Saatnya memindahkan ibu kota dari Jakarta
Bukan baru kali ini wacana pemindahan ibu kota Jakarta bergaung. Sejak zaman kolonial Belanda pun mereka sudah meramalkan Batavia suatu saat tak akan ideal sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian.
Awal abad 20, sekitar tahun 1920an, pemerintah Belanda mulai mengkaji memindahkan ibu kota ke Bandung. Sejumlah penelitian telah dilakukan. Hanya saja biaya besar dan invasi Jepang mengakibatkan rencana itu tak terlaksana.
Di awal kemerdekaan, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota perjuangan tahun 1946. Presiden Soekarno saat itu berniat memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Soekarno ingin mengubah konsep Jawasentris dan melihat potensi Kalimantan yang luar biasa. Menurutnya Jakarta adalah warisan kolonial. Dia ingin membangun sebuah kota yang benar-benar dikonsep anak bangsa.
Tanggal 17 Juli 1957, Soekarno menancapkan tonggak pembangunan pertama Palangkaraya. "Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno kala itu.
Tapi mimpi Soekarno tak terlaksana. Dia keburu lengser digantikan Soeharto.
Soeharto pun punya niat menggeser ibu kota ke daerah Jonggol, Bogor. Tapi niat ini juga tak kesampaian.
Kini banjir besar menerjang Jakarta dan isu pemindahan ibukota kembali mencuat. Sejumlah tokoh menyuarakan agar ibu kota pindah.
"Saya berpendapat, harus kita pikirkan pemindahan ibu kota," kata Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis (17/1).
Ketua MPR Taufiq Kiemas mengaku lebih memilih Yogyakarta sebagai pengganti ibu kota Jakarta. Taufiq sebelumnya setuju jika ibu kota dipindah.
"Dipindah ke Yogya," kata Taufiq Kiemas usai bertemu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo di Gedung DPR/MPR, Senin (21/1).
Memindahkan ibu kota bukan perkara mudah dan murah. Tapi jika dibutuhkan kenapa tidak dilakukan mengingat kondisi Jakarta yang makin sumpek. Negara lain pun bisa memindahkan ibu kota mereka.
Malaysia memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya karena Kuala Lumpur dianggap sudah tak ideal lagi. Atau Turki yang memindahkan ibu kota dari Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw.
Simak tematik merdeka.com soal wacana pemindahan ibu kota Jakarta hari ini.(mdk/ian)
Awal abad 20, sekitar tahun 1920an, pemerintah Belanda mulai mengkaji memindahkan ibu kota ke Bandung. Sejumlah penelitian telah dilakukan. Hanya saja biaya besar dan invasi Jepang mengakibatkan rencana itu tak terlaksana.
Di awal kemerdekaan, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota perjuangan tahun 1946. Presiden Soekarno saat itu berniat memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Soekarno ingin mengubah konsep Jawasentris dan melihat potensi Kalimantan yang luar biasa. Menurutnya Jakarta adalah warisan kolonial. Dia ingin membangun sebuah kota yang benar-benar dikonsep anak bangsa.
Tanggal 17 Juli 1957, Soekarno menancapkan tonggak pembangunan pertama Palangkaraya. "Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno kala itu.
Tapi mimpi Soekarno tak terlaksana. Dia keburu lengser digantikan Soeharto.
Soeharto pun punya niat menggeser ibu kota ke daerah Jonggol, Bogor. Tapi niat ini juga tak kesampaian.
Kini banjir besar menerjang Jakarta dan isu pemindahan ibukota kembali mencuat. Sejumlah tokoh menyuarakan agar ibu kota pindah.
"Saya berpendapat, harus kita pikirkan pemindahan ibu kota," kata Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis (17/1).
Ketua MPR Taufiq Kiemas mengaku lebih memilih Yogyakarta sebagai pengganti ibu kota Jakarta. Taufiq sebelumnya setuju jika ibu kota dipindah.
"Dipindah ke Yogya," kata Taufiq Kiemas usai bertemu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo di Gedung DPR/MPR, Senin (21/1).
Memindahkan ibu kota bukan perkara mudah dan murah. Tapi jika dibutuhkan kenapa tidak dilakukan mengingat kondisi Jakarta yang makin sumpek. Negara lain pun bisa memindahkan ibu kota mereka.
