🛩 ”Drone” Tumpuan Anak Bangsa
Drone Wulung (PTDI)
Wahana tanpa awak atau unmanned aerial vehicle telah digunakan secara luas untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk kebutuhan militer. Dari beberapa medan laga terkini, peran wahana tanpa awak bisa menjadi penentu jalannya pertempuran.
Sebuah wahana tanpa awak bernomor ekor KX-0003 mengitari langit Lapangan Udara Suparlan, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, pada Jumat (14/3/2025). Wahana tanpa awak itu adalah Wulung, yang tengah melakukan penerbangan demo (demo flight).
Dalam keterangan tertulis, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) menyatakan, penerbangan demo tersebut merupakan upaya PT DI dalam melakukan komersialisasi produk UAV Wulung kepada calon penggguna. Dengan penerbangan demo itu, Wulung menunjukkan kapabilitasnya setelah melalui berbagai penyempurnaan teknis.
Wulung adalah drone pengintai yang dikembangkan pada tahun 2014 oleh PT DI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan. Wulung telah menjalani rangkaian tes, baik ground test maupun flight test sehingga telah memperoleh Type Certificate dari Indonesian Defense Airworthiness Authority (IDAA) pada tahun 2016.
Dalam pengembangannya, PT DI didukung oleh BRIN dalam hal peningkatan teknologi, serta riset yang berkelanjutan. BRIN juga mendorong komersialisasi UAV Wulung dalam operasional pertahanan dan keamanan.
”Wulung sendiri sudah cukup cocok untuk dioperasikan di pangkalan-pangkalan Angkatan Laut atau Bakamla. Wulung ini secara teknis sudah bisa memenuhi kebutuhan taktis untuk melakukan patroli keamanan laut dari udara. Jadi, dengan Wulung nanti bisa kombinasi dengan kapal di laut,” kata Wakil Kepala Brin Amarulla Octavian.
Sebagai ”drone” taktis, Wulung dirancang memiliki kemampuan untuk beroperasi secara otonom serta dilengkapi ground control station (GCS) sebagai pusat kendali beserta transporter yang bisa dipindah-pindah. Ditenagai mesin piston tunggal tipe pusher, Wulung memiliki kapasitas bahan bakar 35 liter, radius operasi 150 kilometer, beban maksimum ketika lepas landas 125 kilogram. Wulung mampu lepas landas dan mendarat kurang dari 500 meter dengan kecepatan jelajah 50 knot.
Direktur Produksi PT DI Dena Hendriana mengatakan, pengembangan Wulung terus dilanjutkan untuk meningkatkan daya tahan terbang dan memperkuat roda pendaratan (landing gear) pesawat sehingga dapat dioperasikan dari segala tipe landasan. Selain itu, PT DI akan mengurangi kebisingan dan meningkatkan penggunaan sistem kembali.
”Kami akan memastikan marine spec Wulung guna mendukung kemampuan operasi patroli maritim di seluruh wilayah Indonesia,” kata Dena.
Penerbangan demo wahana tanpa awak Wulung ini menambah optimisme setelah beberapa hari sebelumnya, PT DI juga berencana untuk melakukan uji terbang terhadap drone tempur ”Elang Hitam”.
Drone MALE Elang Hitam (Bambang H)
Pada Selasa (11/3/2025) kemarin, PT DI memperlihatkan pengembangan wahana tanpa awak Medium Altitude Long Endurance (MALE) Elang Hitam kepada Komisaris Utama PT DI Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono yang juga Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) di hanggar PT DI, Bandung, Jawa Barat.
Menurut rencana, dalam waktu dekat Elang Hitam akan menjalani uji terbang di Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Tonny pun menyambut baik perkembangan dan rencana tersebut.
”Saya di sini bicara sebagai Komisaris Utama PT DI, juga sebagai KSAU. Saya akan support dan komitmen untuk menyukseskan program Elang Hitam ini,” sebagaimana dikutip dalam keterangan resmi PT DI.
