Jakarta - Perkenalkan: BandrOS. Di Bandung, tempat asalnya, nama itu lebih dikenal sebagai jajanan yang terbuat dari kelapa. Akan tetapi, BandrOS yang satu ini tak bisa dimakan dan bukan terbuat dari kelapa. Ini adalah sistem operasi seperti Android, iOS, dan Windows Phone.
Ya, BandrOS yang ini singkatan dari Bandung Raya Operating System. Pembuatnya adalah Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung. Ini merupakan sistem operasi mobile pertama berbasis Linux, 100 persen bikinan anak negeri.
Tim pembuatnya diketuai oleh Ana Heryana dengan anggota Sahrul Arif, Wawan Wardiana, Ferdian Yunazar, dan Arif Lukman. Mereka juga pernah membuat sistem operasi untuk komputer pribadi (PC) sekitar tiga tahun lalu. Namanya Indonesia Go Open Source Nusantara.
“Sistem operasi ini merupakan pengembangan untuk menjawab tantangan yang diajukan Kementerian Riset dan Teknologi kepada kami,” kata Ana di kantornya di Bandung kepada Tempo, Rabu lalu.
Menurut Ana, BandrOS dibuat untuk membuktikan bahwa para peneliti Indonesia sanggup membuat sistem operasi untuk telepon seluler cerdas. Lantaran pembuatan sistem operasi terbilang sulit, yang mampu membuatnya di sini masih langka.
Tempo sempat mencari pembuat lainnya ke beberapa pemain teknologi informasi di Bandung serta kampus, seperti ITB dan Universitas Telkom. Hasilnya nihil. “Di Bandung, kebanyakan orang mengembangkan aplikasi untuk ponsel atau game,” kata dia.
Akibatnya, kata Ana, mereka sering kesulitan mendapatkan teman diskusi selama pembuatan sistem operasi ini. Masalah bertambah ketika dana riset dari pengajuan awal sebesar Rp 250 juta dipangkas dan hanya dicairkan Rp 50 juta tahun ini.
Menyadari adanya berbagai hambatan, tim akhirnya membatasi pemakaian untuk kalangan terbatas dan tujuan khusus.
Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ashwin Sasongko, menyambut baik kelahiran BandrOS. “Walaupun berat, ini harus bisa diciptakan dan kita buktikan kalau kita sanggup,” kata Ashwin saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Ashwin berharap LIPI bisa mencari mitra bisnis. “Ini akan mendorong orang Indonesia untuk memakai produk buatan sendiri,” ujar Ashwin. Jika sistem operasi in bisa digunakan dalam industri digital lokal, publik akan lebih mengenalnya. “Akan lebih mudah untuk dipromosikan.”
BandrOS adalah satu contoh dari beragam sistem operasi yang dibuat untuk melawan dominasi Android, iOS, dan Windows Phone. Sistem operasi “alternatif” yang sudah dikenal selama ini antara lain FireFox, Bada, Baidu Yi, Tizen, dan Ubuntu.
BandrOS, Sistem Baru untuk Ponsel Baru
Ya, BandrOS yang ini singkatan dari Bandung Raya Operating System. Pembuatnya adalah Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bandung. Ini merupakan sistem operasi mobile pertama berbasis Linux, 100 persen bikinan anak negeri.
Tim pembuatnya diketuai oleh Ana Heryana dengan anggota Sahrul Arif, Wawan Wardiana, Ferdian Yunazar, dan Arif Lukman. Mereka juga pernah membuat sistem operasi untuk komputer pribadi (PC) sekitar tiga tahun lalu. Namanya Indonesia Go Open Source Nusantara.
“Sistem operasi ini merupakan pengembangan untuk menjawab tantangan yang diajukan Kementerian Riset dan Teknologi kepada kami,” kata Ana di kantornya di Bandung kepada Tempo, Rabu lalu.
Menurut Ana, BandrOS dibuat untuk membuktikan bahwa para peneliti Indonesia sanggup membuat sistem operasi untuk telepon seluler cerdas. Lantaran pembuatan sistem operasi terbilang sulit, yang mampu membuatnya di sini masih langka.
Tempo sempat mencari pembuat lainnya ke beberapa pemain teknologi informasi di Bandung serta kampus, seperti ITB dan Universitas Telkom. Hasilnya nihil. “Di Bandung, kebanyakan orang mengembangkan aplikasi untuk ponsel atau game,” kata dia.
