🛩Prototipe N219A PTDI (LAPAN)
Potensi penerbangan amfibi masih belum dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia. Meskipun memiliki keuntungan intrinsik sebagai negara maritim, fokus pembangunan negara ini sebagian besar tertuju pada infrastruktur darat, mengesampingkan peran penting pesawat amfibi dalam meningkatkan konektivitas di antara pulau-pulau yang tersebar di kawasan nusantara.
Perbedaan ini sangat mencolok mengingat manfaat besar yang bisa diperoleh dari integrasi penerbangan amfibi ke dalam kerangka transportasi negara, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan kurang berkembang di mana infrastruktur tradisional kurang memadai.
Perjalanan proyek N219 oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yang juga membuahkan rencana untuk mengembangkannya menjadi versi N219A (A untuk Amfibi), tampaknya menjanjikan kemajuan signifikan dalam adopsi dan penyebaran luas pesawat amfibi dan seaplane ini. Namun, meskipun sudah berlangsung selama beberapa tahun, penerbangan perdana N219A yang dijanjikan masih belum terwujud juga.
Koresponden GBP, Yulian Ardiansyah, baru-baru ini duduk bersama Putri Ramadhani, Wakil Presiden Pemasaran di PTDI, untuk menggali alasan di balik keterlambatan tersebut dan menjelajahi potensi perubahan positif di masa mendatang.
Mengenai pengembangan N219A, mengapa memakan waktu begitu lama?
Pengembangannya telah berlangsung sejak N219, yang memperoleh sertifikasi pada tahun 2020 dan kemudian dilanjutkan dengan versi amfibi yang didanai oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Namun, setelah perubahan di mana LAPAN digabungkan ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), pendanaannya dihentikan pada tahun 2021.
Apa yang terjadi setelah itu?
Selama acara G20 pada tahun 2022, Bappenas menyambut baik niat PTDI untuk melanjutkan proyek N219A. Urgensi memang dirasakan oleh pemerintah, yang menyebabkan keputusan untuk melanjutkan proyek dengan pendanaan dari Bappenas.
Kontrak pengembangan akan ditandatangani tahun ini dengan penerbangan perdana dijadwalkan pada Agustus 2024. Ini akan diikuti dengan memperoleh sertifikasi nasional pada tahun 2025, dengan proyeksi masuk pasar pada tahun 2026.
Jadi, pada dasarnya, tantangan utama yang dihadapi oleh PTDI adalah…?
Ini terutama terkait dengan pendanaan negara, mengingat PTDI adalah badan usaha milik negara. Bappenas mengakui bahwa pesawat ini sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama karena akan lebih efisien dalam mencapai daerah-daerah terpencil tanpa landasan pacu selama ada area air yang memadai. Hal ini terutama penting karena Bappenas memiliki program transformasi ekonomi dengan proyek percontohan di Provinsi Kepulauan Riau.
Mengingat provinsi tersebut terdiri dari ribuan pulau dengan hanya sekitar sepuluh landasan pacu, sebelumnya, perjalanan antarpulau bisa memakan waktu lebih dari satu hari dengan kapal, terutama selama gelombang tinggi.
Mengapa Indonesia hanya menargetkan 54 unit N219A ketika kebutuhan sebenarnya jauh lebih besar?
Perhitungan 54 unit merupakan batas bawah karena kebutuhan sebenarnya memang jauh lebih tinggi. Hal ini juga mempertimbangkan kapasitas produksi N219 dan N219A oleh PTDI sendiri, yang akan ditingkatkan secara bertahap dari dua menjadi dua belas unit per tahun mulai tahun 2026.
Apakah PTDI juga terlibat dalam pengembangan infrastruktur pariwisata dengan N219A?
Kami terutama fokus pada pengembangan pesawat itu sendiri, sementara pengembangan infrastruktur berjalan seiring dan dilakukan oleh pemerintah daerah, Bappenas, dan Kementerian Perhubungan. Mengenai survei lokasi, PTDI telah melakukannya bersama Bappenas di Natuna sebagai proyek percontohan, yang akan dikembangkan lebih lanjut, meskipun masih dengan pemerintah daerah sebagai komponen utama.
Potensi penerbangan amfibi masih belum dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia. Meskipun memiliki keuntungan intrinsik sebagai negara maritim, fokus pembangunan negara ini sebagian besar tertuju pada infrastruktur darat, mengesampingkan peran penting pesawat amfibi dalam meningkatkan konektivitas di antara pulau-pulau yang tersebar di kawasan nusantara.
Perbedaan ini sangat mencolok mengingat manfaat besar yang bisa diperoleh dari integrasi penerbangan amfibi ke dalam kerangka transportasi negara, terutama di wilayah-wilayah terpencil dan kurang berkembang di mana infrastruktur tradisional kurang memadai.
Perjalanan proyek N219 oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yang juga membuahkan rencana untuk mengembangkannya menjadi versi N219A (A untuk Amfibi), tampaknya menjanjikan kemajuan signifikan dalam adopsi dan penyebaran luas pesawat amfibi dan seaplane ini. Namun, meskipun sudah berlangsung selama beberapa tahun, penerbangan perdana N219A yang dijanjikan masih belum terwujud juga.
Koresponden GBP, Yulian Ardiansyah, baru-baru ini duduk bersama Putri Ramadhani, Wakil Presiden Pemasaran di PTDI, untuk menggali alasan di balik keterlambatan tersebut dan menjelajahi potensi perubahan positif di masa mendatang.
Mengenai pengembangan N219A, mengapa memakan waktu begitu lama?
Pengembangannya telah berlangsung sejak N219, yang memperoleh sertifikasi pada tahun 2020 dan kemudian dilanjutkan dengan versi amfibi yang didanai oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Namun, setelah perubahan di mana LAPAN digabungkan ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), pendanaannya dihentikan pada tahun 2021.
Apa yang terjadi setelah itu?
Selama acara G20 pada tahun 2022, Bappenas menyambut baik niat PTDI untuk melanjutkan proyek N219A. Urgensi memang dirasakan oleh pemerintah, yang menyebabkan keputusan untuk melanjutkan proyek dengan pendanaan dari Bappenas.
Kontrak pengembangan akan ditandatangani tahun ini dengan penerbangan perdana dijadwalkan pada Agustus 2024. Ini akan diikuti dengan memperoleh sertifikasi nasional pada tahun 2025, dengan proyeksi masuk pasar pada tahun 2026.
Jadi, pada dasarnya, tantangan utama yang dihadapi oleh PTDI adalah…?
Ini terutama terkait dengan pendanaan negara, mengingat PTDI adalah badan usaha milik negara. Bappenas mengakui bahwa pesawat ini sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama karena akan lebih efisien dalam mencapai daerah-daerah terpencil tanpa landasan pacu selama ada area air yang memadai. Hal ini terutama penting karena Bappenas memiliki program transformasi ekonomi dengan proyek percontohan di Provinsi Kepulauan Riau.
Mengingat provinsi tersebut terdiri dari ribuan pulau dengan hanya sekitar sepuluh landasan pacu, sebelumnya, perjalanan antarpulau bisa memakan waktu lebih dari satu hari dengan kapal, terutama selama gelombang tinggi.
Mengapa Indonesia hanya menargetkan 54 unit N219A ketika kebutuhan sebenarnya jauh lebih besar?
Perhitungan 54 unit merupakan batas bawah karena kebutuhan sebenarnya memang jauh lebih tinggi. Hal ini juga mempertimbangkan kapasitas produksi N219 dan N219A oleh PTDI sendiri, yang akan ditingkatkan secara bertahap dari dua menjadi dua belas unit per tahun mulai tahun 2026.
Apakah PTDI juga terlibat dalam pengembangan infrastruktur pariwisata dengan N219A?
Kami terutama fokus pada pengembangan pesawat itu sendiri, sementara pengembangan infrastruktur berjalan seiring dan dilakukan oleh pemerintah daerah, Bappenas, dan Kementerian Perhubungan. Mengenai survei lokasi, PTDI telah melakukannya bersama Bappenas di Natuna sebagai proyek percontohan, yang akan dikembangkan lebih lanjut, meskipun masih dengan pemerintah daerah sebagai komponen utama.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.