blog-indonesia.com

Kamis, 11 Januari 2024

Kondisi Asimetris Dalam Penguasaan Teknologi Pertahanan

Oleh Alman H Ali Jet tempur Dassault Rafale A330 MRTT terparkir di Apron Selatan, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (26/7/2023). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Akuisisi peralatan pertahanan dalam program Minimum Essential Force (MEF) 2010-2024 terbagi dalam tiga tahap, yaitu 2010-2014, 2015-2019 dan 2020-2024. Mayoritas pembiayaan kegiatan pembelian tersebut menggunakan skema Pinjaman Luar Negeri (PLN), sisanya memakai skema Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dan Rupiah Murni.

Dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga masa Presiden Joko Widodo, pemerintah secara total mengalokasikan PLN US$ 40 miliar guna membiayai program MEF. Angka tersebut sudah bersifat final setelah pada 28 November 2023 Jokowi memveto alokasi PLN sebesar US$ 34,4 miliar untuk Kementerian Pertahanan.

Belanja mesin perang pada MEF periode 2020-2024 merupakan kegiatan yang paling dinamis. Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2020-2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas berubah sampai empat kali.

Setiap perubahan berarti ada perubahan daftar belanja yang diusulkan oleh Kementerian Pertahanan, sehingga besaran alokasi PLN pun turut berubah. Veto presiden terhadap DPRLN-JM 2020-2024 perubahan keempat membuat rencana pengadaan makin dinamis.

Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kebijakan mengimpor sistem senjata dari luar negeri wajib diikuti dengan kegiatan Imbal Dagang, Kandungan Lokal dan atau Offset (IDKLO). Hal demikian merupakan bagian dari upaya agar industri pertahanan nasional dapat menguasai berbagai teknologi maju sehingga di masa depan industri tersebut dapat memproduksi beragam sistem senjata di dalam negeri.

Kewajiban IDKLO juga bagian dari rencana jangka panjang agar Indonesia dapat mandiri di bidang industri pertahanan. Aturan mengenai IDKLO sebenarnya hanya berupa pembakuan hukum tentang kegiatan-kegiatan tersebut, sebab aktivitas itu sudah dilaksanakan sejak era Orde Baru.

Apabila memperhatikan bagaimana pemerintah melaksanakan upaya penguasaan teknologi tinggi, termasuk teknologi pertahanan, terlihat perbedaan yang mencolok di masa Orde Baru dan di era MEF.

Pertama, dukungan pendanaan, di mana ada era Orde Baru semangat pemerintah untuk penguasaan teknologi tinggi diiringi dengan investasi dana yang cukup besar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kucuran dana tersebut bukan saja untuk membiayai program-program prioritas, pembangunan sejumlah laboratorium di lembaga riset dan pembangunan fasilitas produksi pada BUMN Industri Strategis, tetapi mencakup juga investasi sumberdaya manusia.

Di masa itu pemerintah menggagas sejumlah program beasiswa seperti Overseas Fellowship Program (OFP), Science and Technology Manpower Development (STMDP) dan Science and Technology for Industrial Development (STAID).

Sedangkan di masa MEF, jargon penguasaan teknologi tinggi, khususnya teknologi pertahanan, diikuti dengan kucuran dana yang terbilang sedikit kepada industri pertahanan. Pada umumnya kucuran anggaran APBN dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) kepada beberapa BUMN industri pertahanan.

Terdapat pula pendanaan khusus untuk beberapa program tertentu, seperti pengembangan bersama tank medium antara FNSS dan PT Pindad. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, nampaknya bergantung pada beasiswa yang disediakan oleh LPDP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.

Selain PMN, anggaran untuk penguasaan teknologi pertahanan dibebankan kepada PLN lewat skema KLO. Tentu saja hal demikian akan sangat lama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sebab teknologi yang didapatkan lewat skema KLO bersifat "terpisah-pisah" dan butuh suatu upaya luar biasa untuk "menyatukan" teknologi itu.

Sebagai contoh, teknologi yang diraih lewat offset program Rafale harus "disatukan" lagi dengan teknologi yang relevan dari program-program akuisisi lain agar Indonesia bisa menguasai suatu teknologi secara utuh di bidang elektronika pertahanan.

Perbedaan sistem politik yang dianut oleh Indonesia hari ini dengan saat Orde Baru tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenaran tentang bagaimana kebijakan terkait penguasaan teknologi tinggi dikelola.

Korea Selatan hingga pertengahan 1980-an diperintah oleh rezim militer yang otoriter sebelum akhirnya melangkah menuju demokratisasi. Walaupun terjadi perubahan sistem politik di Negeri Ginseng, kebijakan penguasaan teknologi tinggi tetap berlanjut dan hasilnya bisa dilihat sekarang di mana industri pertahanan Korea Selatan merupakan salah satu pemain global di luar industri pertahanan Eropa dan Amerika Serikat.

Penting untuk dicatat bahwa baik Korea Selatan maupun Indonesia mulai mengembangkan secara serius industri strategis sebagai bagian dari industrialisasi dalam kurun waktu yang relatif sama yaitu di akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Kedua, iklim politik nasional, di mana kebijakan penguasaan teknologi tinggi kini sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. Dengan kondisi iklim politik sekarang, sulit bagi mengembangkan sejumlah program penguasaan teknologi tinggi, termasuk teknologi pertahanan.

Kegiatan yang dimaksud mulai dari fase conceptual design hingga memasuki tahap serial production, di mana untuk produk-produk pertahanan atau dual use memerlukan waktu antara 10 sampai minimal 15 tahun. Waktu 10 sampai minimal 15 tahun dibutuhkan agar suatu produk yang dikembangkan sudah mature sehingga siap untuk diproduksi dan bersaing di pasar internasional.

Saat ini terdapat kecenderungan kuat bahwa setiap rezim pemerintahan di Indonesia hanya mendukung pembiayaan program-program yang dapat selesai maksimal 10 tahun atau sesuai dengan berakhirnya dua periode kepresidenan. Sebab setiap program tersebut harus dapat diklaim sebagai keberhasilan suatu rezim pemerintahan yang berkuasa.

Iklim politik demikian sangat bertolak belakang dengan karakter penguasaan teknologi tinggi di mana tidak ada jalur pintas atau shortcut. Sebagai contoh, pengembangan bersama tank medium Harimau antara Indonesia dan Turki disepakati pada 2015 dan baru siap memasuki fase serial production pada 2022 setelah dilaksanakan sejumlah penyempurnaan pada purwarupa.

Apabila pengembangan tank saja memerlukan waktu hampir 10 tahun, lalu bagaimana dengan produk pertahanan yang lebih kompleks seperti radar, rudal, kapal selam dan lain sebagainya? Apakah pengembangan beragam produk teknologi tinggi tersebut dapat diselesaikan dalam dua periode satu rezim pemerintahan?

Kondisi asimetris antara logika politik dan logika engineering yang terjadi di Indonesia nampaknya sulit untuk dicarikan solusi selama kepentingan politik jangka pendek selalu menjadi panglima. Sampai sekarang belum terlihat ada kemauan meletakkan kepentingan politik jangka pendek di bawah kepentingan nasional jangka panjang untuk penguasaan teknologi tinggi, termasuk teknologi pertahanan. (miq/miq)

 
CNBC  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More