Jakarta - Indonesia merupakan negara termaju di Asia dalam riset dan
produksi vaksin dengan PT Bio Farma (Persero) sebagai ujung tombak dalam
produksi vaksin itu.
"Kita sudah termasuk termaju di kawasan Asia untuk urusan vaksin karena faktanya hanya segelintir negara Asia yang punya kemampuan seperti Bio Farma. Itu suatu pencapaian nasional yang membanggakan," kata Sekretaris Perusahaan Bio Farma, M. Rahman Rustan, di Jakarta, Rabu.
Dalam acara taklimat pers, ia mengungkapkan kemampuan Indonesia dalam industri vaksin itu terkait penyelenggaraan Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN) ke-3 di Jakarta pada 2--3 Juli, 2013.
Forum yang melibatkan kalangan universitas, pemerintahan dan industri kesehatan itu sudah digagas Bio Farma sejak 2011.
"Sebelum penyelenggaraan FRVN ke-3, bulan lalu, Bio Farma diminta Organisasi Kerja sama Islam (OKI) untuk menjadi tuan rumah dan rujukan bagi kerja sama pengembangan industri vaksin di negara-negara Islam. Aktivitas itu dihadiri sembilan negara OKI yang sudah punya infrastruktur dasar industri vaksin," katanya.
Dalam OKI, hanya Indonesia yang vaksinnya telah memperoleh pengakuan organisasi kesehatan dunia (WHO) sehingga bisa digunakan di seluruh dunia.
"Dengan fakta itu, OKI selalu melihat Indonesia untuk urusan industri vaksin," kata Rahman, didampingi Kepala Humas Bio Farma, Neneng Nurlela MBA.
Selain itu, Bio Farma juga mendapat dukungan kuat pemerintah, khususnya Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Kesehatan berkoordinasi dalam melakukan kerja sama dengan para peneliti yang tergabung dalam konsorsium penelitian vaksin nasional.
Pihak pemerintah, khususnya Kementerian Riset dan Teknologi secara khusus memberikan fasilitas pendanaan riset kepada para peneliti yang tergabung dalam konsorsium tersebut.
Mengenai FRVN ke-3, ia menjelaskan forum itu menindaklanjuti hasil-hasil pembahasan dalam dua kali FRVN sebelumnya terkait dokumentasi-dokumentasi pembahasan yang diserahkan kepada Kementerian Riset dan Teknologi dan Litbang Kementerian Kesehatan.
FRVN ke-3 yang juga diselenggarakan dalam rangkaian acara 123 tahun Bio Farma itu dihadiri pakar vaksin Profesor Julie Bines dari Murdoch Children Research Insitute (MCRI), Australia, serta Profesor Keiko Udaka dari Kochi Medical School, Jepang.
Dalam catatan, penyelenggaraan FVRN ke-1 telah membentuk delapan konsorsium atau working group (WG) vaksin, yaitu Rotavirus, Tuberculosis, Malaria, HIV/AIDS, Dengue, Influenza, Pneumokokus dan Delivery System, serta kebijakan riset vaksin nasional sekaligus pendanaan.
Pembentukan delapan konsorium riset vaksin bertujuan mencapai sasaran pembangunan milenium (MDG`s) bidang kesehatan dan penerapan Dekade Vaksin 2011-2020.
Selain itu, Bio Farma selalu berkoordinasi erat dengan Kementerian Kesehatan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang guna menyusun peta jalan (roadmap) bagi kebutuhan vaksin baru dan pengembangan vaksin.
"Sampai sekarang ada 70 persen produksi Bio Farma didistribusikan untuk kebutuhan ekspor dan 30 persen untuk kebutuhan dalam negeri," katanya.
Dalam kaitan itu, keterlibatan pihak dari akademisi/peneliti, pemerintah, dan bisnis menjadi tonggak kemandirian vaksin nasional lewat pendekatan sinergis industri vaksin.(E004/E011)
"Kita sudah termasuk termaju di kawasan Asia untuk urusan vaksin karena faktanya hanya segelintir negara Asia yang punya kemampuan seperti Bio Farma. Itu suatu pencapaian nasional yang membanggakan," kata Sekretaris Perusahaan Bio Farma, M. Rahman Rustan, di Jakarta, Rabu.
Dalam acara taklimat pers, ia mengungkapkan kemampuan Indonesia dalam industri vaksin itu terkait penyelenggaraan Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN) ke-3 di Jakarta pada 2--3 Juli, 2013.
Forum yang melibatkan kalangan universitas, pemerintahan dan industri kesehatan itu sudah digagas Bio Farma sejak 2011.
"Sebelum penyelenggaraan FRVN ke-3, bulan lalu, Bio Farma diminta Organisasi Kerja sama Islam (OKI) untuk menjadi tuan rumah dan rujukan bagi kerja sama pengembangan industri vaksin di negara-negara Islam. Aktivitas itu dihadiri sembilan negara OKI yang sudah punya infrastruktur dasar industri vaksin," katanya.
Dalam OKI, hanya Indonesia yang vaksinnya telah memperoleh pengakuan organisasi kesehatan dunia (WHO) sehingga bisa digunakan di seluruh dunia.
"Dengan fakta itu, OKI selalu melihat Indonesia untuk urusan industri vaksin," kata Rahman, didampingi Kepala Humas Bio Farma, Neneng Nurlela MBA.
Selain itu, Bio Farma juga mendapat dukungan kuat pemerintah, khususnya Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Kesehatan berkoordinasi dalam melakukan kerja sama dengan para peneliti yang tergabung dalam konsorsium penelitian vaksin nasional.
Pihak pemerintah, khususnya Kementerian Riset dan Teknologi secara khusus memberikan fasilitas pendanaan riset kepada para peneliti yang tergabung dalam konsorsium tersebut.
Mengenai FRVN ke-3, ia menjelaskan forum itu menindaklanjuti hasil-hasil pembahasan dalam dua kali FRVN sebelumnya terkait dokumentasi-dokumentasi pembahasan yang diserahkan kepada Kementerian Riset dan Teknologi dan Litbang Kementerian Kesehatan.
FRVN ke-3 yang juga diselenggarakan dalam rangkaian acara 123 tahun Bio Farma itu dihadiri pakar vaksin Profesor Julie Bines dari Murdoch Children Research Insitute (MCRI), Australia, serta Profesor Keiko Udaka dari Kochi Medical School, Jepang.
Dalam catatan, penyelenggaraan FVRN ke-1 telah membentuk delapan konsorsium atau working group (WG) vaksin, yaitu Rotavirus, Tuberculosis, Malaria, HIV/AIDS, Dengue, Influenza, Pneumokokus dan Delivery System, serta kebijakan riset vaksin nasional sekaligus pendanaan.
Pembentukan delapan konsorium riset vaksin bertujuan mencapai sasaran pembangunan milenium (MDG`s) bidang kesehatan dan penerapan Dekade Vaksin 2011-2020.
Selain itu, Bio Farma selalu berkoordinasi erat dengan Kementerian Kesehatan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang guna menyusun peta jalan (roadmap) bagi kebutuhan vaksin baru dan pengembangan vaksin.
"Sampai sekarang ada 70 persen produksi Bio Farma didistribusikan untuk kebutuhan ekspor dan 30 persen untuk kebutuhan dalam negeri," katanya.
Dalam kaitan itu, keterlibatan pihak dari akademisi/peneliti, pemerintah, dan bisnis menjadi tonggak kemandirian vaksin nasional lewat pendekatan sinergis industri vaksin.(E004/E011)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.