Kenaikan anggaran dinilai masih wajar karena Indonesia dikejar tenggat waktu untuk mencapai kekuatan esensial minimal. (Dassault Aviation) ☆
Indonesia telah meningkatkan belanja pertahanannya sebesar 20 persen pada tahun depan, sebuah langkah yang menurut beberapa analis mencerminkan ambisi strategis di tengah ketegangan geopolitik regional.
Kenaikan anggaran akan memberi pemerintah lebih banyak fleksibilitas untuk mewujudkan rencana pembangunan pertahanannya, termasuk beberapa komitmen untuk membeli peralatan pertahanan yang telah ditandatangani sebelumnya dan rencana belanja lainnya, kata para analis.
Indonesia telah menerapkan strategi jangka panjang untuk meningkatkan angkatan bersenjatanya, yang dikenal sebagai Minimum Essential Force (MEF).
Khairul Fahmi, analis dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan kenaikan anggaran Kementerian Pertahanan sebenarnya masih wajar karena Indonesia dikejar tenggat waktu pencapaian target MEF 2024.
“Kita juga sedang dihadapkan pada masalah kesenjangan antara kondisi kekuatan faktual dengan kebutuhan penambahan dan peremajaan alat utama sistem senjata termasuk untuk meningkatkan kemampuan pemeliharaan senjata yang sudah ada,” jelas Fahmi.
Dalam keterangan Kementerian Pertahanan kepada BenarNews pada Oktober lalu, realisasi MEF tercapai sebesar 63,36 persen dengan perincian Angkatan Darat sebesar 77,09 persen, Angkatan Laut 61,75 persen dan Angkatan Udara 51,23 persen.
Artinya, kata dia, pemerintah ingin mengejar target capaian, sekaligus menghindari potensi kegagalan operasional dan risiko insiden sistem senjata.
“Apalagi kondisi geopolitik sedang sangat dinamis dan fluktuatif sehingga membutuhkan postur pertahanan yang kokoh untuk mengantisipasi adanya eskalasi ancaman,” ujar Fahmi.
Menurut Fahmi, prioritas utama dalam anggaran Kementerian adalah mengejar ketertinggalan kekuatan udara dan laut.
“Capaian MEF untuk dua matra ini relatif tertinggal dibanding Angkatan Darat. Tentu ini harus dikejar dengan tetap memperhatikan proporsionalitas,” jelas Fahmi.
Fahmi mengakui jika sejumlah rencana belanja bisa direalisasikan pada awal 2024, hal itu sangat potensial menambah kredibilitas dan popularitas Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang merupakan calon presiden dalam pemilihan bulan Februari.
Namun, Fahmi mengatakan Indonesia juga tidak mungkin menunda rencana pembelian sistem senjata.
“Ada risiko melemahnya kapabilitas pertahanan yang harus dipertimbangkan jika penundaan terus dilakukan hanya karena kekhawatiran bahwa realisasi belanja alat utama sistem senjata akan menguntungkan Prabowo sebagai calon presiden,” katanya.
Pada Rabu (29/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah telah sepakat untuk menaikkan anggaran Kementerian Pertahanan untuk periode 2020-2024 dari $ 20,75 miliar menjadi $ 25 miliar.
Kesepakatan itu diambil setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo dalam rapat internal.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan anggaran tersebut terjadi karena mempertimbangkan kebutuhan serta kondisi sistem senjata yang ada.
"Kemudian ancaman serta peningkatan dinamika geopolitik dan geosecurity, dan di sisi lain masih sesuai dengan rencana kita dari sisi perencanaan penganggaran jangka panjang," ujarnya.
Meski periode rencana strategis 2020-2024 mendapat kenaikan alokasi pinjaman luar negeri, alokasi sampai akhir 2034 sesungguhnya tidak berubah. Secara keseluruhan, alokasi belanja sistem senjata dari pinjaman luar negeri di periode 2020-2034 akan tetap seperti yang pernah diputuskan Presiden Jokowi, yakni $ 55 miliar, kata Sri Mulyani.