Malaysia memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya karena Kuala Lumpur dianggap sudah tak ideal lagi. Atau Turki yang memindahkan ibu kota dari Istambul ke Ankara. Demikian juga Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Di Asia Tenggara ada Burma yang memindahkan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw.
Simak tematik merdeka.com soal wacana pemindahan ibu kota Jakarta hari ini.(mdk/ian)
Menilik Bandung sebagai calon ibu kota Hindia Belanda
Isu untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia dari Jakarta ke kota lain bukanlah hal yang baru. Pada 1916 saat Jakarta masih bernama Batavia, pemerintah Hindia Belanda sudah memutuskan untuk memindahkan ibu kota pemerintahannya ke Bandung.
Banyak alasan dan pertimbangan kenapa pusat pemerintahan akan dipindahkan ke Bandung. Keputusan itu telah diambil Negeri Belanda setelah melalui berbagai penelitian dan kajian.
Salah satu yang memicu perpindahan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh HF Tillema, seorang penilik kesehatan lingkungan dan apoteker yang tinggal di Semarang. Dalam laporannya Tillema menyimpulkan kota-kota pelabuhan di pantai Jawa adalah kawasan yang tidak sehat.
Hal itu dipengaruhi oleh banyaknya rawa yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Selain itu, kota-kota pelabuhan di Pantai Jawa juga memiliki hawa yang panas dan lembab. Akibatnya penghuninya mudah berkeringat, susah bernapas, dan membuat badan cepat lelah.
Penelitian Tillema itu juga memuat Batavia juga memiliki kecenderungan itu, tanpa kecuali. Tillema menyebutkan Batavia saat itu sudah tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Maka tidak mengherankan dalam rekomendasinya, Tillema mengusulkan Bandung menjadi kota pilihan untuk menggantikan Batavia.
Itulah cuplikan kecil tentang Bandung dari buku kanon: Wajah Bandung Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto. Buku itu terbit kali pertama pada 1984. Salah satu buku penting tentang sejarah Bandung.
Pilihan Bandung menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu, karena dipengaruhi karena iklimnya yang lebih sejuk dari Batavia. Selain itu, pilihan Bandung juga dipengaruhi karena bentuk topografinya yang berbentuk cekungan dengan daratan yang luas di bagian tengah dan dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan.
Kondisi perang dunia saat itu lebih banyak menentukan lokasi pusat pemerintahan dari sisi strategi militer. Dengan adanya pegunungan dan perbukitan yang terjal sudah bisa dijadikan menjadi benteng alam untuk berlindung dari serangan musuh. Belum lagi lokasi Bandung yang jaraknya tidak begitu jauh dari Batavia.
Setelah mendapat persetujuan dari berbagai pihak, mulailah dibangun gedung-gedung yang dipersiapkan untuk pemerintahan dan kamp-kamp untuk pertahanan militer. Salah satunya pada 20 Juli 1920 dengan dilakukannya peletakan batu pertama Gedung Sate, salah satu gedung termegah di Hindia Belanda saat itu.
Selain pembangunan gedung-gedung. Pemerintah Kolonial Belanda juga mulai melakukan pemindahan kantor-kantor pusat pemerintahan lainnya. Seperti Jawatan Kereta Api Negara, Jawatan Geologi, Jawatan Metrologi, Departement van Geouvernements Bedrijven atau Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan.
Kunto juga mengisahkan dalam bukunya, setelah Gedung sate selesai dibangun, Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan adalah salah satu instansi pemerintah yang berkantor di Gedung Sate.
Bandung saat itu memang benar-benar dipersiapkan fasilitasnya untuk benar-benar menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Untuk strategi pertahanan militer juga sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Kunto juga menyebut pada 1918 Belanda memindahkan pabrik mesiu yang berada di Ngawi dan pabrik senjata di Surabaya ikut dipindahkan ke kawasan Cimahi, Bandung. Bahkan hampir setengah kekuatan militer dan komando militer untuk operasi tempur di pusatkan di Cimahi.
Sedangkan untuk pusat penerbangan mengambil lokasi di sebelah barat Kota bandung, yakni Kampung Andir atau sekarang dikenal dengan Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Peresmian penggunaan lapangan penerbangan Andir dimulai pada akhir Oktober 1925. Kunto juga mencatat, rute penerbangan Bandung yang mulanya memiliki rute dari Bandung ke Batavia dan Semarang. Selanjutnya merambah rute Bandung ke Surabaya, Palembang, Singapura, hingga Belanda.
