Di Hutan di Filipina Foto: Kartika Sari Tarigan/ Wendy koki kapal yang ikut disandera
Wendy adalah koki di kapal Brahma 12. Pada saat penyanderaan terjadi, dia ikut diangkut dan dibawa kelompok Abu Sayyaf. Wendi menuturkan kisahnya selama di penyanderaan.
"Kami dijaga 10 orang bersenjata lengkap," jelas Wendy yang ditemui di Kemlu, Pejambon, Jakarta, Senin (2/5/2016).
Menurut dia, tidak ada perlakuan kasar yang dialami para WNI korban penyanderaan ini. Selama berhari-hari mereka bergerak berpindah-pindah di hutan di kepulauan Sulu, Filipina.
"Nggak ada yang keras. Baik-baik saja semuanya. Mereka makan apa, kami juga makan. Mereka pakai senjata lengkap," urai dia.
Menurut Wendy, kelompok WNI yang disandera ini, awak Brahma 12 sempat dipecah menjadi dua kelompok, namun akhirnya disatukan kembali.
"Kami semua diperlakukan sama. Kami jalan terus setiap hari. Apa yang mereka makan, kami makan. Sama seperti mereka. Kadang-kadang tidur pakai tenda di hutan. Mereka juga sama," jelasnya.
Komunikasi dengan penyandera dilakukan dengan bahasa Filipina terbata-bata. Para WNI ini kemanapun selalu dikawal, termasuk apabila ingin buang air.
Wendy tak tahu bagaimana akhirnya mereka dibebaskan. Wendy sadar sudah bebas saat dia dan rekan-rekannya dijamu makan di rumah Gubernur Sulu Toto Tan.
"Tahunya sudah di gubernur aja kan," imbuh dia. (dra/dra)
Kami Pindah-pindah, Khawatir Serangan Militer Filipina
Foto: istimewa
Sebanyak 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf selalu berpindah-pindah saat disandera di tengah hutan. Pergerakan ini dilakukan karena penyandera khawatir serangan dari militer Filipina.
"Iya berpindah-pindah. Dia berpindah-pindah setiap malam, bergerak setiap malam. Mereka berpindah untuk keselamatan kita soalnya kita diserang Askar-askar (militer) Filipina," ujar Juru Mudi Brahma 12, Wawan Saputra kepada wartawan usai serah terima 10 WNI yang disandera dari pemerintah ke perwakilan keluarga di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jl Pejambon, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).
"Jadi kami selalu dilindungi oleh mereka. Kami ingin juga selamat pulang ke Indonesia," imbuhnya.
Kesepuluh WNI itu tinggal di tengah hutan yang dijaga ketat kelompok penyandera. Penyandera memang selalu menenteng senjata laras panjang dan tidak pernah membuka penutup muka di hadapan sandera.
"(Kami tinggal) di hutan, kami nggak tahu nama tempatnya, di tengah hutan, enggak ada alas dan enggak ada atap. Beratapkan langit saja dengan tanah," sambung dia.
Selama penyanderaan, komunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf sangat minim. "Pernah diskusi, mereka hanya bilang kami suku Bugis dari Sulawesi. Cuma itu saja, kami jarang komunikasi," kata Wawan.
Penjagaan dilakukan secara bergantian oleh para penyandera ketika WNI terlelap tidur. Menurut Wawan, satu orang sandera dijaga oleh dua orang penyandera.
"Mereka terus awasi kita . Kadang dia nggak tidur juga. Kadang juga ganti-gantian (jaga)," pungkasnya. (fdn/aws)
Seragam Polisi dan Senjata Alat Berat
Kartika Sari Tarigan/ 10 WNI saat di Kemlu
Kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 WNI awak Kapal Brahma 12. Penyanderaan yang terjadi akhir Maret lalu, masih diingat betul prosesnya oleh Julian Philip, chief officer di kapal itu.
"Pembajakan itu tanggal 25 jam 15.20 waktu setempat. Pada saat itu, mereka datang ke kapal langsung boarding di kapal dengan speed boat," jelas Julian yang ditemui di Kemlu, Senin (2/5/2016).
Julian menjelaskan, ada delapan orang penyandera yang merapat ke kapal. Para awak kapal Brahma tak mencurigai mereka.
"Kita tidak tahu itu orang-orang yang demikian. Mereka menggunakan seragam National Police Philifine. Jadi kita anggap mereka petugas. Jadi setelah mereka naik ke kapal dengan senjata lengkap, mereka langsung menyandera kita," jelas dia.
Awak kapal kaget. Petugas polisi itu ternyata penyandera. Para awak kapal sempat diikat di kapal, sebelum akhirnya dilepaskan setelah berjanji tak akan melawan.
"Ada yang bawa M14, M16 double body. Pelurunya besar-besar semua lengkap. Terus kita langsung disandera dan diikat. Ada yang diborgol sama diikat. Kita memohon sama mereka agar supaya kita jangan diikat. Karena kita tidak akan melawan. Mengikuti apa kemauan mereka. Kita setuju dan kita dilepaskan dari ikatan itu dan borgol. Komunikasi berjalan lancar kita tidak melawan. Dari situ kapal kita diarahkan ke arah timur, karena kejadian itu mereka boarding ke kapal itu. Masih termasuk wilayah Malaysia. Kapal diarahkan ke Tawi-tawi. Kita disuruh lepas punya gandengan tongkang. Maunya kita dibuang jangkar tapi mereka tidak setuju," urai Juan.
Saat itu tongkang dilepas begitu saja. Para penyandera menghindari patroli Marinir Filipina.
"Di sebelah utara Tawi-Tawi kapal itu ditinggalkan begitu saja. Karena kita nggak melakukan perlawanan, akhirnya kita dibawa terus kalau ada perahu-perahu dan kapal di jalan mereka menghindar," lanjut Juan.
Sekitar tanggal 26 Maret akhirnya kapal tiba di sebuah pulau. Kemudian para penyandera memperhatikan kondisi, setelah itu mereka dibawa ke arah timur.
"Nama pulau kita nggak tahu. Pulau itu yang kita tuju kita tidak tahu karena sudah ada peta. Kita itu dalam dua hari dipindahkan lagi, 4 hari pindah lagi karena mereka ada informasi dari informer mereka bahwa di sini, jam sekian, posisi sekian ada yang beroperasi. Jadi mereka itu tetap dapat informasi," tutup dia.
Jaga 10 WNI Agar Tak Sakit dan Meninggal
Ferdinan/ awak kapal Brahma Julian Philip
Mualim I/Chief Office Kapal Brahma 12, Julian Philip menceritakan detik-detik pembajakan saat kesepuluh WNI dalam perjalanan di perairan Filipina. Bersenjatakan senapan M14 dan M16, penyandera langsung mengikat para WNI di atas kapal.
"Pembajakan tanggal 25 Maret jam 15.20 waktu setempat local time dan pada saat itu mereka datang ke kapal, langsung boarding di kapal dengan speed boat. Ada dua perahu. jadi semuanya ada delapan orang yang naik ke kapal," kata Julian kepada wartawan usai serah terima 10 WNI yang disandera dari pemerintah ke perwakilan keluarga di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jl Pejambon, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).
Para awak kapal Brahma 12 mulanya tak menyangka 8 orang yang naik ternyata kelompok Abu Sayyaf. "Kita tidak tahu orang-orang yang demikian. Jadi mereka pakai seragam nasional Police Phillippines. Jadi kita anggap sebagai petugas. jadi mereka bawa senjata lengkap, mereka langsung sandera kita," ujar Julian.
Kedelapan orang tersebut membawa senapan M14 dan M16 lengkap dengan 'rantai' peluru. WNI dalam kapal langsung diikat.
"Lengkap dengan peluru yang besar-besar. Kita kesepuluh itu langsung disandera di atas dan langsung diingkat. Ada yang diborgol dan diikat. Setelah itu kita mohon sama mereka agar supaya kita jangan diikat karena kita tidak akan lawan. Kita akan ikuti apa kemauan mereka. Di situ mereka setuju dan kita dilepaskan dari ikatan dan borgol," tutur Julian.
Setelah itu, kapal yang dibajak dibawa ke daerah Tawi-Tawi. Di situ awak kapal diminta melepas kapal tongkang yang digandeng.
"Jadi tongkang kita itu langsung dilepaskan saja, kapal diarahkan ke daerah Tawi-tawi. Jadi di sebelah utara Tawi-tawi kapal itu langsung ditinggalkan gitu saja dan kita disuruh naik ke speed boat," sambungnya.
Perjalanan dilanjutkan ke sebuah pulau yang tidak diketahui para WNI. Setelahnya para sandera dibawa ke tengah hutan.
"Hari keempat kita dipisah demi keamanan mereka. Karena kalau kita moving dari satu tempat ke tempat lain itu kan mebahayakan kita juga. Jadi masalah keamanan itu juga dijaga sama mereka. Karena mereka enggak mau para sandera ini ada yang meninggal. mungkin juga pikir mereka kalau ada satu orang yang meninggal mungkin uang itu tidak dapat," sambung dia.
Sementara itu Juru Mudi Brahma 12, Wawan Saputra menyebut para penyandera memberi makan WNI sama dengan santapan kelompok Abu Sayyaf.
"Makannya seperti mangga, mangga, nasi, gitu saja. Jadi apa yang mereka makan kami makan," sambungnya.
Dipastikan Wawan, saat disandera selama sekitar 5 minggu, tidak ada kekerasan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf. "Nggak ada . Kekerasan fisik nggak ada sama sekali," sebutnya.
Pakai Penutup Muka, Komunikasi dengan Bahasa Inggris
Ari Saputra/ 10 WNI yang dilepaskan Abu Sayyaf
Satu bulan lebih 10 WNI disandera kelompok Abu Sayyaf. Para penyandera berlaku baik, tak ada yang kasar. Mereka bergerak berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain menghindari pengejaran militer Filipina. Terkadang kelompok dipecah untuk mempermudah perpindahan.
"Kalau di sana sih kita diperlakukan secara baik. Nggak ada kekerasan fisik. Apa yang mereka makan, itu yang kita makan. Di sana kekurangannya satu aja. Air bersih. Karna kita di hutan," jelas Alfian, salah satu WNI yang disandera saat memberikan keterangan di Kemlu, Senin (2/5/2016).
Dalam masa penyanderaan, yang diingat Alfian, tak ada kegiatan. Hanya berhenti beristirahat dan berpindah tempat.
"Mereka semuanya pakai penutup muka. Ada 5 orang pakai penutup muka. Ada 1-2 orang yang tahu bahasa Inggris," sambung Alfian.
Tak pernah mereka masuk ke dalam ruangan. Para penyandera ini diperkirakan berada di Kepulauan Sulu.
Lalu bagaimana saat masa pembebasan datang?
"Nggak tahu pasti. Kita lagi enak-enak rehat, kira-kira sebelum salat Subuh, kita dibangunin nggak tahu mau diajak kemana lagi. Kita berdoa saja berharap. Ternyata hari itu terakhir di Filipina," sambung dia. (dra/dra)
Wendy adalah koki di kapal Brahma 12. Pada saat penyanderaan terjadi, dia ikut diangkut dan dibawa kelompok Abu Sayyaf. Wendi menuturkan kisahnya selama di penyanderaan.
"Kami dijaga 10 orang bersenjata lengkap," jelas Wendy yang ditemui di Kemlu, Pejambon, Jakarta, Senin (2/5/2016).
Menurut dia, tidak ada perlakuan kasar yang dialami para WNI korban penyanderaan ini. Selama berhari-hari mereka bergerak berpindah-pindah di hutan di kepulauan Sulu, Filipina.
"Nggak ada yang keras. Baik-baik saja semuanya. Mereka makan apa, kami juga makan. Mereka pakai senjata lengkap," urai dia.
Menurut Wendy, kelompok WNI yang disandera ini, awak Brahma 12 sempat dipecah menjadi dua kelompok, namun akhirnya disatukan kembali.
"Kami semua diperlakukan sama. Kami jalan terus setiap hari. Apa yang mereka makan, kami makan. Sama seperti mereka. Kadang-kadang tidur pakai tenda di hutan. Mereka juga sama," jelasnya.
Komunikasi dengan penyandera dilakukan dengan bahasa Filipina terbata-bata. Para WNI ini kemanapun selalu dikawal, termasuk apabila ingin buang air.
Wendy tak tahu bagaimana akhirnya mereka dibebaskan. Wendy sadar sudah bebas saat dia dan rekan-rekannya dijamu makan di rumah Gubernur Sulu Toto Tan.
"Tahunya sudah di gubernur aja kan," imbuh dia. (dra/dra)
Kami Pindah-pindah, Khawatir Serangan Militer Filipina
Foto: istimewa
Sebanyak 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf selalu berpindah-pindah saat disandera di tengah hutan. Pergerakan ini dilakukan karena penyandera khawatir serangan dari militer Filipina.
"Iya berpindah-pindah. Dia berpindah-pindah setiap malam, bergerak setiap malam. Mereka berpindah untuk keselamatan kita soalnya kita diserang Askar-askar (militer) Filipina," ujar Juru Mudi Brahma 12, Wawan Saputra kepada wartawan usai serah terima 10 WNI yang disandera dari pemerintah ke perwakilan keluarga di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jl Pejambon, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).
"Jadi kami selalu dilindungi oleh mereka. Kami ingin juga selamat pulang ke Indonesia," imbuhnya.
Kesepuluh WNI itu tinggal di tengah hutan yang dijaga ketat kelompok penyandera. Penyandera memang selalu menenteng senjata laras panjang dan tidak pernah membuka penutup muka di hadapan sandera.
"(Kami tinggal) di hutan, kami nggak tahu nama tempatnya, di tengah hutan, enggak ada alas dan enggak ada atap. Beratapkan langit saja dengan tanah," sambung dia.
Selama penyanderaan, komunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf sangat minim. "Pernah diskusi, mereka hanya bilang kami suku Bugis dari Sulawesi. Cuma itu saja, kami jarang komunikasi," kata Wawan.
Penjagaan dilakukan secara bergantian oleh para penyandera ketika WNI terlelap tidur. Menurut Wawan, satu orang sandera dijaga oleh dua orang penyandera.
"Mereka terus awasi kita . Kadang dia nggak tidur juga. Kadang juga ganti-gantian (jaga)," pungkasnya. (fdn/aws)
Seragam Polisi dan Senjata Alat Berat
Kartika Sari Tarigan/ 10 WNI saat di Kemlu
Kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 WNI awak Kapal Brahma 12. Penyanderaan yang terjadi akhir Maret lalu, masih diingat betul prosesnya oleh Julian Philip, chief officer di kapal itu.
"Pembajakan itu tanggal 25 jam 15.20 waktu setempat. Pada saat itu, mereka datang ke kapal langsung boarding di kapal dengan speed boat," jelas Julian yang ditemui di Kemlu, Senin (2/5/2016).
Julian menjelaskan, ada delapan orang penyandera yang merapat ke kapal. Para awak kapal Brahma tak mencurigai mereka.
"Kita tidak tahu itu orang-orang yang demikian. Mereka menggunakan seragam National Police Philifine. Jadi kita anggap mereka petugas. Jadi setelah mereka naik ke kapal dengan senjata lengkap, mereka langsung menyandera kita," jelas dia.
Awak kapal kaget. Petugas polisi itu ternyata penyandera. Para awak kapal sempat diikat di kapal, sebelum akhirnya dilepaskan setelah berjanji tak akan melawan.
"Ada yang bawa M14, M16 double body. Pelurunya besar-besar semua lengkap. Terus kita langsung disandera dan diikat. Ada yang diborgol sama diikat. Kita memohon sama mereka agar supaya kita jangan diikat. Karena kita tidak akan melawan. Mengikuti apa kemauan mereka. Kita setuju dan kita dilepaskan dari ikatan itu dan borgol. Komunikasi berjalan lancar kita tidak melawan. Dari situ kapal kita diarahkan ke arah timur, karena kejadian itu mereka boarding ke kapal itu. Masih termasuk wilayah Malaysia. Kapal diarahkan ke Tawi-tawi. Kita disuruh lepas punya gandengan tongkang. Maunya kita dibuang jangkar tapi mereka tidak setuju," urai Juan.
Saat itu tongkang dilepas begitu saja. Para penyandera menghindari patroli Marinir Filipina.
"Di sebelah utara Tawi-Tawi kapal itu ditinggalkan begitu saja. Karena kita nggak melakukan perlawanan, akhirnya kita dibawa terus kalau ada perahu-perahu dan kapal di jalan mereka menghindar," lanjut Juan.
Sekitar tanggal 26 Maret akhirnya kapal tiba di sebuah pulau. Kemudian para penyandera memperhatikan kondisi, setelah itu mereka dibawa ke arah timur.
"Nama pulau kita nggak tahu. Pulau itu yang kita tuju kita tidak tahu karena sudah ada peta. Kita itu dalam dua hari dipindahkan lagi, 4 hari pindah lagi karena mereka ada informasi dari informer mereka bahwa di sini, jam sekian, posisi sekian ada yang beroperasi. Jadi mereka itu tetap dapat informasi," tutup dia.
Jaga 10 WNI Agar Tak Sakit dan Meninggal
Ferdinan/ awak kapal Brahma Julian Philip
Mualim I/Chief Office Kapal Brahma 12, Julian Philip menceritakan detik-detik pembajakan saat kesepuluh WNI dalam perjalanan di perairan Filipina. Bersenjatakan senapan M14 dan M16, penyandera langsung mengikat para WNI di atas kapal.
"Pembajakan tanggal 25 Maret jam 15.20 waktu setempat local time dan pada saat itu mereka datang ke kapal, langsung boarding di kapal dengan speed boat. Ada dua perahu. jadi semuanya ada delapan orang yang naik ke kapal," kata Julian kepada wartawan usai serah terima 10 WNI yang disandera dari pemerintah ke perwakilan keluarga di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jl Pejambon, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).
Para awak kapal Brahma 12 mulanya tak menyangka 8 orang yang naik ternyata kelompok Abu Sayyaf. "Kita tidak tahu orang-orang yang demikian. Jadi mereka pakai seragam nasional Police Phillippines. Jadi kita anggap sebagai petugas. jadi mereka bawa senjata lengkap, mereka langsung sandera kita," ujar Julian.
Kedelapan orang tersebut membawa senapan M14 dan M16 lengkap dengan 'rantai' peluru. WNI dalam kapal langsung diikat.
"Lengkap dengan peluru yang besar-besar. Kita kesepuluh itu langsung disandera di atas dan langsung diingkat. Ada yang diborgol dan diikat. Setelah itu kita mohon sama mereka agar supaya kita jangan diikat karena kita tidak akan lawan. Kita akan ikuti apa kemauan mereka. Di situ mereka setuju dan kita dilepaskan dari ikatan dan borgol," tutur Julian.
Setelah itu, kapal yang dibajak dibawa ke daerah Tawi-Tawi. Di situ awak kapal diminta melepas kapal tongkang yang digandeng.
"Jadi tongkang kita itu langsung dilepaskan saja, kapal diarahkan ke daerah Tawi-tawi. Jadi di sebelah utara Tawi-tawi kapal itu langsung ditinggalkan gitu saja dan kita disuruh naik ke speed boat," sambungnya.
Perjalanan dilanjutkan ke sebuah pulau yang tidak diketahui para WNI. Setelahnya para sandera dibawa ke tengah hutan.
"Hari keempat kita dipisah demi keamanan mereka. Karena kalau kita moving dari satu tempat ke tempat lain itu kan mebahayakan kita juga. Jadi masalah keamanan itu juga dijaga sama mereka. Karena mereka enggak mau para sandera ini ada yang meninggal. mungkin juga pikir mereka kalau ada satu orang yang meninggal mungkin uang itu tidak dapat," sambung dia.
Sementara itu Juru Mudi Brahma 12, Wawan Saputra menyebut para penyandera memberi makan WNI sama dengan santapan kelompok Abu Sayyaf.
"Makannya seperti mangga, mangga, nasi, gitu saja. Jadi apa yang mereka makan kami makan," sambungnya.
Dipastikan Wawan, saat disandera selama sekitar 5 minggu, tidak ada kekerasan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf. "Nggak ada . Kekerasan fisik nggak ada sama sekali," sebutnya.
Pakai Penutup Muka, Komunikasi dengan Bahasa Inggris
Ari Saputra/ 10 WNI yang dilepaskan Abu Sayyaf
Satu bulan lebih 10 WNI disandera kelompok Abu Sayyaf. Para penyandera berlaku baik, tak ada yang kasar. Mereka bergerak berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain menghindari pengejaran militer Filipina. Terkadang kelompok dipecah untuk mempermudah perpindahan.
"Kalau di sana sih kita diperlakukan secara baik. Nggak ada kekerasan fisik. Apa yang mereka makan, itu yang kita makan. