Konsep Wisata Dark Tourism Masih Kurang Dikenal
"Dark tourism is travel to sites of death, disaster, or the seemingly macabre"
Saat pertama kali mendengar kata Dark Tourism
respon yang didapat adalah kesulitan dalam menemukan arti kata yang pas
dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) untuk menerjemahkannya dalam
bahasa Indonesia dengan pas dan enak didengar.
Ada sejumlah pilihan kata yang bisa digunakan dalam mengartikan 'Dark Tourism' semisal "Wisata Gelap" atau "Wisata Hitam" jika melihat arti dari kedua kata bahasa Inggris tersebut.
Hal tersebut dialami sendiri oleh penulis saat akan menuliskan tema tentang wisata yang satu ini.
Sejumlah narasumber yang sempat dihubungi, ternyata baru pertama kali mendengar tentang konsep wisata ini.
Padahal, jika dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh narasumber tersebut, malah sangat berkaitan erat dengan konsep wisata Dark Tourism.
Untungnya, dari sejumlah narasumber yang berhasil dikontak oleh Beritasatu.com, masih ada yang 'paham' akan maksud dari wisata Dark Tourism ini.
"Sejatinya, Dark Tourism merupakan konsep wisata yang berkaitan dengan perjalanan wisata ke lokasi atau tempat yang berhubungan dengan peristiwa yang membawa tragedi atau kekejaman dan atau kematian," jelas Kartum Setiawan, Ketua Komunitas Jelajah Budaya yang sering menggelar acara-acara wisata yang mirip dengan kosep Dark Tourism.
Menurut Kartum, konsep Dark Tourism sendiri mungkin belum begitu akrab dalam ditelinga setiap orang. Apalagi, untuk mereka yang baru mengenal istilah atau terminologi tersebut.
"Maklum saja, konsep ini masih belum terlalu lama hadir dalam dunia pariwisata jika dibandingkan dengan konsep wisata lainnya, yang telah lebih dulu ada dan dikenal masyarakat" tambahnya.
Seperti dikutip dari laman BBC, kata Dark Tourism sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Malcolm Foley and John Lennon dalam buku yang mereka tulis "Dark Tourism: The Attraction of Death and Disaster".
Dalam buku tersebut, kedua penulis yang sekarang menjadi pembicara tenar di sejumlah tempat ini menggambarkan konsep wisata ini sebagai "Dark tourism is travel to sites of death, disaster, or the seemingly macabre".
Dalam sebuah tulisan yang dikutip dari laman The Independent, Profesor John Lennon, Direktur The Moffat Centre for Travel and Tourism Business Development di Glasgow, yang menciptakan istilah "Dark Tourism" meyakini bahwa kalangan wisatawan jenis ini suka membayangkan bagaimana mereka bisa bereaksi menghadapi bencana tersebut.
Sementara itu, menurut Dr Philip Stone, salah satu pendiri Lembaga Studi Dark Tourism di University of Central Lancashire, dalam tulisan yang ada di laman website resmi lembaga ini menyatakan, akan ada lebih banyak lagi keinginan masyarakat untuk mengetahui tentang apa yang terjadi dalam sebuah bencana tau kematian.
"Oleh karenanya, lembaga ini bertujuan menyediakan kerangka kerja dan tingkatan etis dalam melihat kemasan dan komodifikasi dari sebuah bencana atau kematian," katanya.
"Banyak orang mungkin bisa mengabaikan tindakan mengunjungi situs kematian dan bencana sebagai sesuatu yang mengerikan dan tidak memiliki manfaat. Kenyataannya, setiap tahunnya, wisatawan terus meningkat," tambahnya lagi.
Menurut kedua peneliti ini, konsep ini diyakin akan terus berkembang secara luas dan mulai mendapat perhatian secara global sejak munculnya berbagai diskusi, penelitian dan juga agen wisata yang menawarkan paket wisata semacam ini.
"Indonesia sendiri memiliki banyak rekam jejak yang terkait dengan konsep Dark Tourism. Ambil contoh misalnya soal Pembantaian Westerling, peristiwa Kapitan China di kawasan Glodok atau Bencana Tsunami," kata pria yang juga peneliti di Museum Bank Mandiri ini.
