KRI Tombak 629 @Darwin [kemlu/GM] ♆
Mantan Kasal era Presiden Megawati Soekarnoputri, Laksamana (Purn) Bernard Kent Shondakh menuturkan usaha-usaha di bidang maritim masih memiliki risiko yang tinggi. Hal ini yang menurutnya kita sulit membangun kemaritiman Indonesia, apalagi dalam upaya mencapai poros maritim dunia.
“Usaha-usaha di bidang kemaritiman cukup memiliiki risiko yang tinggi. Misalnya pada perusahaan galangan kapal, di mana dalam setahun hanya mampu memproduksi beberapa kapal (tergantung pada ukurannya-red), sementara bunga pinjaman di Bank terbilang cukup tinggi,” ujarnya kepada Jurnal Maritim saat ditemui di rumahnya di komplek TNI AL Kodamar, Kelapa Gading, Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurutnya, hal itu yang membuat pembangunan maritim Indonesia, salah satunya galangan kapal sulit berkembang. “Waktu saya menjadi Komisaris Utama PT PAL Indonesia pada tahun 2005 lalu, bunga bank untuk galangan kapal itu senilai 17%, kalau sekarang sudah 13%, cuma tetap saja itu masih besar. Sementara di China bunganya hanya 3-3,5%. Bagaimana industri jasa maritimnya tidak maju dan pengusaha perkapalan pun memperoleh banyak keuntungan,” tegas Kent biasa akrab disapa.
Sedangkan di Indonesia, pria kelahiran Tobelo, Maluku itu menyebutkan keuntungan dari usaha galangan kapal hanya habis untuk membayar cicilan utang. Sambungnya, bunga pinjaman untuk galangan kapal dengan restoran atau property sama besarnya. Tentunya hal itu turut memicu matinya industri jasa maritim kita karena keuntungan dalam Injasmar tidak bisa cepat dalam kurun waktu 1-2 tahun, melainkan di atas 4 tahun.
Dari kejadian itu, Kent menuturkan banyak perusahaan galangan kapal merugi dan tidak mampu memproduksi kapal sesuai kebutuhan. Meskipun tidak disebutkan berapa data pastinya perusahaan galangan kapal yang merugi, namun Kent yakin fenomena itu kerap terjadi di Indonesia.
Dari kondisi itu maka jangan heran jika banyak pelaku pelayaran yang akhirnya menggunakan kapal sewaan dari luar negeri. Mengingat tingginya kebutuhan kapal dalam dunia pelayaran Indonesia, sementara galangan kapal kita tidak memenuhi permintaan tersebut. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan regulasi yang mendukung usaha kemaritiman.
“Kalau perlu ada bank khusus atau lembaga keuangan khusus maritim yang nantinya mampu memberikan pinjaman dengan bunga yang rendah kepada para pelaku industri jasa maritim,” cetusnya.
Itu baru dalam dunia pelayaran dan produksi kapal, dalam dunia perikanan, suami dari Heny Utami itu mengungkapkan hampir setiap hari BMKG memberi peringatan tentang buruknya cuaca di laut, seperti gelombang tinggi dan angin puting beliung. “Kamu lihat sendiri kan gimana kondisi kapal-kapal nelayan kita, hampir setiap hari selalu ada korban dari nelayan kita terkena badai,” tandasnya.
Dalam kondisi itu, perusahaan Asuransi Jiwa pun enggan meng-cover profesi nelayan karena dianggap memiliki risiko yang tinggi. Kalau pun di-cover itu dengan biaya premi yang tinggi. “Lho kemudian bagaimana mereka mau bayar, orang buat kebutuhan sehari-hari saja sulit,” katanya dengan nada tinggi.
Kent menambahkan saat ini tengah terjadi ancaman nyata yaitu adanya cuaca ekstrem. “Kalau dulu belum dikenal itu yang namanya puting beliung, itu sebenarnya sama dengan siklon yaitu angin yang berputar karena adanya tekanan dari belahan bumi yang berbeda dan berlawanan arah jarum jam,” jelasnya.
Hal itu tak dapat dipungkiri karena posisi bumi pun saat ini sudah bergeser beberapa derajat sehingga banyak menyebabkan perubahan-perubahan pada alam beserta gejalanya. Oleh karena itu satu-satunya cara untuk mengatasi fenomena itu ialah dengan menyiapkan teknologi, misalnya kapal yang digunakan oleh nelayan. Jadi tidak ada lagi nelayan yang enggan melaut karena ombak besar dan cuaca buruk. “Saat ini coba lihat daftar di setiap syahbandar di seluruh Indonesia, berapa banyak larangan melaut yang dikeluarkan karena cuaca buruk, begitu juga BMKG. Tentunya ini akan mengurangi penghasilan nelayan dan akhirnya banyak juga yang beralih ke profesi lain,” keluhnya.
