Merebut juara game Microsoft di Rusia. Berangkat dari kesederhanaan.
Tak ada yang menyangka, dari bilik kecil empat kali empat meter itu, lahir karya juara dunia. Ini bukanlah di Sillicon Valley, Amerika Serikat, tempat para kampiun industri digital bertahta. Tapi di Madura, pulau kecil di timur Jawa.
Bilik itu begitu sederhana. Sejumlah komputer teronggok di sudut. Ada meja rapat, dan selembar papan tulis di dinding. Sepertinya tak sepadan buat sebuah laboratorium teknologi informasi. Tapi di bilik kecil itu lah, sejumlah mahasiswa Teknik Informatika Universitas Trunojoyo, Sampang, Madura, membuat kejutan.
Dari tempat itu lahir Save The Hamster, game yang memenangi turnamen bergengsi tingkat dunia, Microsoft Imagine Cup di St. Petersburg, Rusia, 12 Juli.
Adalah empat sekawan yang membangun "selamatkan si hamster" itu. Tim kecil itu merancang-bangun aplikasi game di ruang mungil kampus. “Kemenangan ini mengejutkan,” ujar Asadullohil Ghalib Kubat, pemimpin “proyek” game ini.
Tentu, prestasi itu membuat para anak muda asal Madura bungah. Ini bukan hal sepele. Lewat kompetisi itu, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Microsoft Corp., selaku penyelenggara kontes tahunan itu, prestasi anak muda Indonesia diakui.
Kompetisi itu adalah lomba bergengsi tingkat dunia untuk mencipatakan proyek kreatif. Pesertanya adalah pelajar di bidang teknologi, pengembang, dan calon wirausaha. Sudah sebelas kali lomba itu diadakan, dan berlangsung setiap tahun.
Ada tiga kategori utama yang dilombakan, yaitu Innovation, Games dan World Citizenship. Dari tiga kategori itu, Tim Solite Studio dari Universitas Trunojoyo Madura sukses menyabet juara dua di kategori Games. Ia pun berhasil menggondol hadiah US$10.000, setara Rp100 juta.
Anak-anak Madura itu tertawa lebar saat dipotret usai pengumuman pemenang. Mereka menyisihkan 87 pelajar dari 71 negara, yang berkompetisi di final tingkat dunia. Jumlah itu disaring dari kompetisi online dan lokal dari seluruh dunia. "Semua kerja keras kami terbayarkan saat kami bisa membawa bendera merah putih Indonesia di panggung Imagine Cup 2013," kata Ghalib.
Tim Solite Studio terdiri dari Asadullohil Ghalib Kubat (Team Leader), Miftah Alfian Syah (Programmer), Tony Wijaya (Graphic Designer) dan Mukhammad Bagus Muslim (Game Designer). Semuanya mahasiswa Trunojoyo, dan berusia 22 tahun.
Tim Juri Imagine Cup sangat terkejut mengetahui game Save the Hamster telah diunduh 30.000 kali hanya dalam waktu dua minggu, 20.000 pada Windows Phone, dan 10.000 pada Windows 8.
"Banyak orang yang mengatakan, Tim Solite Studio akan berada di panggung saat malam penghargaan. Dan itu benar-benar terjadi," kata Audience Marketing Manager Microsoft Indonesia, Irving Hutagalung.
President Director Microsoft Indonesia Andreas Diantoro mengatakan, ini adalah pertama kalinya tim Indonesia menang di Imagine Cup skala global. Keberhasilan ini, kata dia, menjadi bukti para pengembang program di Indonesia sudah diakui. “Bahkan yang berasal dari pulau kecil seperti Madura," kata Andreas yang menyaksikan kiprah tim Solite Studio.
Kemenangan ini pun disambut luar biasa. Nyaris semua media sosial, mulai dari facebook, twitter, hingga blog, terkena demam kemenangan. Apalagi para anak muda di Madura. Mereka bangga, game besutan anak Trunojoyo ini berhasil menjadi juara 2 dunia. Prancis kalah, dan “Tim Madura” hanya satu tingkat di bawah Austria.