Setelah semua fasilitas kebutuhan pusat pemerintahan dan militer Hindia Belanda di bandung yang selesai hingga 1940-an. Belum ada data dan arsip pasti akan kepindahan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, mungkin saja segala persiapan itu untuk memindahkan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung dengan segala fasilitas yang dibangun Belanda. "Namun yang pasti, di Cimahi adalah pusat pelatihan militer saat itu, para lulusannya adalah TB. Simatupang, Alex Kawilarang, Nasution, dan yang lainnya," kata Asvi kepada merdeka.com pada Jumat (25/1) malam.(mdk/hhw)
Banyak alasan dan pertimbangan kenapa pusat pemerintahan akan dipindahkan ke Bandung. Keputusan itu telah diambil Negeri Belanda setelah melalui berbagai penelitian dan kajian.
Salah satu yang memicu perpindahan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh HF Tillema, seorang penilik kesehatan lingkungan dan apoteker yang tinggal di Semarang. Dalam laporannya Tillema menyimpulkan kota-kota pelabuhan di pantai Jawa adalah kawasan yang tidak sehat.
Hal itu dipengaruhi oleh banyaknya rawa yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit. Selain itu, kota-kota pelabuhan di Pantai Jawa juga memiliki hawa yang panas dan lembab. Akibatnya penghuninya mudah berkeringat, susah bernapas, dan membuat badan cepat lelah.
Penelitian Tillema itu juga memuat Batavia juga memiliki kecenderungan itu, tanpa kecuali. Tillema menyebutkan Batavia saat itu sudah tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Maka tidak mengherankan dalam rekomendasinya, Tillema mengusulkan Bandung menjadi kota pilihan untuk menggantikan Batavia.
Itulah cuplikan kecil tentang Bandung dari buku kanon: Wajah Bandung Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto. Buku itu terbit kali pertama pada 1984. Salah satu buku penting tentang sejarah Bandung.
Pilihan Bandung menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu, karena dipengaruhi karena iklimnya yang lebih sejuk dari Batavia. Selain itu, pilihan Bandung juga dipengaruhi karena bentuk topografinya yang berbentuk cekungan dengan daratan yang luas di bagian tengah dan dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan.
Kondisi perang dunia saat itu lebih banyak menentukan lokasi pusat pemerintahan dari sisi strategi militer. Dengan adanya pegunungan dan perbukitan yang terjal sudah bisa dijadikan menjadi benteng alam untuk berlindung dari serangan musuh. Belum lagi lokasi Bandung yang jaraknya tidak begitu jauh dari Batavia.
Setelah mendapat persetujuan dari berbagai pihak, mulailah dibangun gedung-gedung yang dipersiapkan untuk pemerintahan dan kamp-kamp untuk pertahanan militer. Salah satunya pada 20 Juli 1920 dengan dilakukannya peletakan batu pertama Gedung Sate, salah satu gedung termegah di Hindia Belanda saat itu.
Selain pembangunan gedung-gedung. Pemerintah Kolonial Belanda juga mulai melakukan pemindahan kantor-kantor pusat pemerintahan lainnya. Seperti Jawatan Kereta Api Negara, Jawatan Geologi, Jawatan Metrologi, Departement van Geouvernements Bedrijven atau Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan.
Kunto juga mengisahkan dalam bukunya, setelah Gedung sate selesai dibangun, Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan adalah salah satu instansi pemerintah yang berkantor di Gedung Sate.
Bandung saat itu memang benar-benar dipersiapkan fasilitasnya untuk benar-benar menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Untuk strategi pertahanan militer juga sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Kunto juga menyebut pada 1918 Belanda memindahkan pabrik mesiu yang berada di Ngawi dan pabrik senjata di Surabaya ikut dipindahkan ke kawasan Cimahi, Bandung. Bahkan hampir setengah kekuatan militer dan komando militer untuk operasi tempur di pusatkan di Cimahi.
Sedangkan untuk pusat penerbangan mengambil lokasi di sebelah barat Kota bandung, yakni Kampung Andir atau sekarang dikenal dengan Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara. Peresmian penggunaan lapangan penerbangan Andir dimulai pada akhir Oktober 1925. Kunto juga mencatat, rute penerbangan Bandung yang mulanya memiliki rute dari Bandung ke Batavia dan Semarang. Selanjutnya merambah rute Bandung ke Surabaya, Palembang, Singapura, hingga Belanda.