Menurut Alumnus jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini, semua peristiwa memiliki paduan unsur yang sangat menarik berupa human interest dengan kisah yang selalu tertanam dalam ingatan, kerusakan dan kematian yang sangat banyak, yang didalamnya juga terdapat unsur fakta.
"Semua peristiwa atau kejadian itu memiliki sisi lain cerita yang menarik. Namun harus diingat pula ada fakta yang harus disampaikan kepada wisatawan yang ikut serta agar mereka tetap mengetahui sejarah kejadian yang sesungguhnya," tambahnya lagi.
Ada sejumlah pilihan kata yang bisa digunakan dalam mengartikan 'Dark Tourism' semisal "Wisata Gelap" atau "Wisata Hitam" jika melihat arti dari kedua kata bahasa Inggris tersebut.
Hal tersebut dialami sendiri oleh penulis saat akan menuliskan tema tentang wisata yang satu ini.
Sejumlah narasumber yang sempat dihubungi, ternyata baru pertama kali mendengar tentang konsep wisata ini.
Padahal, jika dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh narasumber tersebut, malah sangat berkaitan erat dengan konsep wisata Dark Tourism.
Untungnya, dari sejumlah narasumber yang berhasil dikontak oleh Beritasatu.com, masih ada yang 'paham' akan maksud dari wisata Dark Tourism ini.
"Sejatinya, Dark Tourism merupakan konsep wisata yang berkaitan dengan perjalanan wisata ke lokasi atau tempat yang berhubungan dengan peristiwa yang membawa tragedi atau kekejaman dan atau kematian," jelas Kartum Setiawan, Ketua Komunitas Jelajah Budaya yang sering menggelar acara-acara wisata yang mirip dengan kosep Dark Tourism.
Menurut Kartum, konsep Dark Tourism sendiri mungkin belum begitu akrab dalam ditelinga setiap orang. Apalagi, untuk mereka yang baru mengenal istilah atau terminologi tersebut.
"Maklum saja, konsep ini masih belum terlalu lama hadir dalam dunia pariwisata jika dibandingkan dengan konsep wisata lainnya, yang telah lebih dulu ada dan dikenal masyarakat" tambahnya.
Seperti dikutip dari laman BBC, kata Dark Tourism sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Malcolm Foley and John Lennon dalam buku yang mereka tulis "Dark Tourism: The Attraction of Death and Disaster".
Dalam buku tersebut, kedua penulis yang sekarang menjadi pembicara tenar di sejumlah tempat ini menggambarkan konsep wisata ini sebagai "Dark tourism is travel to sites of death, disaster, or the seemingly macabre".
Dalam sebuah tulisan yang dikutip dari laman The Independent, Profesor John Lennon, Direktur The Moffat Centre for Travel and Tourism Business Development di Glasgow, yang menciptakan istilah "Dark Tourism" meyakini bahwa kalangan wisatawan jenis ini suka membayangkan bagaimana mereka bisa bereaksi menghadapi bencana tersebut.
Sementara itu, menurut Dr Philip Stone, salah satu pendiri Lembaga Studi Dark Tourism di University of Central Lancashire, dalam tulisan yang ada di laman website resmi lembaga ini menyatakan, akan ada lebih banyak lagi keinginan masyarakat untuk mengetahui tentang apa yang terjadi dalam sebuah bencana tau kematian.
"Oleh karenanya, lembaga ini bertujuan menyediakan kerangka kerja dan tingkatan etis dalam melihat kemasan dan komodifikasi dari sebuah bencana atau kematian," katanya.
"Banyak orang mungkin bisa mengabaikan tindakan mengunjungi situs kematian dan bencana sebagai sesuatu yang mengerikan dan tidak memiliki manfaat. Kenyataannya, setiap tahunnya, wisatawan terus meningkat," tambahnya lagi.
Menurut kedua peneliti ini, konsep ini diyakin akan terus berkembang secara luas dan mulai mendapat perhatian secara global sejak munculnya berbagai diskusi, penelitian dan juga agen wisata yang menawarkan paket wisata semacam ini.
"Indonesia sendiri memiliki banyak rekam jejak yang terkait dengan konsep Dark Tourism. Ambil contoh misalnya soal Pembantaian Westerling, peristiwa Kapitan China di kawasan Glodok atau Bencana Tsunami," kata pria yang juga peneliti di Museum Bank Mandiri ini.