Matematika si Hamster
Save the Hamsters adalah game edukatif yang dipasang di platform Windows Phone, dan Windows8. Game ini mengajak pemain belajar Matematika yang mengasyikkan.
Dalam permainan, dikisahkan ada empat hamster tersesat. Tugas pemain membantu para hamster pulang ke rumahnya.
Ada dua mode game mode, original dan adventure. Pada mode original, pemain harus menghancurkan boks, tali, dan beberapa objek lainnya yang menghalangi si hamster menuju rumahnya. Setiap hamster punya angka pada tubuhnya. Pemain harus menempatkan hamster pada tempatnya sesuai dengan simbol matematika yang ada di tanah.
Pada mode adventure, pemain harus menghindari musuh, dan mengambil kunci berisi angka yang tepat, sesuai kombinasi angka yang terdapat pada layar.
Hal unik dari Save The Hamster, pemain dapat menyusun kotak, tali, hamster, dan objek-objek lainnya, lalu menjalankannya serta menyimpannya menjadi sebuah level permainan.
Mengapa harus hamster? Ghalib mengaku memilih jenis marmut itu sebagai ikon karena karakternya yang lucu. Selain itu, hewan ini kerap jadi mainan kegemaran segala usia, dari anak-anak hingga dewasa. Ia berharap, dengan game ini orang tak sadar sudah diajak bermain matematika. Dan juga berlatih menyelamatkan hewan.
“Ide ini datang dari Miftah, sang programmer,” katanya. "Saya team leader yang mengatur semua proyek.”
Tonny Wijaya, si desainer grafis, mengatakan peran Ghalib yang tekun dan suka browsing itu cukup besar dalam proyek ini. Ghalib selalu mencari informasi perlombaan. “Kami berempat selalu nongkrong di lab,” katanya.
Empat sekawan ini suka berdiskusi soal proyek mereka. Tentu saja, sebagai mahasiswa sederhana, mereka tak rapat di kafe. Tempatnya cuma satu, laboratorium kecil itu. Tapi mereka tetap semangat, bekerja sampai larut, dan bahkan menginap di laporatorium mini itu. “Kami selalu kompak sejak pertama kami bekerja sama," kata Miftah mahasiswa angkatan 2009.
Dari kesederhanaan
Uniknya, anak-anak Madura ini bukanlah besar dari dunia urban, tempat komputer menjadi barang yang akrab. Ghalib misalnya. Dia anak petani. Rumah orangtuanya juga sangat sederhana.
Saat VIVAnews berkunjung ke rumahnya di Jalan KH M Cholil Sampang, tempat tinggalnya mudah dikenali. Ada papan kecil bertulis agen sosis. "Itu usaha kecil-kecilan ibu saya," kata anak pasangan Haji Takliman Thalhah dan Hajah Sufiah ini.
Tiga kawannya juga tak jauh beda. Miftah anak seorang pegawai biasa di PT PAL di Surabaya. Ibunya juga hanya pekerja rumah tangga. Dia tinggal di perkampungan padat di Jalan Temunggung Karya, Surabaya Utara. Mungkin, hanya Tony yang orang tuanya agak lebih beruntung. Orangtua Tonny pegawai Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, dan ibunya punya toko kelontong.
Tapi kesederhanaan tak mematikan mimpi mereka.
Sebelum menembus kompetisi dunia, sederet prestasi pernah disabet. Mereka pemenang pertama Mobile Game Dev War 4 Nokia, 2012, mendapat medali emas Lumia Apps Olympiad XNA Game Category, 2012, dan juara utama Imagine Cup Indonesia, 2013.
Ghalib berkisah mula ia terjun di game ini. Saat itu ia magang di studio game, Gate Studio, di Bandung. Lulusan SMK Teknologi Informasi An-Najiyah, Tambak Beras, Jombang, ini magang dua bulan, tepatnya pada Februari-April 2012.
Bagi dia, magang bukan sekadar merampungkan tugas akhir kampus. Ia belajar betul membuat game, dan bagaimana memasarkannya. Termasuk –agar terkenal— ikut lomba-lomba. Dari situ ia ia mengajak teman-teman di kampusnya, Miftah, Tony, dan Bagus membangun Solite Studio, tempat mereka berkarya menciptakan games.