Praktis, kondisi itu membuat orang atau generasi ke depan tidak mau menjadi nelayan. Sudah pasti kondisi demikian sangat berbahaya bila saat ini Indonesia tengah bergaung menjadi poros maritim dunia. Melihat gejala tersebut, lulusan AAL tahun 1970 ini menyayangkan political will dari pemerintah untuk membangun kemaritiman lantaran tidak didukung oleh regulasi yang kuat, serta pembangunan teknologi untuk menghadapi ancaman tersebut.
Hal tersebut erat kemudian kaitannya dengan kultur para jajaran dari pemerintahan yang dianggapnya masih jauh dari kultur maritim. Akhirnya di dapat suatu solusi konkret untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dengan meluruskan atau menyempurnakan regulasi-regulasi yang justru menghambat pembangunan maritim, seperti penyediaan lembaga keuangan khusus maritim atau asuransi yang mampu meng-cover aktivitas maritim di Indonesia.
“Semua orang juga tahu kalau di laut itu banyak uang di situ dan menjadi sumber kesejahteraan kita, tetapi apa yang telah kita lakukan untuk mengelola itu. Pekerjaan di laut saja masih sangat langka, jadi menurut saya orang-orang itu hanya bisa ngomong saja tapi harus buktikan dan realisasikan,” pungkasnya.
Menurut data yang dipaparkan oleh Kasal Laksamana TNI Ade Supandi saat kuliah umum di Fakultas Ilmu Budaya UI beberapa waktu lalu, jumlah profesi yang berkaitan dengan maritim di Indonesia hanya mencapai 1 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sejumlah 2.033. 667 jiwa. Namun, jumlah tersebut dikabarkan terus menurun seiring tingginya risiko yang dihadapi oleh para pelaku-pelaku usaha maritim Indonesia. Jika demikian dapat dipastikan pencapaian Indonesia menjadi negara maritim masih jauh panggang daripada api.
Mantan Kasal era Presiden Megawati Soekarnoputri, Laksamana (Purn) Bernard Kent Shondakh menuturkan usaha-usaha di bidang maritim masih memiliki risiko yang tinggi. Hal ini yang menurutnya kita sulit membangun kemaritiman Indonesia, apalagi dalam upaya mencapai poros maritim dunia.
“Usaha-usaha di bidang kemaritiman cukup memiliiki risiko yang tinggi. Misalnya pada perusahaan galangan kapal, di mana dalam setahun hanya mampu memproduksi beberapa kapal (tergantung pada ukurannya-red), sementara bunga pinjaman di Bank terbilang cukup tinggi,” ujarnya kepada Jurnal Maritim saat ditemui di rumahnya di komplek TNI AL Kodamar, Kelapa Gading, Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurutnya, hal itu yang membuat pembangunan maritim Indonesia, salah satunya galangan kapal sulit berkembang. “Waktu saya menjadi Komisaris Utama PT PAL Indonesia pada tahun 2005 lalu, bunga bank untuk galangan kapal itu senilai 17%, kalau sekarang sudah 13%, cuma tetap saja itu masih besar. Sementara di China bunganya hanya 3-3,5%. Bagaimana industri jasa maritimnya tidak maju dan pengusaha perkapalan pun memperoleh banyak keuntungan,” tegas Kent biasa akrab disapa.
Sedangkan di Indonesia, pria kelahiran Tobelo, Maluku itu menyebutkan keuntungan dari usaha galangan kapal hanya habis untuk membayar cicilan utang. Sambungnya, bunga pinjaman untuk galangan kapal dengan restoran atau property sama besarnya. Tentunya hal itu turut memicu matinya industri jasa maritim kita karena keuntungan dalam Injasmar tidak bisa cepat dalam kurun waktu 1-2 tahun, melainkan di atas 4 tahun.
Dari kejadian itu, Kent menuturkan banyak perusahaan galangan kapal merugi dan tidak mampu memproduksi kapal sesuai kebutuhan. Meskipun tidak disebutkan berapa data pastinya perusahaan galangan kapal yang merugi, namun Kent yakin fenomena itu kerap terjadi di Indonesia.