Akibatnya, kata Ana, mereka sering kesulitan mendapatkan teman diskusi selama pembuatan sistem operasi ini. Masalah bertambah ketika dana riset dari pengajuan awal sebesar Rp 250 juta dipangkas dan hanya dicairkan Rp 50 juta tahun ini.
Menyadari adanya berbagai hambatan, tim akhirnya membatasi pemakaian untuk kalangan terbatas dan tujuan khusus.
Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ashwin Sasongko, menyambut baik kelahiran BandrOS. “Walaupun berat, ini harus bisa diciptakan dan kita buktikan kalau kita sanggup,” kata Ashwin saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Ashwin berharap LIPI bisa mencari mitra bisnis. “Ini akan mendorong orang Indonesia untuk memakai produk buatan sendiri,” ujar Ashwin. Jika sistem operasi in bisa digunakan dalam industri digital lokal, publik akan lebih mengenalnya. “Akan lebih mudah untuk dipromosikan.”
BandrOS adalah satu contoh dari beragam sistem operasi yang dibuat untuk melawan dominasi Android, iOS, dan Windows Phone. Sistem operasi “alternatif” yang sudah dikenal selama ini antara lain FireFox, Bada, Baidu Yi, Tizen, dan Ubuntu.
BandrOS, Sistem Baru untuk Ponsel Baru
Di Indonesia, pengguna telepon seluler cerdas sudah sangat akrab dengan sistem operasi Android, iOS, Windows Phone, dan BlackBerry. Jumlah penggunanya terus bertambah.
Hal ini didorong oleh harga ponsel cerdas yang kian terjangkau. Pemakainya tak terbatas di kalangan menengah ke atas. Sebab, kini banyak ponsel cerdas dijual dengan harga di bawah Rp 1 juta.
Kondisi ini juga terjadi di negara lain. Menurut lembaga riset IDC, hingga akhir tahun ini, angka penjualan ponsel cerdas sekitar 1 miliar unit atau mengalami kenaikan 40 persen.
Tentu ini menjadi lahan bisnis menggiurkan. Hanya, tak semua vendor ponsel memiliki sistem operasi sendiri untuk menjalankan produk mereka, kecuali Apple dan BlackBerry.
Nah, peluang membuat sistem operasi baru untuk ponsel baru inilah yang kini berusaha digarap oleh beberapa pengembang. Maka lahirlah Firefox, Bada, Baidu Yi, Tizen, dan Sailfish.
Di Tanah Air, ada sistem operasi bernama BandrOS, buatan LIPI, namun belum berorientasi komersial.
: BandrOS
Fitur maupun tampilannya mirip Android. Menurut Ana Heryana, ketua tim pembuat BandrOS, hal itu disengaja lantaran pada ponsel yang menjadi “kelinci percobaan” sebelumnya terpasang sistem operasi Android.
“Android pada ponsel ini kami lepas. Tapi sebagian ada yang masih melekat,” kata Ana. Meski begitu, BandrOS tetap berdiri sendiri dan ponsel pun berfungsi normal, seperti untuk berkirim pesan pendek, menerima panggilan telepon, koneksi Wi-Fi, multimedia, dan mengambil foto.
Tempo sempat menjajal berselancar Internet dengan koneksi Wi-Fi ke dua situs berita online. Saat mencoba masuk ke Facebook, dalam tiga kali percobaan, semuanya gagal. Sedangkan saat menerima panggilan telepon, sambungan terbilang cukup cepat dan koneksi berjalan mulus.
BandrOS sementara ini baru bisa dipasang pada satu jenis ponsel. Agar bisa terpasang pada ponsel lain, sistemnya harus dimodifikasi. Sayangnya, keamanan sistem belum terjamin dan teknologi antisadap belum ada. “Belum kami pasang,” kata Ana.
BandrOS Ternyata Kelanjutan dari IGOS
Hal ini didorong oleh harga ponsel cerdas yang kian terjangkau. Pemakainya tak terbatas di kalangan menengah ke atas. Sebab, kini banyak ponsel cerdas dijual dengan harga di bawah Rp 1 juta.
Kondisi ini juga terjadi di negara lain. Menurut lembaga riset IDC, hingga akhir tahun ini, angka penjualan ponsel cerdas sekitar 1 miliar unit atau mengalami kenaikan 40 persen.
Tentu ini menjadi lahan bisnis menggiurkan. Hanya, tak semua vendor ponsel memiliki sistem operasi sendiri untuk menjalankan produk mereka, kecuali Apple dan BlackBerry.