“Lalu saya ajak teman-teman ikut kompetisi Nokia, dan kami menang,” kata Ghalib, yang kini jadi CEO Solite Studio. “Kami dapat uang Rp30 juta,” katanya.
Dari kemenangan itu, ia kian yakin, bila ditekuni karyanya bisa lebih berhasil. Mereka pun ikut lomba berkali-kali, dan puncaknya menyabet Microsoft Imagine Cup 2013.
Lalu, dipakai untuk apa hadiah Rp100 juta dari Microsoft itu? Mereka akan membeli rumah untuk markas perusahaan. Harapannya, dengan slogan “We Grow from Dreams” mereka akan memproduksi game-game orisinal asli Madura.
Mereka sudah mantap, tak akan pindah dari pulau kecil Madura, yang hanya dikenal dengan sebagai penghasil garam. “Kami ingin mendunia dari Madura,” kata Tonny.(np)
Bilik itu begitu sederhana. Sejumlah komputer teronggok di sudut. Ada meja rapat, dan selembar papan tulis di dinding. Sepertinya tak sepadan buat sebuah laboratorium teknologi informasi. Tapi di bilik kecil itu lah, sejumlah mahasiswa Teknik Informatika Universitas Trunojoyo, Sampang, Madura, membuat kejutan.
Dari tempat itu lahir Save The Hamster, game yang memenangi turnamen bergengsi tingkat dunia, Microsoft Imagine Cup di St. Petersburg, Rusia, 12 Juli.
Adalah empat sekawan yang membangun "selamatkan si hamster" itu. Tim kecil itu merancang-bangun aplikasi game di ruang mungil kampus. “Kemenangan ini mengejutkan,” ujar Asadullohil Ghalib Kubat, pemimpin “proyek” game ini.
Tentu, prestasi itu membuat para anak muda asal Madura bungah. Ini bukan hal sepele. Lewat kompetisi itu, raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Microsoft Corp., selaku penyelenggara kontes tahunan itu, prestasi anak muda Indonesia diakui.
Kompetisi itu adalah lomba bergengsi tingkat dunia untuk mencipatakan proyek kreatif. Pesertanya adalah pelajar di bidang teknologi, pengembang, dan calon wirausaha. Sudah sebelas kali lomba itu diadakan, dan berlangsung setiap tahun.
Ada tiga kategori utama yang dilombakan, yaitu Innovation, Games dan World Citizenship. Dari tiga kategori itu, Tim Solite Studio dari Universitas Trunojoyo Madura sukses menyabet juara dua di kategori Games. Ia pun berhasil menggondol hadiah US$10.000, setara Rp100 juta.
Anak-anak Madura itu tertawa lebar saat dipotret usai pengumuman pemenang. Mereka menyisihkan 87 pelajar dari 71 negara, yang berkompetisi di final tingkat dunia. Jumlah itu disaring dari kompetisi online dan lokal dari seluruh dunia. "Semua kerja keras kami terbayarkan saat kami bisa membawa bendera merah putih Indonesia di panggung Imagine Cup 2013," kata Ghalib.
Tim Solite Studio terdiri dari Asadullohil Ghalib Kubat (Team Leader), Miftah Alfian Syah (Programmer), Tony Wijaya (Graphic Designer) dan Mukhammad Bagus Muslim (Game Designer). Semuanya mahasiswa Trunojoyo, dan berusia 22 tahun.
Tim Juri Imagine Cup sangat terkejut mengetahui game Save the Hamster telah diunduh 30.000 kali hanya dalam waktu dua minggu, 20.000 pada Windows Phone, dan 10.000 pada Windows 8.
"Banyak orang yang mengatakan, Tim Solite Studio akan berada di panggung saat malam penghargaan. Dan itu benar-benar terjadi," kata Audience Marketing Manager Microsoft Indonesia, Irving Hutagalung.
President Director Microsoft Indonesia Andreas Diantoro mengatakan, ini adalah pertama kalinya tim Indonesia menang di Imagine Cup skala global. Keberhasilan ini, kata dia, menjadi bukti para pengembang program di Indonesia sudah diakui. “Bahkan yang berasal dari pulau kecil seperti Madura," kata Andreas yang menyaksikan kiprah tim Solite Studio.