Menurut Alumnus jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini, semua peristiwa memiliki paduan unsur yang sangat menarik berupa human interest dengan kisah yang selalu tertanam dalam ingatan, kerusakan dan kematian yang sangat banyak, yang didalamnya juga terdapat unsur fakta.
"Semua peristiwa atau kejadian itu memiliki sisi lain cerita yang menarik. Namun harus diingat pula ada fakta yang harus disampaikan kepada wisatawan yang ikut serta agar mereka tetap mengetahui sejarah kejadian yang sesungguhnya," tambahnya lagi.
Penulis: Feriawan Hidayat
Lokasi Wisata Dark Tourism Menyebar di Seluruh Dunia
Monumen 11 September berhasil menarik lebih dari 2 juta pengunjung sejak dibuka pada 11 September 2011.
Sekarang ini, bencana dan kematian telah menjadi salah satu tujuan wisatawan yang menjadi bagian dari budaya modern masyarakat global.
Turisme jenis ini, lebih mengejar pada pengalaman baru yang lebih menekankan intelektualisasi liburan pada studi dan pelajaran.
"Kebanyakan dari mereka menginginkan adanya penambahan pengetahuan yang didapat dari jenis wisata yang mereka ikuti," kata Kartum Setiawan, pendiri Komunitas Jelajah Budaya yang dihubungi Beritasatu.com beberapa waktu lalu.
Menurut Kartum, fenomena perkembangan Dark Tourism sangat dipengaruhi oleh unsur edukasi dari wisata itu sendiri serta peran media sebagai pemberi ide awal untuk wisatawan berniat mencobanya.
"Masyarakat sekarang ini merupakan masyarakat yang rasional, yang lebih membutuhkan jenis wisata yang bukan dibuat-buat," katanya menambahkan.
Di dunia terdapat banyak destinasi atau lokasi yang merupakan tempat kematian atau bencana, yang telah mengundang jutaan wisatawan datang menyaksikan.
Diantara situs Dark Tourism yang paling terkenal di dunia adalah lokasi pembantaian kalangan Yahudi di kamp konsentrasi Auswitch.
Tempat ini kabarnya menyedot sekitar 1,3 juta pengunjung setiap tahun dari seluruh penjuru dunia.
Selain Auswitch, lokasi runtuhnya Menara Kembar di kota New York yang sekarang dikenal wisatawan dengan nama Ground Zero, merupakan salah satu situs yang populer bagi wisatawan dari seluruh dunia.
Sekarang, monumen nasional 11 September merupakan salah satu atraksi New York City yang paling populer, dan berhasil menarik lebih dari 2 juta pengunjung sejak dibuka pada 11 September 2011.
Selain kedua lokasi diatas, masih banyak lokasi lain yang menjadi saksi dari tragedi dan kekejaman dari masa lalu yang masih menarik dikunjungi sampai sekarang. Sebut saja misalnya, ladang kuburan massal di Kamboja, Anne Frank's House, Arlington National Cemetery dan lain-lain.
"Selain sisi mendatangkan wisatawan, peran Dark Tourism juga penting untuk mendokumentasikan sejarah. Indonesia sendiri memiliki banyak rekam jejak yang terkait dengan konsep Dark Tourism. Ambil contoh misalnya soal Pembantaian Westerling, peristiwa Kapitan China di kawasan Glodok atau Bencana Tsunami di Aceh," kata pria yang juga peneliti di Museum Bank Mandiri ini.
Lebih lanjut Kartum mengatakan, bukanlah rahasia jika sampai sekarang masih banyak orang datang ke Aceh untuk melihat langsung sisa tsunami yang merenggut nyawa sekitar dua ratus ribu masyarakat Aceh itu.
Tak beda dengan Aceh, sekarang ini sebagian besar wisatawan yang datang ke Yogya tak akan melewatkan kunjungan ke lereng Merapi, untuk menyaksikan secara langsung akibat semburan lava gunung berapi teraktif di dunia itu.
Menurut alumnus jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini, semua peristiwa memiliki paduan unsur yang sangat menarik berupa human interest dengan kisah yang selalu tertanam dalam ingatan, kerusakan dan kematian yang sangat banyak, yang didalamnya juga terdapat unsur fakta.
Penulis: CNN/BBC/Independent/Feriawan Hidayat
Turisme jenis ini, lebih mengejar pada pengalaman baru yang lebih menekankan intelektualisasi liburan pada studi dan pelajaran.
"Kebanyakan dari mereka menginginkan adanya penambahan pengetahuan yang didapat dari jenis wisata yang mereka ikuti," kata Kartum Setiawan, pendiri Komunitas Jelajah Budaya yang dihubungi Beritasatu.com beberapa waktu lalu.
Menurut Kartum, fenomena perkembangan Dark Tourism sangat dipengaruhi oleh unsur edukasi dari wisata itu sendiri serta peran media sebagai pemberi ide awal untuk wisatawan berniat mencobanya.
"Masyarakat sekarang ini merupakan masyarakat yang rasional, yang lebih membutuhkan jenis wisata yang bukan dibuat-buat," katanya menambahkan.
Di dunia terdapat banyak destinasi atau lokasi yang merupakan tempat kematian atau bencana, yang telah mengundang jutaan wisatawan datang menyaksikan.
Diantara situs Dark Tourism yang paling terkenal di dunia adalah lokasi pembantaian kalangan Yahudi di kamp konsentrasi Auswitch.
Tempat ini kabarnya menyedot sekitar 1,3 juta pengunjung setiap tahun dari seluruh penjuru dunia.
Selain Auswitch, lokasi runtuhnya Menara Kembar di kota New York yang sekarang dikenal wisatawan dengan nama Ground Zero, merupakan salah satu situs yang populer bagi wisatawan dari seluruh dunia.
Sekarang, monumen nasional 11 September merupakan salah satu atraksi New York City yang paling populer, dan berhasil menarik lebih dari 2 juta pengunjung sejak dibuka pada 11 September 2011.
Selain kedua lokasi diatas, masih banyak lokasi lain yang menjadi saksi dari tragedi dan kekejaman dari masa lalu yang masih menarik dikunjungi sampai sekarang. Sebut saja misalnya, ladang kuburan massal di Kamboja, Anne Frank's House, Arlington National Cemetery dan lain-lain.
"Selain sisi mendatangkan wisatawan, peran Dark Tourism juga penting untuk mendokumentasikan sejarah. Indonesia sendiri memiliki banyak rekam jejak yang terkait dengan konsep Dark Tourism. Ambil contoh misalnya soal Pembantaian Westerling, peristiwa Kapitan China di kawasan Glodok atau Bencana Tsunami di Aceh," kata pria yang juga peneliti di Museum Bank Mandiri ini.
Lebih lanjut Kartum mengatakan, bukanlah rahasia jika sampai sekarang masih banyak orang datang ke Aceh untuk melihat langsung sisa tsunami yang merenggut nyawa sekitar dua ratus ribu masyarakat Aceh itu.
Tak beda dengan Aceh, sekarang ini sebagian besar wisatawan yang datang ke Yogya tak akan melewatkan kunjungan ke lereng Merapi, untuk menyaksikan secara langsung akibat semburan lava gunung berapi teraktif di dunia itu.
Menurut alumnus jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini, semua peristiwa memiliki paduan unsur yang sangat menarik berupa human interest dengan kisah yang selalu tertanam dalam ingatan, kerusakan dan kematian yang sangat banyak, yang didalamnya juga terdapat unsur fakta.
Penulis: CNN/BBC/Independent/Feriawan Hidayat
Wisata yang Menawarkan Sisi Lain Tragedi
Salah satu situs wisata dark tourism paling terkenal adalah bekas kamp konsentrasi Auswitch yang dikunjungi 1,3 juta pengunjung dari seluruh penjuru dunia.
Banyak orang ingin melihat atau merasakan sendiri sisi lain suatu bencana, tragedi ataupun kejadian mengerikan yang pernah dialami oleh orang lain pada masa lalu.
Tentunya ada beragam alasan, mengapa orang ingin mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan sejarah atau cerita kelam. Semua itu tentu didasari oleh rasa penasaran dan keingintahuan. Hal inilah yang nampaknya membuat orang tertarik untuk menikmati Dark Tourism.
