Sejumlah
penerbang turun dari pesawat tempur T-50i Golden Eagle setelah
melakukan demontrasi akrobatik di Lanud Halim P.K. Pesawat tempur ini
dilengkapi Radar Warning Receivers (RWR) sehingga mampu mendeteksi
keberadaan musuh dari segala arah
Jakarta ☆ Dalam menjaga kedaulatan Indonesia, kebutuhan alat
utama sistem persenjataan (alutsista) sangat dibutuhkan dan penting.
Pemerintah Indonesia saat ini mulai gencar membangun alutsista dalam
negeri, salah satunya program pengembangan pesawat tempur KFX/IFX
bersama Korea Selatan.
Ternyata, selain program KFX/IFX, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) juga sudah melakukan penelitian pesawat tempur
supersonik yang disebut Lapan Fighter Experiment (LFX). Peneliti Utama
LFX, Sulistyo Atmadi mengatakan, penelitiannya melalui program riset
Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) Kemenristek ini
untuk mendukung kemandirian pesawat tempur maupun project KFX/IFX.
"Dulunya kita kan diundang Kemenhan membicarakan tentang program
KFX/IFX. Tapi kan kita belum terlibat (dalam program KFX/IFX) waktu itu
karena Pustekbang Lapan itu baru terbentuk 2011. Kemudian kita
mengajukan riset itu melalui PKPP Program peningkatan pendidikan
perekayasa lalu kita melakukan riset semacam konfigurasi awal untuk
pesawat tempur," ucap Sulistyo saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta
Senin 21 April 2014.
LFX sendiri memiliki konsep sebagai pesawat latih-lanjut generasi ke 5,
dan dengan kemampuan multi-misi dan dirancang agar bisa sesuai dengan
kondisi geografis Indonesia. Sulistyo menambahkan, meski dengan anggaran
yang sedikit, ia bersama beberapa teman sesama penelitinya sudah
berhasil membuat konsep LFX kecepatan supersonik.
"PKPP itu cuma Rp 250 juta, itu untuk penelitian 5 peneliti untuk satu
tahun. Rp 250 juta itu untuk honor penelitinya, pembuatan modelnya, dan
sebagainya. Itu dikelola Kemenristek, setiap PKPP itu dijatah Rp 50 juta
untuk setiap peneliti. Tapi kita sudah di tahap conceptual design, kita
sudah merancang bentuk luarnya dan kita uji dengan terowongan angin dan
simulasi CFD," imbuhnya.
Project LFX sudah dilakukan sejak tahun 2012, namun sayangnya program
ini tidak berlanjut karena masalah anggaran. Selain itu, hampir seluruh
tim Pustekbang Lapan sedang mengembangkan pesawat sipil N-219 bersama PT
Dirgantara Indonesia.
"Cuma tahun 2012 saja, sebetulnya tahun 2013 ada penelitian intern untuk
membuat model terbangnya, tapi ternyata dananya nggak ada. Selain itu
tahun ini PKPP tahun ini sudah tidak ada lagi. Tahun ini sudah tidak ada
lagi penelitiannya (LFX), karena hampir semua SDM terlibat di N-219
karena itu kan butuh banyak tenaga dan ini (LFX) juga belum prioritas,"
urai Sulistyo.
Untuk kelanjutan Program LFX, pria yang telah puluhan tahun
berpengalaman di teknologi penerbangan ini menyerahkan sepenuhnya kepada
Pemerintah. Karena ini merupakan program jangka panjang yang
membutuhkan anggaran dan penelitian yang lama.
"Tergantung pimpinan nasional kita, bagaimana? Apakah mau meneruskan IFX
kalau KFX-nya nggak jadi. Tapi waktu kita mendisain itu ada narasumber
dari dokter ITB yang juga terlibat dalam program bersama Korea dan juga
Pak Agung Nugroho, beliau juga terlibat dalam KFX. Jadi sebetulnya
walaupun konsepnya beda, tapi hampir miriplah dengan program IFX gitu,"
tambahnya.
Jika diteruskan, ia berharap pemerintah membantu transfer of technology
dengan negara lain agar program LFX bisa berjalan dengan cepat. Selain
itu, perlu dibangun konsorsium pesawat tempur nasional.
"Pesawatnya nggak terlalu masalah, tapi instrumentasinya kalau kita mau
membuat kelas generasi 5 itu sudah siluman. Kalau siluman itu Korea saja
teknologinya belum dikasih sama Amerika. Jadi diberi saja tapi ilmunya
tidak dikasih. Tapi kita tetap berusaha, karena kan pesawat terbang itu
kan tidak hanya dalam jangka waktu 1-5 tahun. Tapi sampai jangka 15
tahun. Siapa tahu pada saat kita harus membuat, entah itu ada
pengetahuan atau sudah ada negara lain yang mampu bekerjasama dengan
kita," katanya.
"Kalau untuk sampai tingkat prototipe, tentu diperlukan konsorsium,
karena Lapan tidak mampu sendiri. Seperti PT DI untuk industrinya, lalu
BPPT karena mereka punya laboratorium, ITB dan sebagainnya. Kalau kita
tugasnya sebagai perisetnya aja," jelas dia.
Sementara, dihubungi terpisah, juru bicara Komite Kebijakan Industri
Pertahanan (KKIP) Silmi Karim menilai program LFX ini bisa dimaksimalkan
agar membantu kemandirian dalam negeri. Ia berharap tim peneliti LFX
bisa membantu program KFX/IFX, agar kemandirian pesawat tempur dalam
negeri bisa segera terlaksana.
"Kita harus melakukan satu sinergi, baik itu penelitian atau
pengembangan riset dan teknologi. Sehingga energinya itu bisa
dimaksimalkan di satu tujuan. Kalau Kemenhan punya kebijakan KFX/IFX
dengan Korea, terus kemudian ada Lapan dengan LFX. Nah ini kan ada 2
Energi, yang kalau dimaksimalkan lebih bagus. Intinya kita perlu
memaksimalkan potensi bangsa," ungkap Silmi. (Tanti Yulianingsih)
Purnarupa P8 Light Tank SSE
-
*D*ari website X Robe_1807 diposkan purnarupa kendaraan militer terbaru
produksi perusahaan swasta PT SSE (Sentra Surya Ekajaya) di Tangerang,
Banten.
R...
3 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.