Kemenangan ini pun disambut luar biasa. Nyaris semua media sosial, mulai dari facebook, twitter, hingga blog, terkena demam kemenangan. Apalagi para anak muda di Madura. Mereka bangga, game besutan anak Trunojoyo ini berhasil menjadi juara 2 dunia. Prancis kalah, dan “Tim Madura” hanya satu tingkat di bawah Austria.
Matematika si Hamster
Save the Hamsters adalah game edukatif yang dipasang di platform Windows Phone, dan Windows8. Game ini mengajak pemain belajar Matematika yang mengasyikkan.
Dalam permainan, dikisahkan ada empat hamster tersesat. Tugas pemain membantu para hamster pulang ke rumahnya.
Ada dua mode game mode, original dan adventure. Pada mode original, pemain harus menghancurkan boks, tali, dan beberapa objek lainnya yang menghalangi si hamster menuju rumahnya. Setiap hamster punya angka pada tubuhnya. Pemain harus menempatkan hamster pada tempatnya sesuai dengan simbol matematika yang ada di tanah.
Pada mode adventure, pemain harus menghindari musuh, dan mengambil kunci berisi angka yang tepat, sesuai kombinasi angka yang terdapat pada layar.
Hal unik dari Save The Hamster, pemain dapat menyusun kotak, tali, hamster, dan objek-objek lainnya, lalu menjalankannya serta menyimpannya menjadi sebuah level permainan.
Mengapa harus hamster? Ghalib mengaku memilih jenis marmut itu sebagai ikon karena karakternya yang lucu. Selain itu, hewan ini kerap jadi mainan kegemaran segala usia, dari anak-anak hingga dewasa. Ia berharap, dengan game ini orang tak sadar sudah diajak bermain matematika. Dan juga berlatih menyelamatkan hewan.
“Ide ini datang dari Miftah, sang programmer,” katanya. "Saya team leader yang mengatur semua proyek.”
Tonny Wijaya, si desainer grafis, mengatakan peran Ghalib yang tekun dan suka browsing itu cukup besar dalam proyek ini. Ghalib selalu mencari informasi perlombaan. “Kami berempat selalu nongkrong di lab,” katanya.
Empat sekawan ini suka berdiskusi soal proyek mereka. Tentu saja, sebagai mahasiswa sederhana, mereka tak rapat di kafe. Tempatnya cuma satu, laboratorium kecil itu. Tapi mereka tetap semangat, bekerja sampai larut, dan bahkan menginap di laporatorium mini itu. “Kami selalu kompak sejak pertama kami bekerja sama," kata Miftah mahasiswa angkatan 2009.
Dari kesederhanaan
Uniknya, anak-anak Madura ini bukanlah besar dari dunia urban, tempat komputer menjadi barang yang akrab. Ghalib misalnya. Dia anak petani. Rumah orangtuanya juga sangat sederhana.
Saat VIVAnews berkunjung ke rumahnya di Jalan KH M Cholil Sampang, tempat tinggalnya mudah dikenali. Ada papan kecil bertulis agen sosis. "Itu usaha kecil-kecilan ibu saya," kata anak pasangan Haji Takliman Thalhah dan Hajah Sufiah ini.
Tiga kawannya juga tak jauh beda. Miftah anak seorang pegawai biasa di PT PAL di Surabaya. Ibunya juga hanya pekerja rumah tangga. Dia tinggal di perkampungan padat di Jalan Temunggung Karya, Surabaya Utara. Mungkin, hanya Tony yang orang tuanya agak lebih beruntung. Orangtua Tonny pegawai Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, dan ibunya punya toko kelontong.
Tapi kesederhanaan tak mematikan mimpi mereka.
Sebelum menembus kompetisi dunia, sederet prestasi pernah disabet. Mereka pemenang pertama Mobile Game Dev War 4 Nokia, 2012, mendapat medali emas Lumia Apps Olympiad XNA Game Category, 2012, dan juara utama Imagine Cup Indonesia, 2013.
