INILAH.COM, Jakarta – Dunia telematika dikejutkan 'kekecewaan' Kemenkominfo kepada pembuat BlackBerry (BB), Research In Motion (RIM). Hal ini seolah menguatkan betapa lemahnya lembaga itu.
"Ungkapan semacam ini sebaiknya tidak muncul dari sebuah kementerian,” ungkap pengamat telematika Abimanyu Wachjoewidajat pada INILAH.COM, kemarin. Pernyataan ‘kecewa’ tersebut seolah menunjukkan, keadaan Kemenkominfo yang memprihatinkan. Benarkah begitu adanya, ataukah ada sesuatu antara Kemenkominfo dan RIM?
Sebelumnya, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S Dewa Broto menyatakan kekecewaan terhadap RIM dalam mengembangkan pembangunan jaringannya di Indonesia. “Kami secara umum sangat kecewa, progress mereka lamban,” kata Gatot S Dewa Broto, baru-baru ini.
Dalam kesepakatan awal tahun ini, RIM berkomitmen dalam filter konten pornografi, koordinasi penyadapan BB, memperluas jaringan pembangunan layanan purna jual, dan membangun network aggregator. Mengenai filter pornografi sudah dilaksanakan sementara tiga lainnya masih berjalan.
Pada pertemuan 17 Januari 2011 lalu, RIM menjanjikan empat hal pada pemerintah. Termasuk, memenuhi tuntutan pemerintah menyediakan pusat layanan purna jual dan kini telah memiliki lebih dari 40 Authorized Customer Care Center (ACCC).
Selain itu, memfasilitasi akses lawful interception (penyadapan) bagi penegak hukum Indonesia, membangun Regional Network Aggregator di lokasi yang belum disebutkan dan melakukan blokir akses konten internet negatif.
Keempat hal tersebut sendiri sebenarnya bukan tuntutan baru karena sudah diajukan sejak 2010.Pada saat itu, RIM ‘hanya menjanjikan’ empat hal tersebut dan tak disebut batasan waktu dan target memenuhi kewajiban tersebut.
“Artinya, kesepakatan Kemenkominfo dan RIM merupakan perjanjian yang sangat longgar. Sehingga, jika ‘niat’ RIM baru akan dipenuhi pada 2015 sekalipun, Kemenkominfo tak bisa melakukan tindakan. Apakah Kemenkominfo sedemikian ‘kecolongan’ atau turut berperan membuat kelonggaran tersebut?,” papar Abimanyu yang akrab disapa Abah itu baru-baru ini.
Kejanggalan makin tampak ketika segalanya seolah diserahkan pada kemampuan RIM, bukan menjadikannya sebagai ultimatum pemerintah, lanjutnya. “Selaku pebisnis, setiap penundaan itu menguntungkan, perjanjian pasti akan ditunda pelaksanaannya karena tak memiliki implikasi hukum pada perusahaan,” ungkapnya lagi.
Nyatanya, dari keempat komitmen tersebut, hanya penyediaan layanan purna jual dan blokir akses konten internet negatif saja yang dipenuhi RIM. Secara bisnis, efek pelaksanaannya tak berimbas langsung pada biaya yang terlalu besar dan pemasukan RIM.
Berbeda dengan memfasilitasi akses lawful interception (penyadapan) bagi penegak hukum dan membangun Regional Network Aggregator yang memang akan berpengaruh langsung. Untuk komitmen menyediakan layanan purna jual, RIM cukup menggandeng operator lokal.
“Sejauh operator lokal mau bertindak sebagai ACCC, maka pemerintah tak lagi bisa memaksa RIM mengelola ACCC sendiri,” ujarnya. Sedangkan untuk komitmen memfasilitasi akses lawful interception (penyadapan) dan membangun Regional Network Aggregator RIM dipastikan memerlukan banyak dana untuk tempat, perangkat, personil, dan lainnya.
Termasuk, capital expense dan operational expense. “Efeknya, BB tak lagi diandalkan pengguna yang mengharapkan komunikasi aman dari tangan hukum. Demikian, BB akan banyak ditinggal penggunanya dan disinilah letak keberatan RIM, terlebih RIM sudah sangat menghargai ‘kebebasan berekspresi,” paparnya.
Penerapan Lawful Interception jelas dianggap melanggar ketentuan perusahaan Kanada itu namun tak akan menjadi masalah jika pusat data BBM dipasang di Indonesia, lanjutnya. Menurut pemberitaan, dukungan Lawful Interception bukan untuk kepolisian melainkan KPK. Artinya, dukungan itu terbatas pada kasus korupsi dan bukan masalah lain yang lebih besar seperti upaya makar, penipuan, kolusi, terorisme dan lainnya.
Bisnis RIM di Indonesia sendiri sangat menggiurkan. Misalnya, pemasukan RIM dengan hitungan kasar biaya bulanan rata-rata Rp75 ribu (BIS dan BBM) dan pelanggan mencapai tiga juta kemudian dipotong BHP (Biaya Hak Penyelenggaraan), profit share operator, dan lainnya,
Sisa yang diperoleh bisa mencapai 50% atau sebesar Rp112,5 miliar untuk RIM per bulannya. “Jika pemasukan dikelola RIM Indonesia, maka pemasukan bagi pemerintah akan lebih banyak,” katanya.
Mengapa Kemenkominfo amat lemah menghadapi RIM? Seperti diketahui, tak ada kendala bagi Kemenkominfo memberi tindakan atau sanksi karena RIM terkesan lamban, bahkan seperti mengabaikan permintaan Kemenkominfo.
“Melihat pemasukan RIM yang begitu besar, kemungkinan ada ‘orang besar’ yang berkepentingan pada ‘pemasukan rutin’ RIM. Jika benar, orang inilah yang membuat Kemenkominfo tak berdaya,” tutupnya. [mdr]
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.