Elang Hitam adalah wahana atau pesawat tanpa awak yang dikembangkan sejak 2017 oleh konsorsium yang terdiri dari BPPT, PT Dirgantara Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antaraiksa Nasional (Lapan), PT LEN Industri, Kementerian Pertahanan, ITB, dan TNI AU. Elang Hitam didesain untuk melakukan patroli wilayah sekaligus juga dilengkapi senjata untuk melakukan penindakan awal bagi pelanggar hukum dan kedaulatan negara.
Pesawat tanpa awak Elang Hitam pertama kali diperkenalkan kepada publik pada 30 Desember 2019 di hanggar PT DI di Bandung, Jawa Barat, dan direncanakan terbang perdana pada 2021. Elang Hitam juga direncanakan mendapatkan sertifikat sebagai drone tempur pada 2024. Namun, proses itu tidak berjalan mulus karena proyek tersebut dialihkan dari drone tempur menjadi hanya untuk kebutuhan sipil.
Elang hitam memiliki rentang sayap 16 meter dan diharapkan mampu terbang sampai 30 jam. Ketinggian jelajah Elang Hitam adalah 3.000-5.000 meter dengan jangkauan sekitar 250 kilometer. Dengan kecepatan 225 km/jam, Elang Hitam dirancang untuk mampu menahan beban saat lepas landas seberat 1.115 kg.
Ketika ditemui pada akhir Februari 2025 lalu di Bandung, Direktur Utama PT DI Gita Amperiawan mengatakan bahwa industri pertahanan dalam negeri harus mengembangkan pesawat nirawak, khususnya jenis MALE. Untuk itu, pengembangan drone mesti dimasukkan dalam rencana strategis pengadaan alutsista 2025-2029.
Drone Wulung berserta GCS (Ground Control Station) (PT DI)
”Investasi pemerintah yang sudah besar di PT DI ini akan baik kalau kemudian dari segi teknologi kita masuk ke MALE. Nah, ini sedang kita buat dan mudah-mudahan bisa masuk kepada pengadaan di renstra 2025-2029,” kata Gita.
Gita membenarkan, Kementerian Pertahanan berencana untuk membeli drone Bayraktar dari Turki. Menurut Gita, yang penting dari pembelian itu adalah terjadinya transfer teknologi sehingga ke depan penggunaan drone buatan dalam negeri semakin banyak dan menggantikan drone buatan luar negeri.
Agus Supriatna, KSAU 2015-2017, menggarisbawahi pentingnya pengembangan teknologi pesawat nirawak. Dan pengembangan teknologi tersebut memakan waktu yang panjang.
Dalam bukunya, Air Defense Antara Kebutuhan dan Tuntutan (2017), Agus mengatakan, pengembangan teknologi pesawat nirawak telah dilakukan Angkatan Udara Amerika Serikat sejak era 60-an. Pengembangan teknologi pesawat nirawak menjadi kebutuhan salah satunya untuk mengurangi risiko korban manusia serta kemampuannya untuk menjangkau daerah yang sulit dijangkau manusia.
Beberapa teknologi pesawat tanpa awak yang dikembangkan oleh AS adalah harus mampu terbang di atas ketinggian jelajah di atas rata-rata. Hal itu diperlukan ketika menjalani operasi pengamatan terhadap sasaran yang berada di darat ataupun pesawat terbang.
Selain itu, AS juga mengembangkan teknologi pesawat nirawak dengan kecepatan yang tinggi untuk menghindari deteksi musuh. ”Biaya yang digunakan dalam pembuatan pesawat ini harus lebih murah bila dibandingkan dengan pembuatan pesawat berawak,” tulis Agus.
Siklus
Kembali ke pesawat nirawak buatan anak bangsa. Setelah menyaksikan penerbangan demo Wulung, Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Irvansyah mengungkapkan puas terhadap performa yang ditunjukkan. Irvansyah juga akan mengkaji kemungkinan pembelian Wulung untuk kepentingan Bakamla.
”Sehingga siklus produksi, penelitian, dan pengembangan berjalan terus dan mudah-mudahan semakin sempurna, dan tidak menutup kemungkinan dari negara lain bisa membeli produk-produk yang kita saksikan hari ini," kata Irvansyah.
Setapak demi setapak pengembangan teknologi pesawat nirawak menunjukkan kemajuan. Akankah kepak sayap drone buatan anak bangsa segera mengudara?

