, 1 Agustus 2014.
Surat edaran soal ketentuan ini telah disampaikan kepada badan usaha dan instansi terkait dan telah melalui pembahasan intensif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, dan Pertamina.
Meski demikian, ada sejumlah wilayah yang menjadi pengecualian kebijakan BPH Migas terkait pembatasan penjualan solar bersubsidi, yakni di daerah yang menjadi jalur distribusi logistik.
“Yang dikecualikan adalah SPBU di jalur utama logistik, yaitu lintas Sumatera dan Pantura Jawa. Sebab khawatir mengganggu perekonomian dan suplai sembako bagi masyarakat,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar Kalimantan, aturan akan diterapkan sesuai ketentuan Pemerintah Daerah setempat.
Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.
Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi, hanya Pertamax series. Saat ini, total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah tersebut, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region III (Jawa Barat) dan 2 unit SPBU di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur).
Hasyim menjelaskan, pengendalian penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat, mulai Jumat lalu, diambil setelah melakukan riset terlebih dahulu. Menurut dia, Jakarta Pusat dipilih karena di wilayah ini penjualan solarnya lebih kecil dibanding wilayah lain.
Per hari, lanjut dia, penjualan solar hanya 3-4 ton. "Sebelum ditentukan, kami sudah melakukan peneropongan. Di Jakarta Pusat, omzet solarnya satu per sepuluh dari SPBU di luarnya," katanya.
Kecilnya jumlah penjualan solar di daerah itu dipengaruhi oleh larangan angkutan besar masuk ke Jakarta Pusat. Kebanyakan yang membeli bahan bakar di daerah tersebut adalah angkutan kota berbahan bakar premium.
Menurut pengelola SPBU Cikini, Rahmad Novizar, pihaknya telah menerima surat edaran dari BPH Migas sebelum Lebaran.
Kemudian, terhitung 4 Agustus 2014, penjualan solar bersubsidi hanya bisa dilakukan di luar Jakarta Pusat pada pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Penjualan di luar jam operasional tersebut tetap dilayani, namun BPH Migas tidak menghitungnya sebagai BBM bersubsidi.
Dengan subsidi, harga solar adalah Rp5.500. Namun, dengan pencabutan subsidi, harga solar melonjak hingga Rp12.800. Untuk pelarangan solar di Jakpus masih belum signifikan pengaruhnya karena masih dalam suasana libur Lebaran.
Rahmad menganjurkan, untuk mendapatkan solar subsidi, pengguna kendaraan bisa membelinya di Jakarta Barat, Timur, Utara atau Selatan. "Tapi, pembelian solar bersubsidi juga dibatasi dari jam 08.00 sampai 18.00 WIB," kata dia.
Protes Organda
Menanggapi larangan menjual solar di Jakarta Pusat, pengusaha angkutan menolaknya. Menurut Ketua DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, kebijakan itu bisa mengganggu operasional bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan angkutan barang. Kondisi tersebut juga akan berpengaruh kepada pelayanan dan akan ada pembebanan biaya kepada masyarakat.
Shafruhan juga menilai kebijakan BPH Migas dan Pertamina tak masuk akal. Dia meminta agar kebijakan ini ditinjau ulang. Ketentuan yang akan diterapkan akan berdampak besar secara nasional terhadap pelayanan kepada masyarakat.
"Kami meminta agar SPBU di wilayah Jakarta Pusat tetap melayani penjualan BBM bersubsidi untuk mem-back up operasional angkutan kota yang beroperasi di wilayah itu," kata dia.
Rencananya, hari ini para sopir bus angkutan umum berencana melakukan demonstrasi menentang ketiadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat. "Nanti mau demo hari Senin tanggal 4 Agustus 2014. Semua sopir bus angkutan umum sudah tahu semua," ujar kondektur bus angkutan umum Kopaja 19 jurusan Blok M-Ragunan-Tanah Abang, Hengki, Sabtu, 2 Agustus 2014.
Menurut Hengki, pembelian solar non-subsidi di Jakarta Pusat akan memangkas pendapatan mereka. Kemungkinan, tarif juga akan dinaikkan Rp1.000, angka ini masih belum menutupi pembelian solar 12 ribuan rupiah per liter.
Kondektur bus angkutan, Baskoro, berpendapat bahwa pemerintah tidak berpihak pada angkutan umum. "Harusnya pemerintah berpihak pada angkutan umum. Jangan disamakan dengan mobil pribadi," katanya.
Tak Ada yang Rugi
Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan, sebenarnya tidak ada yang dirugikan dengan pengendalian solar bersubsidi di Jakpus. Menurut dia, angkutan umum bisa mengisinya di tempat lain di wilayah Jakarta lainnya.
"Tidak ada yang dirugikan, kok. Mereka kan bisa mengisi solar di tempat lain," katanya.
Andy mengatakan bahwa pengaturan SPBU Jakarta Pusat tak boleh menjual solar bersubsidi masih dicoba sampai akhir tahun. "Kami akan mencoba sampai akhir tahun. Itu saja dulu. Itu juga banyak yang protes, terutama Organda," kata Andy.
"Kalau nanti mereka akan minta penjelasan, ya, kami akan menjelaskan. Yang penting, mereka kan bisa dilayani di SPBU lain. Kecuali, kalau tidak dilayani di SPBU lain, itu baru. Begitu saja, kok repot," lanjut Andy. (art)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.