Ghalib berkisah mula ia terjun di game ini. Saat itu ia magang di studio game, Gate Studio, di Bandung. Lulusan SMK Teknologi Informasi An-Najiyah, Tambak Beras, Jombang, ini magang dua bulan, tepatnya pada Februari-April 2012.
Bagi dia, magang bukan sekadar merampungkan tugas akhir kampus. Ia belajar betul membuat game, dan bagaimana memasarkannya. Termasuk –agar terkenal— ikut lomba-lomba. Dari situ ia ia mengajak teman-teman di kampusnya, Miftah, Tony, dan Bagus membangun Solite Studio, tempat mereka berkarya menciptakan games.
“Lalu saya ajak teman-teman ikut kompetisi Nokia, dan kami menang,” kata Ghalib, yang kini jadi CEO Solite Studio. “Kami dapat uang Rp30 juta,” katanya.
Dari kemenangan itu, ia kian yakin, bila ditekuni karyanya bisa lebih berhasil. Mereka pun ikut lomba berkali-kali, dan puncaknya menyabet Microsoft Imagine Cup 2013.
Lalu, dipakai untuk apa hadiah Rp100 juta dari Microsoft itu? Mereka akan membeli rumah untuk markas perusahaan. Harapannya, dengan slogan “We Grow from Dreams” mereka akan memproduksi game-game orisinal asli Madura.
Mereka sudah mantap, tak akan pindah dari pulau kecil Madura, yang hanya dikenal dengan sebagai penghasil garam. “Kami ingin mendunia dari Madura,” kata Tonny.(np)
Dari Purwokerto Mengejar Mimpi
Masih belia. Jauh dari orang tua. Raih prestasi dunia.
Ribuan piala itu berjejer. Didudukan di beberapa rak. Penuh sesak di lantai tujuh itu. Di ruangan kecil. Hanya berukuran 6x10 meter. Piala-piala itu dikumpulkan semenjak tahun 1963. Tempat ini diberi nama "Hall Of Fame Achievements and Award".
Ruangan ini mengisahkan kegemilangan sekolah itu. SMAK 1 BPK Penabur. Sekolah ini berdiri di Jakarta Barat semenjak 19 Juli 1960. Dan hampir saban tahun, murid-murid di sana meraih penghargaan. Dalam banyak bidang. Dari tingkat nasional hingga dunia.
Satu dari ribuan piala itu adalah sumbangan Mikael Harseno Subianto. Siswa kelas XII di sekolah itu. Dia meraih piala ini dari ajang internasional. Bidang sains. Dari ajang International Physics Olympiad (IPhO) atau Olimpiade Fisika Internasional 2013. Ajang itu dihelat tanggal 7-15 Juli 2013. Di Kopenhagen, Denmark.
VIVAnews berjumpa dengan Mikael di sekolah itu. Berusia 17 tahun. Sosok remaja yang sepintas pendiam. Begitu bicara soal sains mengalir bagai air. Runtut. Tertata dan matang melampaui umurnya. Remaja belia ini membenam hidupnya di dunia sains. Semenjak berusia 13 tahun dia tak pernah absen dari ajang olimpiade sains.
Kemampuan mengolah angka itu memang sudah diasah semenjak sekolah di SMP Susteran Katolik di Purwokerto. Dia sudah bertarung di Olimpiade Sains Nasional (OSN) tahun 2009. Sayang dia gagal.
Kegagalan itu tak membunuh ketekunan. Setahun kemudian dia berlaga di ajang International Junior Science Olympiad (IJSO). Digelar jauh di benua Afrika, Nigeria, ajang ini diikuti siswa berprestasi dari seluruh dunia. Mikael menyabet medali perak.
Dan Juli tahun ini dia berlaga di ajang di Denmark itu. Berpuluh negara juga ikut di situ. Dari sekolah-sekolah yang punya sejarah panjang dalam bidang sains dan adu ketangkasan. Target Mikael meleset.
Meski meleset dia tidak berkecil hati. Meraih medali perunggu sudah menjadi prestasi yang membanggakan. Terutama karena ini ajang internasional dengan lawan-lawan yang tangguh. “Kalau saya lihat kebelakang lagi, seberapa jauh saya dan teman-teman saya telah melangkah, ini adalah prestasi yang sangat bagus,” ujarnya kepada VIVAnews.
