Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meluncurkan prototipe I dari Radar Pengawas Pantai yang diberi nama Indonesian Scientific Journal Database (ISRA) sebagai radar pantai pertama buatan Indonesia.
Kepala LIPI Prof. Umar Anggara Jenie dalam acara peluncuran yang dilakukan di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI Subang, Jawa Barat (Jabar) mengatakan terciptanya radar pertama Indonesia ini merupakan bukti bahwa peneliti Indonesia mampu membuat alat berteknologi tinggi. Acara tersebut digelar dalam rangkaian ulang tahun ke-42 LIPI.
"Daripada kita harus membeli peralatan teknologi ke luar negeri dengan harga mahal, lebih baik mendorong peneliti bangsa untuk membangun kemandirian bangsa," kata Umar hari ini.
Peneliti pada Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI Mashury Wahab menjelaskan penelitian ini dilakukan selama 3 tahun. "Kami memiliki tim peneliti sebanyak 20 orang untuk penelitian dan pengembangan ISRA ini," ungkap Mashury.
Sebelumnya, katanya, para peneliti tersebut diberi bantuan oleh Pemerintah Belanda untuk pendidikan dasar. "Setelah mendapatkan dasar pendidikan kemudian kami aplikasikan dan kembangkan," lanjutnya.
Radar pengawas pantai ISRA ini, kata Mashury, menggunakan teknologi Frequency-Modulated Continuous Wave (FM-CW) sehingga konsumsi daya dan ukuran radar menjadi lebih kecil. "Mekipun dalam ukuran yang kecil tetapi tidak mengurangi keunggulan-keunggulan yang dimiliki radar ini," ujarnya.
Salah satu fungsi radar pengawas pantai ini, katanya, adalah mendeteksi keberadaan kapal di laut yang sedang mendekat. "Radar ini akan mendeteksi kapal yang berada dalam jangkauan kerja radar ini yang kemudian akan ditampilkan di monitor," katanya.
Dia menambahkan bahwa radar tersebut mampu mendeteksi hingga jarak 64 km. Sebetulnya, kata Mashury, teknologi radar pengawas pantai ini akan terus dikembangkan hingga radar jenis tiga. "Kami masih terus mengembangkan beberapa jenis radar semacam ISRA yaitu satu jenis direncanakan selesai pada 2010 dan satu jenis lagi selesai pada 2011," katanya.
Seluruh radar akan bekerja secara berhubungan. "Kelak ketiga radar ini akan bekerja secara berhubungan sehingga kita tidak perlu memantau langsung ke lokasi penempatan radar karena telah terhubung melalui monitor," jelasnya.
Beberapa komponen dalam radar itu, katanya, masih harus diimpor. "Terdapat 60 persen komponen radar ISRA yang diimpor dari luar negeri," ujarnya.
Untuk penelitian dan pengembangan radar tersebut Mashury menjelaskan bahwa pihaknya telah mengeluarkan dana hingga Rp3 miliar. "Dana ini terbilang efisien dibandingkan dengan biaya radar yang harus dibeli dari Polandia dengan harga mencapai Rp9 miliar," tutur Mashury.(yn)
Memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer tidak mudah bagi Indonesia mengawasi aksi ilegal dan terjadinya kecelakaan serta pencemaran laut. Dengan mengoperasikan radar, petugas patroli dan pengawas pantai dapat mengamati dan kemudian mengatasi masalah tersebut dengan cepat.
Keberadaan sistem radar dalam memantau kondisi lalu lintas laut dan udara memang sangat penting untuk menekan kasus kecelakaan di sektor transportasi. Kecelakaan di laut berpotensi menimbulkan pencemaran akibat tumpahan minyak dari kapal. Apalagi, jika kecelakaan menimpa kapal tanker seperti yang pernah terjadi di Selat Malaka dan Pelabuhan Cilacap beberapa tahun lalu.
Sayangnya, radar yang digunakan untuk pemantauan lalu lintas pelayaran saat ini telah ketinggalan zaman. Selain itu, jumlah dan kemampuannya juga amat terbatas. Maka, untuk memantau wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga, misalnya Singapura, pihak Indonesia mengandalkan sarana pemantau milik negara tetangga ini.