Wahana tanpa awak atau unmanned aerial vehicle telah digunakan secara luas untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk kebutuhan militer. Dari beberapa medan laga terkini, peran wahana tanpa awak bisa menjadi penentu jalannya pertempuran.
Sebuah wahana tanpa awak bernomor ekor KX-0003 mengitari langit Lapangan Udara Suparlan, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, pada Jumat (14/3/2025). Wahana tanpa awak itu adalah Wulung, yang tengah melakukan penerbangan demo (demo flight).
Dalam keterangan tertulis, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) menyatakan, penerbangan demo tersebut merupakan upaya PT DI dalam melakukan komersialisasi produk UAV Wulung kepada calon penggguna. Dengan penerbangan demo itu, Wulung menunjukkan kapabilitasnya setelah melalui berbagai penyempurnaan teknis.
Wulung adalah drone pengintai yang dikembangkan pada tahun 2014 oleh PT DI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan. Wulung telah menjalani rangkaian tes, baik ground test maupun flight test sehingga telah memperoleh Type Certificate dari Indonesian Defense Airworthiness Authority (IDAA) pada tahun 2016.
Dalam pengembangannya, PT DI didukung oleh BRIN dalam hal peningkatan teknologi, serta riset yang berkelanjutan. BRIN juga mendorong komersialisasi UAV Wulung dalam operasional pertahanan dan keamanan.
”Wulung sendiri sudah cukup cocok untuk dioperasikan di pangkalan-pangkalan Angkatan Laut atau Bakamla. Wulung ini secara teknis sudah bisa memenuhi kebutuhan taktis untuk melakukan patroli keamanan laut dari udara. Jadi, dengan Wulung nanti bisa kombinasi dengan kapal di laut,” kata Wakil Kepala Brin Amarulla Octavian.
Sebagai ”drone” taktis, Wulung dirancang memiliki kemampuan untuk beroperasi secara otonom serta dilengkapi ground control station (GCS) sebagai pusat kendali beserta transporter yang bisa dipindah-pindah. Ditenagai mesin piston tunggal tipe pusher, Wulung memiliki kapasitas bahan bakar 35 liter, radius operasi 150 kilometer, beban maksimum ketika lepas landas 125 kilogram. Wulung mampu lepas landas dan mendarat kurang dari 500 meter dengan kecepatan jelajah 50 knot.
Direktur Produksi PT DI Dena Hendriana mengatakan, pengembangan Wulung terus dilanjutkan untuk meningkatkan daya tahan terbang dan memperkuat roda pendaratan (landing gear) pesawat sehingga dapat dioperasikan dari segala tipe landasan. Selain itu, PT DI akan mengurangi kebisingan dan meningkatkan penggunaan sistem kembali.
”Kami akan memastikan marine spec Wulung guna mendukung kemampuan operasi patroli maritim di seluruh wilayah Indonesia,” kata Dena.
Penerbangan demo wahana tanpa awak Wulung ini menambah optimisme setelah beberapa hari sebelumnya, PT DI juga berencana untuk melakukan uji terbang terhadap drone tempur ”Elang Hitam”.

Pada Selasa (11/3/2025) kemarin, PT DI memperlihatkan pengembangan wahana tanpa awak Medium Altitude Long Endurance (MALE) Elang Hitam kepada Komisaris Utama PT DI Marsekal TNI Mohammad Tonny Harjono yang juga Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) di hanggar PT DI, Bandung, Jawa Barat.
Menurut rencana, dalam waktu dekat Elang Hitam akan menjalani uji terbang di Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Tonny pun menyambut baik perkembangan dan rencana tersebut.
”Saya di sini bicara sebagai Komisaris Utama PT DI, juga sebagai KSAU. Saya akan support dan komitmen untuk menyukseskan program Elang Hitam ini,” sebagaimana dikutip dalam keterangan resmi PT DI.