Upaya melunasi kontrak Pengamat militer dari Marapi Consulting, Beni Sukadis Beni menerangkan peningkatan alokasi anggaran yang bersumber dari utang luar negeri akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang telah memiliki kontrak, seperti pembelian pesawat tempur Rafale, Mirage, dan proyek-proyek lainnya.
“Utang luar negeri yang umumnya memiliki jangka waktu panjang dapat digunakan untuk membayar sejumlah sistem senjata lainnya yang telah memiliki kontrak,” jelas Beni kepada BenarNews.
“Ini penting untuk menjaga reputasi dan integritas dalam pelaksanaan proyek-proyek yang telah dijanjikan kepada pihak kontraktor atau produsen,” jelasnya.
Hal ini mencakup pelunasan utang pendanaan untuk jet tempur KF21, yang merupakan proyek kerja sama Indonesia dan Korea Selatan.
“Utang luar negeri memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, terutama dalam jangka panjang,” jelas Beni.
Kedua negara pada 2016 sepakat bahwa Indonesia akan membayar 20 persen dari biaya pengembangan jet tempur KF-21, tetapi Jakarta menunggak pembayaran sejak 2019 dan berusaha menegosiasi ulang perjanjian.
Indonesia kemudian melanjutkan kembali pembayaran proyek itu pada November 2022 setelah sempat ditangguhkan.
Menurut Beni, kebutuhan persenjataan yang menjadi prioritas adalah memenuhi berbagai sistem senjata seperti jet tempur, kapal patroli, transportasi udara, kapal selam dan persenjataan pendukung lainnya.
“Terutama dalam aspek pengawasan dan penjagaan wilyah teritorial seperti radar, drone, alat deteksi lainnya,” jelasnya.
Juni lalu, Kementerian Pertahanan mengungkapkan pihaknya telah memesan 13 radar militer jarak jauh dari Thales, perusahaan asal Prancis, untuk meningkatkan upaya pengawasan udara di seluruh kepulauan di Tanah Air.
Pada bulan yang sama, Kementerian Pertahanan juga mengumumkan pembelian 12 jet tempur Mirage bekas dari Qatar, senilai $ 734,5 juta untuk meningkatkan kemampuan TNI Angkatan Udara di tengah kekurangan Indonesia atas pesawat siap tempur.
Selanjutnya pada September lalu, Indonesia menandatangani kontrak senilai $ 100 juta untuk memperoleh sistem penyelamatan kapal selam (Submarine Rescue Vehicle System/SRVS) dari Inggris guna meningkatkan keselamatan dan kesiapan armada kapal selam, menyusul kecelakaan dua tahun lalu.
Beni menambahkan waktu sisa satu tahun tentu tidak memadai untuk belanja persenjataan baru.
“Namun yang penting bagaimana melanjutkan perencanaan yang sudah ada, terutama yang sudah ada kontrak dengan produsen sistem senjata,” jelasnya.
Beni juga mengatakan keputusan menggunakan utang luar negeri sebagai sumber dana seharusnya dipertimbangkan secara cermat dengan memberikan alasan yang logis di balik keputusan tersebut.
“Tanpa memberikan alasan-alasan tersebut, maka kecurigaan masyarakat bahwa kenaikan dana ini akan selalu dikaitkan dengan tahun politik bisa berkembang sebagai opini masyarakat yang benar,” ujarnya.
BenarNews telah menanyakan soal kenaikan anggaran dan capaian MEF mutakhir kepada Humas Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha, tapi tidak memperoleh balasan.
Namun kepada BenarNews pada Oktober lalu, Edwin mengatakan belum ada kenaikan secara signifikan anggaran Kementerian Pertahanan yaitu setiap tahunnya rata-rata sebesar 0,8% PDB.
“Apabila dukungan anggaran tidak terpenuhi dan terealisasi sesuai kebutuhan maka akan berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang pertahanan negara dalam menjaga kedaulatan,” jelasnya.