Sesuai dengan definisinya, Dark Tourism merupakan konsep wisata yang berkaitan dengan perjalanan wisata ke lokasi atau tempat yang berhubungan dengan peristiwa yang membawa tragedi atau kekejaman dan atau kematian
Menurut Philip Stone, salah seorang pendiri The Institute of Dark Tourism Research di University of Central Lancashire, Inggris, dalam sebuah tulisan di The Independent menyatakan, secara potensial jenis wisata ini dapat memberikan pandangan kepada individu untuk membangun kedekatan emosional dengan peristiwa tragis yang berada dalam ingatan kolektif setiap orang.
"Daya tarik wisatawan terhadap kematian bukanlah hal baru. Selama ribuan tahun, banyak wisatawan yang mengunjungi Coloseum Romawi kuno. Sampai sekarang, masih ada saja orang yang membicarakan naasnya Titanic," tambahnya.
Menurut Stone, dengan melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang memiliki cerita itu, orang-orang mencari jawaban mengapa hal tersebut bisa terjadi.
The Institute of Dark Tourism Research sendiri merupakan pusat akademik pertama di dunia yang memperlajari jenis wisata ini. Seperti dikutip BBC, kalangan peneliti yang ada di tempat ini akan dengan mudah menjelaskan alasan mengapa orang-orang berkeinginan menghunjungi situs seperti Auschwitz ataupun Ground Zero.
"Kalangan wisatawan ingin mencari semacam makna dalam tempat-tempat penderitaan ini. Mereka juga mencoba untuk berempati dengan para korban dan membayangkan motivasi para pelaku. Mereka akan merasa lebih baik ketika telah meninggalkan tempat tersebut sambil membawa kesan bahwa hal itu tidak terjadi kepada mereka," kata Stone.
Pendapat Stone diamini oleh Kartum setiawan, Ketua Komunitas Jelajah Budaya yang sering menggelar acara-acara wisata yang 'mirip' dengan konsep Dark Tourism.
"Indonesia sendiri memiliki banyak rekam jejak yang terkait dengan konsep Dark Tourism. Ambil contoh misalnya soal Pembantaian Westerling, peristiwa Kapitan China di kawasan Glodok atau Bencana Tsunami," kata pria yang juga peneliti di Museum Bank Mandiri ini.
Menurut Kartum, kebutuhan masyarakat akan pengetahuan sejarah, budaya dan hal lainnya secara langsung dijawab oleh komunitas bentukannya itu lewat sejumlah sejumlah kegiatan seru dan mengasyikan.
"Kami ingin mengubah pola pikir masyarakat tentang cerita atau hal-hal yang berbau mistis dengan menawarkan jenis wisata lain yang memiliki sensasi sendiri," katanya menambahkan.
Menurut Alumnus jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini, semua peristiwa memiliki paduan unsur yang sangat menarik berupa human interest dengan kisah yang selalu tertanam dalam ingatan, kerusakan dan kematian yang sangat banyak, yang didalamnya juga terdapat unsur fakta.
"Semua peristiwa atau kejadian itu memiliki sisi lain cerita yang menarik. Namun harus diingat pula ada fakta yang harus disampaikan kepada wisatawan yang ikut serta agar mereka tetap mengetahui sejarah kejadian yang sesungguhnya," tambahnya lagi.
Sejak KJB berdiri sampai sekarang, peminat dan keanggotaannya terus meningkat. Kini, tambah Kartum, anggota KJB di dunia maya, terutama di jejaring sosial, menyentuh angka 3.600 orang.
"Kalau di Facebook, jumlahnya terus bertambah. Malah, nggak pernah turun," tutur Kartum. Sedangkan, anggota aktif KJB berjumlah lebih dari 50 orang.
Saban bulan, KJB selalu memiliki program. Bahkan, seringkali dalam satu bulan mereka menjalankan beberapa kegiatan kegiatan sekaligus.
"Seperti akhir bulan ini, kita punya program ke Ruamh Pengasingan Bung Karno di Rengas Dengklok yang sudah full sejak awal bulan Juni lalu," pungkas Kartum.
Penulis: Feriawan Hidayat
Tentunya ada beragam alasan, mengapa orang ingin mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan sejarah atau cerita kelam. Semua itu tentu didasari oleh rasa penasaran dan keingintahuan. Hal inilah yang nampaknya membuat orang tertarik untuk menikmati Dark Tourism.