Setelah semua fasilitas kebutuhan pusat pemerintahan dan militer Hindia Belanda di bandung yang selesai hingga 1940-an. Belum ada data dan arsip pasti akan kepindahan ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, mungkin saja segala persiapan itu untuk memindahkan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung dengan segala fasilitas yang dibangun Belanda. "Namun yang pasti, di Cimahi adalah pusat pelatihan militer saat itu, para lulusannya adalah TB. Simatupang, Alex Kawilarang, Nasution, dan yang lainnya," kata Asvi kepada merdeka.com pada Jumat (25/1) malam.(mdk/hhw)
Belajar pindah ibu kota dari Amerika
Peristiwa tenggelamnya sebagian wilayah Jakarta akibat banjir besar pekan lalu kembali memunculkan wacana pemindahan ibu kota di media massa. Dengan argumen masing-masing, sebagian kalangan ada yang mendukung, sebagian lagi ada yang menolak.
Belajar dari sejumlah negara lain yang pernah memindahkan ibu kota negara, Indonesia juga sudah sepatutnya mengkaji dan mempelajari sejarah pemindahan ibu kota.
Sesungguhnya perpindahan ibu kota negara itu merupakan hal yang lazim terjadi, sebagaimana Amerika Serikat pernah memindahkan ibu kota dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin dan Brasil dari Rio de Jeneiro ke Brasilia.
Ambil contoh misalnya Amerika. Di Amerika, Washington DC dikenal sebagai ibu kota negara sekaligus ibu kota pusat pemerintahan. Sedangkan pusat ekonomi bisnis terletak di Kota New York. Lalu Las Vegas menjadi kota pusat hiburan. Sementara Kawasan Hollywood di Los Angeles menjadi pusat industri perfilman.
Dari gambaran itu terlihat Amerika lebih menganut sistem tata kelola kota yang terdistribusi ketimbang Indonesia. Di negara kita, Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya menjadi pusat segalanya. Baik itu pemerintahan, bisnis, hiburan, maupun industri. Itulah yang menyebabkan tata kelola Jakarta menjadi lebih ruwet, penuh segala macam permasalahan sosial yang sulit diselesaikan.
Washington DC, atau DC begitu kota ini lebih sering disebut, merupakan kota yang dibuat dengan perencanaan matang dan terencana, dengan memperhatikan betul semangat kebangsaan dan kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan.
Simbol-simbol sejarah tersebar di setiap sudut kota. Semuanya menyimpan nilai sejarah sekaligus mengabadikan semangat yang telah ditanamkan oleh para pendiri negara.
Kota ini didesain dan dibangun menjadi ibu kota negara pada tahun 1800-an. Hingga kini Washington DC menjadi pusat pemerintahan. Sebelumnya New York berperan sebagai ibu kota Amerika pada 1785 hingga 1790.
Saat masa Revolusi Amerika, Kongres Amerika bertemu di delapan kota, termasuk Philadelphia, Baltimore, dan New York City. Mereka membahas ibu kota negara yang direncanakan terpisah dari negara federal dan membentuk distrik sendiri. Dan ini diamanatkan pada Konstitusi Amerika.
Pada 16 Juli 1790, Kongres Amerika menyetujui pembentukan distrik khusus untuk digunakan sebagai ibu kota nasional permanen sebagaimana yang diizinkan oleh Konstitusi. Distrik ini bukan bagian dari negara bagian Amerika mana pun dan secara langsung diawasi oleh pemerintah federal.
Distrik federal dibentuk di atas tanah sepanjang Sungai Potomac yang disumbangkan oleh negara bagian Maryland dan Virginia; namun, bagian Virginia dikembalikan kepada Kongres pada tahun 1846.
Sebuah ibu kota baru yang dinamai menurut nama George Washington didirikan pada tahun 1791 di sebelah timur pelabuhan Georgetown. Kota Washington, Georgetown, dan wilayah terluar di dalam Distrik dikonsolidasi dalam satu pemerintahan tunggal pada tahun 1871 yang membentuk Washington, D.C. seperti sekarang ini. Kota seluas 176,9 kilometer persegi ini kini dihuni sekitar 632 ribu penduduk.