Nah, peluang membuat sistem operasi baru untuk ponsel baru inilah yang kini berusaha digarap oleh beberapa pengembang. Maka lahirlah Firefox, Bada, Baidu Yi, Tizen, dan Sailfish.
Di Tanah Air, ada sistem operasi bernama BandrOS, buatan LIPI, namun belum berorientasi komersial.
: BandrOS
Fitur maupun tampilannya mirip Android. Menurut Ana Heryana, ketua tim pembuat BandrOS, hal itu disengaja lantaran pada ponsel yang menjadi “kelinci percobaan” sebelumnya terpasang sistem operasi Android.
“Android pada ponsel ini kami lepas. Tapi sebagian ada yang masih melekat,” kata Ana. Meski begitu, BandrOS tetap berdiri sendiri dan ponsel pun berfungsi normal, seperti untuk berkirim pesan pendek, menerima panggilan telepon, koneksi Wi-Fi, multimedia, dan mengambil foto.
Tempo sempat menjajal berselancar Internet dengan koneksi Wi-Fi ke dua situs berita online. Saat mencoba masuk ke Facebook, dalam tiga kali percobaan, semuanya gagal. Sedangkan saat menerima panggilan telepon, sambungan terbilang cukup cepat dan koneksi berjalan mulus.
BandrOS sementara ini baru bisa dipasang pada satu jenis ponsel. Agar bisa terpasang pada ponsel lain, sistemnya harus dimodifikasi. Sayangnya, keamanan sistem belum terjamin dan teknologi antisadap belum ada. “Belum kami pasang,” kata Ana.
BandrOS Ternyata Kelanjutan dari IGOS
Berangkat dari proyek Indonesia Go Open Source (IGOS), yaitu gerakan untuk menggunakan peranti lunak dari sumber terbuka atau gratis, tim peneliti dari Pusat Penelitian Informatika LIPI mengembangkan sistem operasi BandrOS.
Ini adalah sistem operasi mobile pertama buatan Indonesia dan kompatibel dengan ponsel. Kepada Satwika Movementi dan Anwar Siswadi dari Tempo, Ana Heryana membeberkan pengalamannya dalam membuat sistem operasi lokal tersebut. Berikut ini petikannya.
Apa yang melatarbelakangi pembuatan BandrOS?
Penelitian kami pada bidang sistem operasi dilaksanakan pada 2006 dengan mengembangkan sistem operasi IGOS Nusantara untuk laptop dan desktop. IGOS Nusantara masih terus dilanjutkan pengembangannya.
Pada 2010, pengembangan sistem operasi diarahkan untuk perangkat tertanam (embedded device), semisal perangkat komunikasi khusus untuk penanganan bencana. Sistem operasi IGOS Nusantara bersifat general purpose operating system, yang dapat dipasangkan pada berbagai varian spesifikasi perangkat keras komputer berbeda.
Sedangkan BandrOS bersifat special purpose operating system. Artinya, hanya dikembangkan untuk perangkat keras tertentu. Jika peranti kerasnya berbeda, BandrOS harus disesuaikan dengan spesifikasi yang berbeda tersebut.
BandrOS sistem operasi pertama buatan Indonesia?
Setidaknya ini langkah pertama untuk menunjukkan bahwa kita mampu mengembangkan sistem operasi untuk berbagai perangkat embedded, salah satunya untuk ponsel cerdas. Mungkin di beberapa universitas telah ada kegiatan pengembangan sistem operasi untuk perangkat ponsel cerdas, dan momentumnya bersamaan dengan kegiatan kami.
Seperti apa proses pembuatannya?
Kami memulainya dengan analisis kebutuhan dari aspek sosial, ekonomi, dan kelayakan teknologi. Lalu kami mendesain sistem yang akan dikembangkan, yaitu back engine dan user interface. Kemudian menentukan spesifikasi telepon cerdas yang akan digunakan, memberi kode, kustomisasi, kompilasi, dan pemaketan perangkat lunak sistem operasi. Lalu ada pengujian sistem operasi BandrOS pada perangkat telepon cerdas serta evaluasi.
Berapa orang yang terlibat dalam pembuatannya?
Anggota tim pengembang terdiri atas beberapa peneliti, yaitu saya, Sahrul Arif, Wawan Wardiana, Ferdian Yunazar, dan Arif Lukman.
Apa saja alat yang dibutuhkan?