Sesuai dengan definisinya, Dark Tourism merupakan konsep wisata yang berkaitan dengan perjalanan wisata ke lokasi atau tempat yang berhubungan dengan peristiwa yang membawa tragedi atau kekejaman dan atau kematian
Menurut Philip Stone, salah seorang pendiri The Institute of Dark Tourism Research di University of Central Lancashire, Inggris, dalam sebuah tulisan di The Independent menyatakan, secara potensial jenis wisata ini dapat memberikan pandangan kepada individu untuk membangun kedekatan emosional dengan peristiwa tragis yang berada dalam ingatan kolektif setiap orang.
"Daya tarik wisatawan terhadap kematian bukanlah hal baru. Selama ribuan tahun, banyak wisatawan yang mengunjungi Coloseum Romawi kuno. Sampai sekarang, masih ada saja orang yang membicarakan naasnya Titanic," tambahnya.
Menurut Stone, dengan melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang memiliki cerita itu, orang-orang mencari jawaban mengapa hal tersebut bisa terjadi.
The Institute of Dark Tourism Research sendiri merupakan pusat akademik pertama di dunia yang memperlajari jenis wisata ini. Seperti dikutip BBC, kalangan peneliti yang ada di tempat ini akan dengan mudah menjelaskan alasan mengapa orang-orang berkeinginan menghunjungi situs seperti Auschwitz ataupun Ground Zero.
"Kalangan wisatawan ingin mencari semacam makna dalam tempat-tempat penderitaan ini. Mereka juga mencoba untuk berempati dengan para korban dan membayangkan motivasi para pelaku. Mereka akan merasa lebih baik ketika telah meninggalkan tempat tersebut sambil membawa kesan bahwa hal itu tidak terjadi kepada mereka," kata Stone.
Pendapat Stone diamini oleh Kartum setiawan, Ketua Komunitas Jelajah Budaya yang sering menggelar acara-acara wisata yang 'mirip' dengan konsep Dark Tourism.
"Indonesia sendiri memiliki banyak rekam jejak yang terkait dengan konsep Dark Tourism. Ambil contoh misalnya soal Pembantaian Westerling, peristiwa Kapitan China di kawasan Glodok atau Bencana Tsunami," kata pria yang juga peneliti di Museum Bank Mandiri ini.
Menurut Kartum, kebutuhan masyarakat akan pengetahuan sejarah, budaya dan hal lainnya secara langsung dijawab oleh komunitas bentukannya itu lewat sejumlah sejumlah kegiatan seru dan mengasyikan.
"Kami ingin mengubah pola pikir masyarakat tentang cerita atau hal-hal yang berbau mistis dengan menawarkan jenis wisata lain yang memiliki sensasi sendiri," katanya menambahkan.
Menurut Alumnus jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini, semua peristiwa memiliki paduan unsur yang sangat menarik berupa human interest dengan kisah yang selalu tertanam dalam ingatan, kerusakan dan kematian yang sangat banyak, yang didalamnya juga terdapat unsur fakta.
"Semua peristiwa atau kejadian itu memiliki sisi lain cerita yang menarik. Namun harus diingat pula ada fakta yang harus disampaikan kepada wisatawan yang ikut serta agar mereka tetap mengetahui sejarah kejadian yang sesungguhnya," tambahnya lagi.
Sejak KJB berdiri sampai sekarang, peminat dan keanggotaannya terus meningkat. Kini, tambah Kartum, anggota KJB di dunia maya, terutama di jejaring sosial, menyentuh angka 3.600 orang.
"Kalau di Facebook, jumlahnya terus bertambah. Malah, nggak pernah turun," tutur Kartum. Sedangkan, anggota aktif KJB berjumlah lebih dari 50 orang.
Saban bulan, KJB selalu memiliki program. Bahkan, seringkali dalam satu bulan mereka menjalankan beberapa kegiatan kegiatan sekaligus.
"Seperti akhir bulan ini, kita punya program ke Ruamh Pengasingan Bung Karno di Rengas Dengklok yang sudah full sejak awal bulan Juni lalu," pungkas Kartum.
Penulis: Feriawan Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.