Hobi mengoleksi sepatu membuatnya mulai tertarik berbisnis.
Jakarta � Hobi mengoleksi sepatu membuat Tyas Ajeng Nastiti mulai tertarik untuk membuka bisnis. Ia pun mulai merancang dan mendesain model dengan konsep warna menarik.
"Ide awalnya aku suka sepatu, suka memakai berbagai macam bentuk. Namun, kadang aku suka melihat banyak sepatu merek asing di pasaran, setelah itu aku mulai berpikir untuk membuat produk sendiri," kata dia saat berbincang dengan VIVAnews di Jakarta, Rabu 16 Januari 2013.
Sebagai langkah awal, wanita yang kini berusia 22 tahun ini mulai memproduksi sendiri sepatunya. Bahan-bahan sepatunya bermacam-macam, mulai dari kain batik, kulit sintetis hingga kain tenun Indonesia.
Yang hebat, awalnya dia hanya bermodal Rp 8 juta. Uang itu digunakannya untuk membeli lem, sol, dan cetakan sepatu.
"Usaha ini sejak 2011. Modalku cuma Rp 8 juta, tapi sekarang kami sudah berhasil menjual hingga Singapura dan Malaysia," tutur Tyas, bangga.
Bicara kualitas, Tyas berani menjamin sepatunya mampu bertahan hingga satu tahun. Jika terjadi kerusakan, dia siap mengantinya dengan sepatu baru.
"Dari sisi kualitas, saya berani menjamin. Namun, karena 100 persen bahannya dari lokal, masih ada masalah pengeleman yang kurang bagus," dia mengakui.
Dia menjelaskan lem produk Indonesia masih tertinggal jauh dengan yang asing. Hal ini yang membedakan keawetan sepatu buatan lokal dan asing. Dalam proses pembuatan sepatu, dia mengeluhkan masih banyak kendala, terutama dari sisi model dan variasi warna.
"Kami terus berpikir bagaimana mencari desain yang unik. Kami selalu melakukan evaluasi agar pembeli merasa nyaman memakai produk sepatu yang kami beri label Sepatu Klastik ini," ujarnya.
Tyas juga merasakan susahnya membuat brand lokal asli Surabaya, Jawa Timur. Sebab, masyarakat terlanjur memiliki persepsi bahwa sepatu lokal yang paling bagus kualitasnya berasal dari Bandung.
"Saat ini, saya masih merasakan susahnya membangun brand dari Surabaya. Tapi justru sekarang 90 persen market-ku berasal dari Jawa Barat," tambahnya.
Dengan segala pahit getirnya membangun usaha, usaha Tyas mulai tumbuh sehat. Saat ini dia mengaku bisa memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp20 juta sebulan. "Profitnya mungkin sekitar Rp 10 juta, dan uang itu bisanya kami gunakan lagi untuk biaya pameran." (kd)
© VIVA.co.id
"Ide awalnya aku suka sepatu, suka memakai berbagai macam bentuk. Namun, kadang aku suka melihat banyak sepatu merek asing di pasaran, setelah itu aku mulai berpikir untuk membuat produk sendiri," kata dia saat berbincang dengan VIVAnews di Jakarta, Rabu 16 Januari 2013.
Sebagai langkah awal, wanita yang kini berusia 22 tahun ini mulai memproduksi sendiri sepatunya. Bahan-bahan sepatunya bermacam-macam, mulai dari kain batik, kulit sintetis hingga kain tenun Indonesia.
Yang hebat, awalnya dia hanya bermodal Rp 8 juta. Uang itu digunakannya untuk membeli lem, sol, dan cetakan sepatu.
"Usaha ini sejak 2011. Modalku cuma Rp 8 juta, tapi sekarang kami sudah berhasil menjual hingga Singapura dan Malaysia," tutur Tyas, bangga.
Bicara kualitas, Tyas berani menjamin sepatunya mampu bertahan hingga satu tahun. Jika terjadi kerusakan, dia siap mengantinya dengan sepatu baru.
"Dari sisi kualitas, saya berani menjamin. Namun, karena 100 persen bahannya dari lokal, masih ada masalah pengeleman yang kurang bagus," dia mengakui.
Dia menjelaskan lem produk Indonesia masih tertinggal jauh dengan yang asing. Hal ini yang membedakan keawetan sepatu buatan lokal dan asing. Dalam proses pembuatan sepatu, dia mengeluhkan masih banyak kendala, terutama dari sisi model dan variasi warna.
"Kami terus berpikir bagaimana mencari desain yang unik. Kami selalu melakukan evaluasi agar pembeli merasa nyaman memakai produk sepatu yang kami beri label Sepatu Klastik ini," ujarnya.
Tyas juga merasakan susahnya membuat brand lokal asli Surabaya, Jawa Timur. Sebab, masyarakat terlanjur memiliki persepsi bahwa sepatu lokal yang paling bagus kualitasnya berasal dari Bandung.
"Saat ini, saya masih merasakan susahnya membangun brand dari Surabaya. Tapi justru sekarang 90 persen market-ku berasal dari Jawa Barat," tambahnya.
Dengan segala pahit getirnya membangun usaha, usaha Tyas mulai tumbuh sehat. Saat ini dia mengaku bisa memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp20 juta sebulan. "Profitnya mungkin sekitar Rp 10 juta, dan uang itu bisanya kami gunakan lagi untuk biaya pameran." (kd)
© VIVA.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.