Dari kondisi itu maka jangan heran jika banyak pelaku pelayaran yang akhirnya menggunakan kapal sewaan dari luar negeri. Mengingat tingginya kebutuhan kapal dalam dunia pelayaran Indonesia, sementara galangan kapal kita tidak memenuhi permintaan tersebut. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan regulasi yang mendukung usaha kemaritiman.
“Kalau perlu ada bank khusus atau lembaga keuangan khusus maritim yang nantinya mampu memberikan pinjaman dengan bunga yang rendah kepada para pelaku industri jasa maritim,” cetusnya.
Itu baru dalam dunia pelayaran dan produksi kapal, dalam dunia perikanan, suami dari Heny Utami itu mengungkapkan hampir setiap hari BMKG memberi peringatan tentang buruknya cuaca di laut, seperti gelombang tinggi dan angin puting beliung. “Kamu lihat sendiri kan gimana kondisi kapal-kapal nelayan kita, hampir setiap hari selalu ada korban dari nelayan kita terkena badai,” tandasnya.
Dalam kondisi itu, perusahaan Asuransi Jiwa pun enggan meng-cover profesi nelayan karena dianggap memiliki risiko yang tinggi. Kalau pun di-cover itu dengan biaya premi yang tinggi. “Lho kemudian bagaimana mereka mau bayar, orang buat kebutuhan sehari-hari saja sulit,” katanya dengan nada tinggi.
Kent menambahkan saat ini tengah terjadi ancaman nyata yaitu adanya cuaca ekstrem. “Kalau dulu belum dikenal itu yang namanya puting beliung, itu sebenarnya sama dengan siklon yaitu angin yang berputar karena adanya tekanan dari belahan bumi yang berbeda dan berlawanan arah jarum jam,” jelasnya.
Hal itu tak dapat dipungkiri karena posisi bumi pun saat ini sudah bergeser beberapa derajat sehingga banyak menyebabkan perubahan-perubahan pada alam beserta gejalanya. Oleh karena itu satu-satunya cara untuk mengatasi fenomena itu ialah dengan menyiapkan teknologi, misalnya kapal yang digunakan oleh nelayan. Jadi tidak ada lagi nelayan yang enggan melaut karena ombak besar dan cuaca buruk. “Saat ini coba lihat daftar di setiap syahbandar di seluruh Indonesia, berapa banyak larangan melaut yang dikeluarkan karena cuaca buruk, begitu juga BMKG. Tentunya ini akan mengurangi penghasilan nelayan dan akhirnya banyak juga yang beralih ke profesi lain,” keluhnya.
Praktis, kondisi itu membuat orang atau generasi ke depan tidak mau menjadi nelayan. Sudah pasti kondisi demikian sangat berbahaya bila saat ini Indonesia tengah bergaung menjadi poros maritim dunia. Melihat gejala tersebut, lulusan AAL tahun 1970 ini menyayangkan political will dari pemerintah untuk membangun kemaritiman lantaran tidak didukung oleh regulasi yang kuat, serta pembangunan teknologi untuk menghadapi ancaman tersebut.
Hal tersebut erat kemudian kaitannya dengan kultur para jajaran dari pemerintahan yang dianggapnya masih jauh dari kultur maritim. Akhirnya di dapat suatu solusi konkret untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dengan meluruskan atau menyempurnakan regulasi-regulasi yang justru menghambat pembangunan maritim, seperti penyediaan lembaga keuangan khusus maritim atau asuransi yang mampu meng-cover aktivitas maritim di Indonesia.
“Semua orang juga tahu kalau di laut itu banyak uang di situ dan menjadi sumber kesejahteraan kita, tetapi apa yang telah kita lakukan untuk mengelola itu. Pekerjaan di laut saja masih sangat langka, jadi menurut saya orang-orang itu hanya bisa ngomong saja tapi harus buktikan dan realisasikan,” pungkasnya.
Menurut data yang dipaparkan oleh Kasal Laksamana TNI Ade Supandi saat kuliah umum di Fakultas Ilmu Budaya UI beberapa waktu lalu, jumlah profesi yang berkaitan dengan maritim di Indonesia hanya mencapai 1 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sejumlah 2.033. 667 jiwa. Namun, jumlah tersebut dikabarkan terus menurun seiring tingginya risiko yang dihadapi oleh para pelaku-pelaku usaha maritim Indonesia. Jika demikian dapat dipastikan pencapaian Indonesia menjadi negara maritim masih jauh panggang daripada api.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.