Remaja berdarah Tionghoa ini mengakui bahwa semula dia sungguh tidak menyukai pelajaran Fisika. Lebih jatuh cinta dengan Kimia. Kisah soal cinta dengan pelajaran kimia itu, juga dituturkan Matius Biu Sarra. Matius adalah guru pembimbing Fisika Mikael sekolah itu.
Ketika mengikuti olimpiade sains, dia ngotot memilih pelajaran Kimia. Lantaran kuota murid sudah penuh pada pelajaran Kimia, dipenuhi siswa yang pintar-pintar pula, Mikael dialihkan ke pelajaran Fisika.
Dan pada mulanya sungguh berat. Tapi karena peluang untuk mengikuti ajang olimpiade itu hanya tersisa untuk Fisika, mau tidak mau Mikael belajar keras. Hasilnya luar biasa.
Tinggal jauh dari orangtua, yang menetap di Purwokerto, tidak membuat Mikael tenggelam dalam keriuhan metropolitan dan kehilangan semangat dalan belajar. Di Jakarta, Mikael memang tinggal sendirian. Di usia yang belia itu, dia hidup mandiri. Ke sekolah dia berjalan kaki. Beruntung dekat. Cuma 5 menit.
Sang ibunda, Listijani, mengisahkan bahwa semenjak SMP, Mikael memang sudah bertekad melanjutkan sekolah di Penabur. Meski harus jauh dari orangtua. Dan sejumlah sekolah bergengsi di Semarang dan Purwokerto menawarinya beawsiswa. Sekolah gratis. Karena melihat prestasinya di SMP.
Belakangan beasiswa itu juga diraih di Jakarta. Lantaran berprestasi, meraih medali perak pada ajang Olimpiade Sains Nasional (2010), Penabur memberi gratis biaya sekolah 80 persen. Mikael hanya perlu membayar 20 persen.
Mencetak siswa berprestasi tentu saja tidak mudah. Tapi para guru di sekolah Penabur sudah bertekad. Selama bertahun-tahun sekolah itu mampu mempertahankan peringkat pertama se-DKI Jakarta di bidang Ilmu Pengetahuan Alam dan peringkat tiga tingkat nasional. Kuncinya, kata Kepala Sekolah, Endang Setyowati, hanya satu, menanam disiplin.
Di sekolah ini, lanjutnya, disiplin sudah merasuk pada anak-anak. Dengan disiplin, anak-anak yang semula cuek dan bandel akan dengan sendirinya berubah. Para guru juga di-upgrade. Di sekolahkan ke Singapura yang berkelas internasional. Dengan begitu mental para guru juga berkelas.
Tahun depan, Mikael kembali berlaga dalam ajang IPhO 2014 di Kazakhstan. Ia akan bertarung dengan sang juara utama dari ajang ini. Seorang siswa asal Hungaria, yang dua tahun berturut-turut meraih emas. Dan kini Mikael bekerja keras. Keras belajar. Mimpinya meraih beasiswa kuliah di Amerika.
Ruangan ini mengisahkan kegemilangan sekolah itu. SMAK 1 BPK Penabur. Sekolah ini berdiri di Jakarta Barat semenjak 19 Juli 1960. Dan hampir saban tahun, murid-murid di sana meraih penghargaan. Dalam banyak bidang. Dari tingkat nasional hingga dunia.
Satu dari ribuan piala itu adalah sumbangan Mikael Harseno Subianto. Siswa kelas XII di sekolah itu. Dia meraih piala ini dari ajang internasional. Bidang sains. Dari ajang International Physics Olympiad (IPhO) atau Olimpiade Fisika Internasional 2013. Ajang itu dihelat tanggal 7-15 Juli 2013. Di Kopenhagen, Denmark.
VIVAnews berjumpa dengan Mikael di sekolah itu. Berusia 17 tahun. Sosok remaja yang sepintas pendiam. Begitu bicara soal sains mengalir bagai air. Runtut. Tertata dan matang melampaui umurnya. Remaja belia ini membenam hidupnya di dunia sains. Semenjak berusia 13 tahun dia tak pernah absen dari ajang olimpiade sains.