Elang Hitam adalah wahana atau pesawat tanpa awak yang dikembangkan sejak 2017 oleh konsorsium yang terdiri dari BPPT, PT Dirgantara Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antaraiksa Nasional (Lapan), PT LEN Industri, Kementerian Pertahanan, ITB, dan TNI AU. Elang Hitam didesain untuk melakukan patroli wilayah sekaligus juga dilengkapi senjata untuk melakukan penindakan awal bagi pelanggar hukum dan kedaulatan negara.
Pesawat tanpa awak Elang Hitam pertama kali diperkenalkan kepada publik pada 30 Desember 2019 di hanggar PT DI di Bandung, Jawa Barat, dan direncanakan terbang perdana pada 2021. Elang Hitam juga direncanakan mendapatkan sertifikat sebagai drone tempur pada 2024. Namun, proses itu tidak berjalan mulus karena proyek tersebut dialihkan dari drone tempur menjadi hanya untuk kebutuhan sipil.
Elang hitam memiliki rentang sayap 16 meter dan diharapkan mampu terbang sampai 30 jam. Ketinggian jelajah Elang Hitam adalah 3.000-5.000 meter dengan jangkauan sekitar 250 kilometer. Dengan kecepatan 225 km/jam, Elang Hitam dirancang untuk mampu menahan beban saat lepas landas seberat 1.115 kg.
Ketika ditemui pada akhir Februari 2025 lalu di Bandung, Direktur Utama PT DI Gita Amperiawan mengatakan bahwa industri pertahanan dalam negeri harus mengembangkan pesawat nirawak, khususnya jenis MALE. Untuk itu, pengembangan drone mesti dimasukkan dalam rencana strategis pengadaan alutsista 2025-2029.

”Investasi pemerintah yang sudah besar di PT DI ini akan baik kalau kemudian dari segi teknologi kita masuk ke MALE. Nah, ini sedang kita buat dan mudah-mudahan bisa masuk kepada pengadaan di renstra 2025-2029,” kata Gita.
Gita membenarkan, Kementerian Pertahanan berencana untuk membeli drone Bayraktar dari Turki. Menurut Gita, yang penting dari pembelian itu adalah terjadinya transfer teknologi sehingga ke depan penggunaan drone buatan dalam negeri semakin banyak dan menggantikan drone buatan luar negeri.
Agus Supriatna, KSAU 2015-2017, menggarisbawahi pentingnya pengembangan teknologi pesawat nirawak. Dan pengembangan teknologi tersebut memakan waktu yang panjang.
Dalam bukunya, Air Defense Antara Kebutuhan dan Tuntutan (2017), Agus mengatakan, pengembangan teknologi pesawat nirawak telah dilakukan Angkatan Udara Amerika Serikat sejak era 60-an. Pengembangan teknologi pesawat nirawak menjadi kebutuhan salah satunya untuk mengurangi risiko korban manusia serta kemampuannya untuk menjangkau daerah yang sulit dijangkau manusia.
Beberapa teknologi pesawat tanpa awak yang dikembangkan oleh AS adalah harus mampu terbang di atas ketinggian jelajah di atas rata-rata. Hal itu diperlukan ketika menjalani operasi pengamatan terhadap sasaran yang berada di darat ataupun pesawat terbang.
Selain itu, AS juga mengembangkan teknologi pesawat nirawak dengan kecepatan yang tinggi untuk menghindari deteksi musuh. ”Biaya yang digunakan dalam pembuatan pesawat ini harus lebih murah bila dibandingkan dengan pembuatan pesawat berawak,” tulis Agus.
Siklus
Kembali ke pesawat nirawak buatan anak bangsa. Setelah menyaksikan penerbangan demo Wulung, Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Irvansyah mengungkapkan puas terhadap performa yang ditunjukkan. Irvansyah juga akan mengkaji kemungkinan pembelian Wulung untuk kepentingan Bakamla.
”Sehingga siklus produksi, penelitian, dan pengembangan berjalan terus dan mudah-mudahan semakin sempurna, dan tidak menutup kemungkinan dari negara lain bisa membeli produk-produk yang kita saksikan hari ini," kata Irvansyah.
Setapak demi setapak pengembangan teknologi pesawat nirawak menunjukkan kemajuan. Akankah kepak sayap drone buatan anak bangsa segera mengudara?
🛩 Kompas
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.