Sementara New York awalnya didirikan sebagai pusat perdagangan oleh pendatang asal Belanda pada 1624. Kota itu awalnya dinamai New Amsterdam. Hingga kini kota seluas 1200 kilometer persegi itu tetap menjadi kota pusat bisnis dan perekonomian Amerika dengan 8,2 juta penduduk (2011) dan sekitar 18 ribu lebih jadwal penerbangan. Tingkat urbanisasi di kota ini hampir sama dengan Jakarta yaitu 250 ribu pendatang per tahun sehingga menjadikannya sebagai kota terpadat di Negeri Paman Sam.(mdk/did)
• Merdeka
Belajar dari sejumlah negara lain yang pernah memindahkan ibu kota negara, Indonesia juga sudah sepatutnya mengkaji dan mempelajari sejarah pemindahan ibu kota.
Sesungguhnya perpindahan ibu kota negara itu merupakan hal yang lazim terjadi, sebagaimana Amerika Serikat pernah memindahkan ibu kota dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin dan Brasil dari Rio de Jeneiro ke Brasilia.
Ambil contoh misalnya Amerika. Di Amerika, Washington DC dikenal sebagai ibu kota negara sekaligus ibu kota pusat pemerintahan. Sedangkan pusat ekonomi bisnis terletak di Kota New York. Lalu Las Vegas menjadi kota pusat hiburan. Sementara Kawasan Hollywood di Los Angeles menjadi pusat industri perfilman.
Dari gambaran itu terlihat Amerika lebih menganut sistem tata kelola kota yang terdistribusi ketimbang Indonesia. Di negara kita, Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya menjadi pusat segalanya. Baik itu pemerintahan, bisnis, hiburan, maupun industri. Itulah yang menyebabkan tata kelola Jakarta menjadi lebih ruwet, penuh segala macam permasalahan sosial yang sulit diselesaikan.
Washington DC, atau DC begitu kota ini lebih sering disebut, merupakan kota yang dibuat dengan perencanaan matang dan terencana, dengan memperhatikan betul semangat kebangsaan dan kemerdekaan dari penjajahan dan perbudakan.
Simbol-simbol sejarah tersebar di setiap sudut kota. Semuanya menyimpan nilai sejarah sekaligus mengabadikan semangat yang telah ditanamkan oleh para pendiri negara.
Kota ini didesain dan dibangun menjadi ibu kota negara pada tahun 1800-an. Hingga kini Washington DC menjadi pusat pemerintahan. Sebelumnya New York berperan sebagai ibu kota Amerika pada 1785 hingga 1790.
Saat masa Revolusi Amerika, Kongres Amerika bertemu di delapan kota, termasuk Philadelphia, Baltimore, dan New York City. Mereka membahas ibu kota negara yang direncanakan terpisah dari negara federal dan membentuk distrik sendiri. Dan ini diamanatkan pada Konstitusi Amerika.
Pada 16 Juli 1790, Kongres Amerika menyetujui pembentukan distrik khusus untuk digunakan sebagai ibu kota nasional permanen sebagaimana yang diizinkan oleh Konstitusi. Distrik ini bukan bagian dari negara bagian Amerika mana pun dan secara langsung diawasi oleh pemerintah federal.
Distrik federal dibentuk di atas tanah sepanjang Sungai Potomac yang disumbangkan oleh negara bagian Maryland dan Virginia; namun, bagian Virginia dikembalikan kepada Kongres pada tahun 1846.
Sebuah ibu kota baru yang dinamai menurut nama George Washington didirikan pada tahun 1791 di sebelah timur pelabuhan Georgetown. Kota Washington, Georgetown, dan wilayah terluar di dalam Distrik dikonsolidasi dalam satu pemerintahan tunggal pada tahun 1871 yang membentuk Washington, D.C. seperti sekarang ini. Kota seluas 176,9 kilometer persegi ini kini dihuni sekitar 632 ribu penduduk.
Sementara New York awalnya didirikan sebagai pusat perdagangan oleh pendatang asal Belanda pada 1624. Kota itu awalnya dinamai New Amsterdam. Hingga kini kota seluas 1200 kilometer persegi itu tetap menjadi kota pusat bisnis dan perekonomian Amerika dengan 8,2 juta penduduk (2011) dan sekitar 18 ribu lebih jadwal penerbangan. Tingkat urbanisasi di kota ini hampir sama dengan Jakarta yaitu 250 ribu pendatang per tahun sehingga menjadikannya sebagai kota terpadat di Negeri Paman Sam.(mdk/did)
• Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.