Kemampuan mengolah angka itu memang sudah diasah semenjak sekolah di SMP Susteran Katolik di Purwokerto. Dia sudah bertarung di Olimpiade Sains Nasional (OSN) tahun 2009. Sayang dia gagal.
Kegagalan itu tak membunuh ketekunan. Setahun kemudian dia berlaga di ajang International Junior Science Olympiad (IJSO). Digelar jauh di benua Afrika, Nigeria, ajang ini diikuti siswa berprestasi dari seluruh dunia. Mikael menyabet medali perak.
Dan Juli tahun ini dia berlaga di ajang di Denmark itu. Berpuluh negara juga ikut di situ. Dari sekolah-sekolah yang punya sejarah panjang dalam bidang sains dan adu ketangkasan. Target Mikael meleset.
Meski meleset dia tidak berkecil hati. Meraih medali perunggu sudah menjadi prestasi yang membanggakan. Terutama karena ini ajang internasional dengan lawan-lawan yang tangguh. “Kalau saya lihat kebelakang lagi, seberapa jauh saya dan teman-teman saya telah melangkah, ini adalah prestasi yang sangat bagus,” ujarnya kepada VIVAnews.
Remaja berdarah Tionghoa ini mengakui bahwa semula dia sungguh tidak menyukai pelajaran Fisika. Lebih jatuh cinta dengan Kimia. Kisah soal cinta dengan pelajaran kimia itu, juga dituturkan Matius Biu Sarra. Matius adalah guru pembimbing Fisika Mikael sekolah itu.
Ketika mengikuti olimpiade sains, dia ngotot memilih pelajaran Kimia. Lantaran kuota murid sudah penuh pada pelajaran Kimia, dipenuhi siswa yang pintar-pintar pula, Mikael dialihkan ke pelajaran Fisika.
Dan pada mulanya sungguh berat. Tapi karena peluang untuk mengikuti ajang olimpiade itu hanya tersisa untuk Fisika, mau tidak mau Mikael belajar keras. Hasilnya luar biasa.
Tinggal jauh dari orangtua, yang menetap di Purwokerto, tidak membuat Mikael tenggelam dalam keriuhan metropolitan dan kehilangan semangat dalan belajar. Di Jakarta, Mikael memang tinggal sendirian. Di usia yang belia itu, dia hidup mandiri. Ke sekolah dia berjalan kaki. Beruntung dekat. Cuma 5 menit.
Sang ibunda, Listijani, mengisahkan bahwa semenjak SMP, Mikael memang sudah bertekad melanjutkan sekolah di Penabur. Meski harus jauh dari orangtua. Dan sejumlah sekolah bergengsi di Semarang dan Purwokerto menawarinya beawsiswa. Sekolah gratis. Karena melihat prestasinya di SMP.
Belakangan beasiswa itu juga diraih di Jakarta. Lantaran berprestasi, meraih medali perak pada ajang Olimpiade Sains Nasional (2010), Penabur memberi gratis biaya sekolah 80 persen. Mikael hanya perlu membayar 20 persen.
Mencetak siswa berprestasi tentu saja tidak mudah. Tapi para guru di sekolah Penabur sudah bertekad. Selama bertahun-tahun sekolah itu mampu mempertahankan peringkat pertama se-DKI Jakarta di bidang Ilmu Pengetahuan Alam dan peringkat tiga tingkat nasional. Kuncinya, kata Kepala Sekolah, Endang Setyowati, hanya satu, menanam disiplin.
Di sekolah ini, lanjutnya, disiplin sudah merasuk pada anak-anak. Dengan disiplin, anak-anak yang semula cuek dan bandel akan dengan sendirinya berubah. Para guru juga di-upgrade. Di sekolahkan ke Singapura yang berkelas internasional. Dengan begitu mental para guru juga berkelas.
Tahun depan, Mikael kembali berlaga dalam ajang IPhO 2014 di Kazakhstan. Ia akan bertarung dengan sang juara utama dari ajang ini. Seorang siswa asal Hungaria, yang dua tahun berturut-turut meraih emas. Dan kini Mikael bekerja keras. Keras belajar. Mimpinya meraih beasiswa kuliah di Amerika.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.