Saat ini dengan meningkatnya arus lalu lintas kapal laut di wilayah jalur pelayaran yang padat di Indonesia, dukungan sistem pengawas dan pemantau lalu lintas tidak hanya perlu ditingkatkan jumlahnya, tetapi juga kemampuannya.
Menurut Syahrul Aiman, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, kebutuhan radar di Indonesia mulai dari 800 hingga 900 buah, tetapi jumlah yang terpasang saat ini masih di bawah angka 30 dan semuanya buatan asing. Di antaranya adalah delapan radar buatan AS yang dipasang di sepanjang Selat Malaka. Harganya per unit 8 miliar dollar AS.
Karena fungsi radar sangat penting untuk transportasi laut dan udara, tambah Syahrul, perlu dilakukan pengembangan kemampuan dalam negeri Indonesia sendiri untuk penyediaan radar secara mandiri.
Selama ini ia melihat prosedur pembelian radar dari luar negeri sulit karena bersifat strategis, selain harganya yang mahal. Hal ini menjadi hambatan bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan peralatan radar. Hal inilah yang mendorong LIPI mengembangkan prototipe radar sendiri untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Radar modern
Melakukan penelitian, rancang bangun sejak tahun 2006, Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI berhasil menciptakan radar pengawas pantai.
Radar ini menggunakan teknologi modern, yaitu frequency- modulated continuous wave (FM-CW) sehingga konsumsi daya dan ukuran radar menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tipe yang konvensional, tanpa mengurangi kinerja standarnya.
Mashury Wahab, Koordinator Peneliti Radar LIPI, menjelaskan, radar yang dapat memantau hingga radius 64 kilometer ini hanya menggunakan daya 2 watt, sedangkan sistem yang lama yang menggunakan tabung magnetron memerlukan daya hingga 10 megawatt.
Pembuatan radar ini melibatkan pihak TU Delf Belanda dalam desain dan teknisnya, tetapi peranti lunaknya dikembangkan sendiri oleh peneliti LIPI. Sistem karya LIPI ini memiliki kandungan lokal 40 persen. Dengan memanfaatkan potensi lokal, harga radar yang bisa mencapai lebih dari 8 miliar rupiah itu dapat direduksi hingga 40 persen, jelas Mashury, doktor bidang pemroses sinyal dari Curtin University of Technology Australia.
Prototipe tersebut, yang dikembangkan sejak tahun 2006, awal Mei ini mulai diuji coba di Bandung dan di Pelabuhan Merak Banten untuk memantau lalu lintas kapal. Ketika itu hasilnya menunjukkan bahwa alat tersebut masih memerlukan penyempurnaan dalam hal tampilan dan peranti lunaknya. Setelah mendapat perbaikan pada uji coba di Pantai Anyer pada Desember 2009, hasilnya baik.
Radar pantai buatan LIPI tersebut memiliki daya jangkau hingga 60 kilometer. Namun karena faktor kelengkungan horizon, radar itu hanya dapat melihat kawasan sejauh 30 kilometer, tambah Hiskia Sirait, Kepala Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI.
Jejaring radar
Pengembangan sistem radar di dalam negeri, lanjut Syahrul, memungkinkan pengembangan jejaring radar di Indonesia dapat ”berkomunikasi” karena menggunakan sistem yang sama. Hingga tahun 2014, LIPI akan mengembangkan jejaring radar pengamat pantai dengan sistem tersebut.
Untuk fabrikasi karya inovasi ini, telah ada beberapa industri nasional yang berminat. Selain itu, saat ini juga telah ada permintaan nonformal dari pihak terkait, seperti TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Keamanan Laut, serta Kementerian Perhubungan.
Selain LIPI, sesungguhnya ada Divisi Radio & Communications System (RCS) dari PT Solusi 247 yang melibatkan peneliti lulusan ITB dan Universitas di Belanda yang juga berhasil mengembangkan radar navigasi kapal. Untuk ini, RCS juga menerapkan FM-CW pada radar tersebut. Pembuatan radar ini juga melibatkan peneliti LIPI dalam pengukuran dan pembangunan konstruksinya.