Ada beberapa komputer dengan spesifikasi bermacam-macam. Untuk melakukan kompilasi dan pembuatan paket image, sistem operasi BandrOS menggunakan dua komputer dengan spesifikasi prosesor Intel i7, RAM 16 gigabita, VGA card 4 gigabita, dan hard disk 2 terabita.
Untuk user interface, kami menggunakan laptop dengan spesifikasi prosesor Intel i5, RAM 4 gigabita, VGA card 1 gigabita, dan hard-drive 500 gigabita. Proses memberi kode, kustomisasi, kompilasi, dan pemaketan image sistem operasi menggunakan sistem operasi Linux. Berikutnya, pengembangan user interface menggunakan sistem operasi Linux dan Microsoft Windows.
Apa keunggulan BandrOS dibanding sistem operasi lain?
Secara default, BandrOS memiliki fitur utama yang sama dengan sistem operasi ponsel lain. Namun, karena dikembangkan sendiri, kita mudah melakukan kustomisasi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. (*)
Menanti BandrOS Terpasang pada Ponsel Lokal
Ini adalah sistem operasi mobile pertama buatan Indonesia dan kompatibel dengan ponsel. Kepada Satwika Movementi dan Anwar Siswadi dari Tempo, Ana Heryana membeberkan pengalamannya dalam membuat sistem operasi lokal tersebut. Berikut ini petikannya.
Apa yang melatarbelakangi pembuatan BandrOS?
Penelitian kami pada bidang sistem operasi dilaksanakan pada 2006 dengan mengembangkan sistem operasi IGOS Nusantara untuk laptop dan desktop. IGOS Nusantara masih terus dilanjutkan pengembangannya.
Pada 2010, pengembangan sistem operasi diarahkan untuk perangkat tertanam (embedded device), semisal perangkat komunikasi khusus untuk penanganan bencana. Sistem operasi IGOS Nusantara bersifat general purpose operating system, yang dapat dipasangkan pada berbagai varian spesifikasi perangkat keras komputer berbeda.
Sedangkan BandrOS bersifat special purpose operating system. Artinya, hanya dikembangkan untuk perangkat keras tertentu. Jika peranti kerasnya berbeda, BandrOS harus disesuaikan dengan spesifikasi yang berbeda tersebut.
BandrOS sistem operasi pertama buatan Indonesia?
Setidaknya ini langkah pertama untuk menunjukkan bahwa kita mampu mengembangkan sistem operasi untuk berbagai perangkat embedded, salah satunya untuk ponsel cerdas. Mungkin di beberapa universitas telah ada kegiatan pengembangan sistem operasi untuk perangkat ponsel cerdas, dan momentumnya bersamaan dengan kegiatan kami.
Seperti apa proses pembuatannya?
Kami memulainya dengan analisis kebutuhan dari aspek sosial, ekonomi, dan kelayakan teknologi. Lalu kami mendesain sistem yang akan dikembangkan, yaitu back engine dan user interface. Kemudian menentukan spesifikasi telepon cerdas yang akan digunakan, memberi kode, kustomisasi, kompilasi, dan pemaketan perangkat lunak sistem operasi. Lalu ada pengujian sistem operasi BandrOS pada perangkat telepon cerdas serta evaluasi.
Berapa orang yang terlibat dalam pembuatannya?
Anggota tim pengembang terdiri atas beberapa peneliti, yaitu saya, Sahrul Arif, Wawan Wardiana, Ferdian Yunazar, dan Arif Lukman.
Apa saja alat yang dibutuhkan?
Ada beberapa komputer dengan spesifikasi bermacam-macam. Untuk melakukan kompilasi dan pembuatan paket image, sistem operasi BandrOS menggunakan dua komputer dengan spesifikasi prosesor Intel i7, RAM 16 gigabita, VGA card 4 gigabita, dan hard disk 2 terabita.
Untuk user interface, kami menggunakan laptop dengan spesifikasi prosesor Intel i5, RAM 4 gigabita, VGA card 1 gigabita, dan hard-drive 500 gigabita. Proses memberi kode, kustomisasi, kompilasi, dan pemaketan image sistem operasi menggunakan sistem operasi Linux. Berikutnya, pengembangan user interface menggunakan sistem operasi Linux dan Microsoft Windows.
Apa keunggulan BandrOS dibanding sistem operasi lain?
Secara default, BandrOS memiliki fitur utama yang sama dengan sistem operasi ponsel lain. Namun, karena dikembangkan sendiri, kita mudah melakukan kustomisasi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. (*)
Menanti BandrOS Terpasang pada Ponsel Lokal
Kepala Bidang Komputer Pusat Penelitian Informatika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Agus Subekti, mengatakan diperlukan kepemimpinan yang konsisten agar BandrOS--sistem operasi bikinan LIPI--bisa sejajar dengan sistem operasi yang ada. Setidaknya, BandrOS bisa digunakan untuk ponsel lokal.
“Biasanya tim sudah bagus, tapi giliran di atas malah berhenti karena kurangnya leadership," kata dia. Agus mengimbuhkan, salah satu cara sosialisasinya adalah sebagian besar pejabat eselon I di LIPI dibekali ponsel yang menggunakan sistem operasi BandrOS.
Menurut dia, cara ini diperlukan untuk mengenalkan produk lokal kepada masyarakat tanpa pemaksaan. Jika produk itu memang dinilai bagus, akan muncul permintaan lebih banyak untuk memakainya. “Biarkan berjalan secara alamiah. Coba di LIPI dulu.”
Dia menyebutkan, ada rencana untuk mematenkan BandrOS agar tidak menjadi sebatas karya ilmiah. Namun dia belum bisa memastikan kapan hal itu akan dilakukan. “Tentu arahnya ke situ. Apalagi basisnya open-source, harus bisa dipakai oleh masyarakat.”
Namun dia menjelaskan bahwa LIPI tidak memiliki target untuk memproduksi ponsel sendiri karena memang bukan tugasnya. Karya hasil penelitian lembaga ini akan lebih baik bila digunakan pihak ketiga lewat mekanisme kerja sama.
Saat ini sudah ada pembicaraan dengan sebuah perusahaan teknologi informasi lokal. Namun, Agus enggan menyebutkan nama perusahaan tersebut. “Bisa dibilang ada permintaan agar sistem operasi ini bisa dikembangkan untuk ponsel.”
Rencana jangka pendek tim ini adalah menambahkan fitur dan aplikasi ponsel serta merancang BandrOS untuk bisa berjalan pada tablet. Dia menargetkan pengembangan sistem operasi untuk tablet sudah bisa dirampungkan pada tahun depan.
Agus mengatakan ada kemungkinan jumlah sumber daya manusia tim pengembangan ini bisa bertambah, khususnya tenaga ahli peranti lunak, baik untuk sistem operasi maupun aplikasinya. Sedangkan dana yang sudah dihabiskan selama tiga tahun penelitian yaitu sekitar Rp 250 juta.
“Biasanya tim sudah bagus, tapi giliran di atas malah berhenti karena kurangnya leadership," kata dia. Agus mengimbuhkan, salah satu cara sosialisasinya adalah sebagian besar pejabat eselon I di LIPI dibekali ponsel yang menggunakan sistem operasi BandrOS.
Menurut dia, cara ini diperlukan untuk mengenalkan produk lokal kepada masyarakat tanpa pemaksaan. Jika produk itu memang dinilai bagus, akan muncul permintaan lebih banyak untuk memakainya. “Biarkan berjalan secara alamiah. Coba di LIPI dulu.”
Dia menyebutkan, ada rencana untuk mematenkan BandrOS agar tidak menjadi sebatas karya ilmiah. Namun dia belum bisa memastikan kapan hal itu akan dilakukan. “Tentu arahnya ke situ. Apalagi basisnya open-source, harus bisa dipakai oleh masyarakat.”
Namun dia menjelaskan bahwa LIPI tidak memiliki target untuk memproduksi ponsel sendiri karena memang bukan tugasnya. Karya hasil penelitian lembaga ini akan lebih baik bila digunakan pihak ketiga lewat mekanisme kerja sama.
Saat ini sudah ada pembicaraan dengan sebuah perusahaan teknologi informasi lokal. Namun, Agus enggan menyebutkan nama perusahaan tersebut. “Bisa dibilang ada permintaan agar sistem operasi ini bisa dikembangkan untuk ponsel.”
Rencana jangka pendek tim ini adalah menambahkan fitur dan aplikasi ponsel serta merancang BandrOS untuk bisa berjalan pada tablet. Dia menargetkan pengembangan sistem operasi untuk tablet sudah bisa dirampungkan pada tahun depan.
Agus mengatakan ada kemungkinan jumlah sumber daya manusia tim pengembangan ini bisa bertambah, khususnya tenaga ahli peranti lunak, baik untuk sistem operasi maupun aplikasinya. Sedangkan dana yang sudah dihabiskan selama tiga tahun penelitian yaitu sekitar Rp 250 juta.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.