Sejumput tanah dan serasah dari 13 lokasi kebun raya di sejumlah provinsi di Indonesia ditelisik para ahli mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Alhasil, salah satu bioprospeksi diperoleh berupa bakteri aktinomisetes lokal yang bisa memperbarui kualitas obat antibiotik.
Setahu saya, produksi antibiotik kita masih dari lisensi negara-negara lain. Kita perlu mengembangkan produksi antibiotik dengan aktinomisetes lokal,” ungkap Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan pada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Puspita Lisdiyanti.
Di bidang farmasi, tidak mustahil dijumpai antibiotik yang sudah tidak manjur lagi bagi pasien tertentu. Antibiotik tidak lagi bekerja dengan efektif karena kuman yang seharusnya dilumpuhkan ternyata memiliki resistensi atau ketahanan terhadap obat tersebut.
Dosis antibiotik selalu dianjurkan untuk dihabiskan. Jika tidak, bisa menimbulkan resistensi kuman. Terjadinya daya tahan kuman yang meningkat masih berpeluang besar karena kepatuhan menghabiskan antibiotik bagi pasien tidak bisa dijamin 100 persen.
”Di situlah letak pentingnya pengembangan antibiotik terus dijalankan,” kata Puspita.
Dari hasil temuan aktinomisetes lokal, menurut Puspita, sampai sekarang memang belum diaplikasikan secara komersial untuk mendapatkan jenis obat antibiotik mutakhir. Alasannya klasik, karena investor atau pemilik industri farmasi dalam negeri belum ada yang tertarik.
Aktinomisetes Bedugul
Puspita meneliti bioprospeksi aktinomisetes sejak 2003. Ia bekerja sama dengan peneliti lainnya dari LIPI; Institut Pertanian Bogor; Departemen Pertanian; dan National Institute of Technology and Evaluation (NITE), Jepang.
Aktinomisetes dari 18 sampel tanah dan 20 sampel serasah yang dipungut dari Kebun Raya Eka Karya, Bedugul, memiliki penanganan yang paling maju.
Sebanyak 38 sampel tersebut diambil dari area Kebun Raya Bedugul yang memiliki luas 159 hektar di ketinggian 1.250 meter hingga 1.400 meter. Sejumlah bakteri aktinomisetes berhasil diisolasi.
Pertama kali mengisolasi, diperoleh sebanyak 409 isolat aktinomisetes. Metode yang digunakan yaitu Sodium Dodecyl Sulfat-Yeast Extract (SDS-YE) dan Rehydration and Centrifugation (RC).
Pengisolasian aktinomisetes dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Industri, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, di Cibinong, Jawa Barat. Sebanyak 409 isolat aktinomisetes kemudian diseleksi berdasarkan penampakan morfologi yang berbeda.
Diperoleh sebanyak 242 isolat aktinomisetes terseleksi menggunakan mikroskop cahaya. Pada tahun 2004, sebanyak 242 isolat terseleksi itu dikirimkan ke NITE, Jepang, untuk penelitian identifikasi molekuler.
Pada 2004 itu, LIPI dan NITE mengembangkan program kerja sama Taxonomic and Ecological Study of Actinomycetes from Indonesia. Ini hasil nota kesepahaman yang dijalin antara Kementerian Negara Riset dan Teknologi Indonesia dengan NITE, Jepang, dalam kerangka program Sustainable Use of Microbial Resources.
Relokasi 242 isolat aktinomisetes ke Jepang ketika itu mengalami kontaminasi sehingga ada beberapa yang rusak dan yang tertinggal hanya 229 isolat.
Spesies baru
Hasil penelitian berikutnya mengenai taksonomi isolat aktinomisetes dari Bedugul. Kemudian diperoleh spesies baru, yaitu Streptomyces baliensis dan Actinokineospora baliensis.
”Pengiriman isolat aktinomisetes ini legal, bukan biopiracy (pembajakan material biologi),” kata Puspita.
Jepang diwajibkan membayar sewa isolat mikroorganisme tersebut sebesar 1.000 yen (satu yen berkisar Rp 100) per tahun untuk satu isolat. Puspita mengakui, ini memang murah. Namun, masih ada benefit sharing (pembagian manfaat) lain, seperti peningkatan kapasitas ilmuwan kita, khususnya di bidang teknologi mikrobiologi. ”Peningkatan kapasitas ini yang sulit diukur secara ekonomi,” kata Puspita.
Peningkatan kapasitas para ilmuwan teknologi mikrobiologi untuk mendapatkan aktinomisetes lokal memang mahal. Hanya saja aplikasinya masih selalu dinanti.
• LIPI