Indonesia telah meningkatkan belanja pertahanannya sebesar 20 persen pada tahun depan, sebuah langkah yang menurut beberapa analis mencerminkan ambisi strategis di tengah ketegangan geopolitik regional.
Kenaikan anggaran akan memberi pemerintah lebih banyak fleksibilitas untuk mewujudkan rencana pembangunan pertahanannya, termasuk beberapa komitmen untuk membeli peralatan pertahanan yang telah ditandatangani sebelumnya dan rencana belanja lainnya, kata para analis.
Indonesia telah menerapkan strategi jangka panjang untuk meningkatkan angkatan bersenjatanya, yang dikenal sebagai Minimum Essential Force (MEF).
Khairul Fahmi, analis dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mengatakan kenaikan anggaran Kementerian Pertahanan sebenarnya masih wajar karena Indonesia dikejar tenggat waktu pencapaian target MEF 2024.
“Kita juga sedang dihadapkan pada masalah kesenjangan antara kondisi kekuatan faktual dengan kebutuhan penambahan dan peremajaan alat utama sistem senjata termasuk untuk meningkatkan kemampuan pemeliharaan senjata yang sudah ada,” jelas Fahmi.
Dalam keterangan Kementerian Pertahanan kepada BenarNews pada Oktober lalu, realisasi MEF tercapai sebesar 63,36 persen dengan perincian Angkatan Darat sebesar 77,09 persen, Angkatan Laut 61,75 persen dan Angkatan Udara 51,23 persen.
Artinya, kata dia, pemerintah ingin mengejar target capaian, sekaligus menghindari potensi kegagalan operasional dan risiko insiden sistem senjata.
“Apalagi kondisi geopolitik sedang sangat dinamis dan fluktuatif sehingga membutuhkan postur pertahanan yang kokoh untuk mengantisipasi adanya eskalasi ancaman,” ujar Fahmi.
Menurut Fahmi, prioritas utama dalam anggaran Kementerian adalah mengejar ketertinggalan kekuatan udara dan laut.
“Capaian MEF untuk dua matra ini relatif tertinggal dibanding Angkatan Darat. Tentu ini harus dikejar dengan tetap memperhatikan proporsionalitas,” jelas Fahmi.
Fahmi mengakui jika sejumlah rencana belanja bisa direalisasikan pada awal 2024, hal itu sangat potensial menambah kredibilitas dan popularitas Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang merupakan calon presiden dalam pemilihan bulan Februari.
Namun, Fahmi mengatakan Indonesia juga tidak mungkin menunda rencana pembelian sistem senjata.
“Ada risiko melemahnya kapabilitas pertahanan yang harus dipertimbangkan jika penundaan terus dilakukan hanya karena kekhawatiran bahwa realisasi belanja alat utama sistem senjata akan menguntungkan Prabowo sebagai calon presiden,” katanya.
Pada Rabu (29/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah telah sepakat untuk menaikkan anggaran Kementerian Pertahanan untuk periode 2020-2024 dari $ 20,75 miliar menjadi $ 25 miliar.
Kesepakatan itu diambil setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo dalam rapat internal.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan anggaran tersebut terjadi karena mempertimbangkan kebutuhan serta kondisi sistem senjata yang ada.
"Kemudian ancaman serta peningkatan dinamika geopolitik dan geosecurity, dan di sisi lain masih sesuai dengan rencana kita dari sisi perencanaan penganggaran jangka panjang," ujarnya.
Meski periode rencana strategis 2020-2024 mendapat kenaikan alokasi pinjaman luar negeri, alokasi sampai akhir 2034 sesungguhnya tidak berubah. Secara keseluruhan, alokasi belanja sistem senjata dari pinjaman luar negeri di periode 2020-2034 akan tetap seperti yang pernah diputuskan Presiden Jokowi, yakni $ 55 miliar, kata Sri Mulyani.
Upaya melunasi kontrak Pengamat militer dari Marapi Consulting, Beni Sukadis Beni menerangkan peningkatan alokasi anggaran yang bersumber dari utang luar negeri akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang telah memiliki kontrak, seperti pembelian pesawat tempur Rafale, Mirage, dan proyek-proyek lainnya.
“Utang luar negeri yang umumnya memiliki jangka waktu panjang dapat digunakan untuk membayar sejumlah sistem senjata lainnya yang telah memiliki kontrak,” jelas Beni kepada BenarNews.
“Ini penting untuk menjaga reputasi dan integritas dalam pelaksanaan proyek-proyek yang telah dijanjikan kepada pihak kontraktor atau produsen,” jelasnya.
Hal ini mencakup pelunasan utang pendanaan untuk jet tempur KF21, yang merupakan proyek kerja sama Indonesia dan Korea Selatan.
“Utang luar negeri memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, terutama dalam jangka panjang,” jelas Beni.
Kedua negara pada 2016 sepakat bahwa Indonesia akan membayar 20 persen dari biaya pengembangan jet tempur KF-21, tetapi Jakarta menunggak pembayaran sejak 2019 dan berusaha menegosiasi ulang perjanjian.
Indonesia kemudian melanjutkan kembali pembayaran proyek itu pada November 2022 setelah sempat ditangguhkan.
Menurut Beni, kebutuhan persenjataan yang menjadi prioritas adalah memenuhi berbagai sistem senjata seperti jet tempur, kapal patroli, transportasi udara, kapal selam dan persenjataan pendukung lainnya.
“Terutama dalam aspek pengawasan dan penjagaan wilyah teritorial seperti radar, drone, alat deteksi lainnya,” jelasnya.
Juni lalu, Kementerian Pertahanan mengungkapkan pihaknya telah memesan 13 radar militer jarak jauh dari Thales, perusahaan asal Prancis, untuk meningkatkan upaya pengawasan udara di seluruh kepulauan di Tanah Air.
Pada bulan yang sama, Kementerian Pertahanan juga mengumumkan pembelian 12 jet tempur Mirage bekas dari Qatar, senilai $ 734,5 juta untuk meningkatkan kemampuan TNI Angkatan Udara di tengah kekurangan Indonesia atas pesawat siap tempur.
Selanjutnya pada September lalu, Indonesia menandatangani kontrak senilai $ 100 juta untuk memperoleh sistem penyelamatan kapal selam (Submarine Rescue Vehicle System/SRVS) dari Inggris guna meningkatkan keselamatan dan kesiapan armada kapal selam, menyusul kecelakaan dua tahun lalu.
Beni menambahkan waktu sisa satu tahun tentu tidak memadai untuk belanja persenjataan baru.
“Namun yang penting bagaimana melanjutkan perencanaan yang sudah ada, terutama yang sudah ada kontrak dengan produsen sistem senjata,” jelasnya.
Beni juga mengatakan keputusan menggunakan utang luar negeri sebagai sumber dana seharusnya dipertimbangkan secara cermat dengan memberikan alasan yang logis di balik keputusan tersebut.
“Tanpa memberikan alasan-alasan tersebut, maka kecurigaan masyarakat bahwa kenaikan dana ini akan selalu dikaitkan dengan tahun politik bisa berkembang sebagai opini masyarakat yang benar,” ujarnya.
BenarNews telah menanyakan soal kenaikan anggaran dan capaian MEF mutakhir kepada Humas Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha, tapi tidak memperoleh balasan.
Namun kepada BenarNews pada Oktober lalu, Edwin mengatakan belum ada kenaikan secara signifikan anggaran Kementerian Pertahanan yaitu setiap tahunnya rata-rata sebesar 0,8% PDB.
“Apabila dukungan anggaran tidak terpenuhi dan terealisasi sesuai kebutuhan maka akan berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang pertahanan negara dalam menjaga kedaulatan,” jelasnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.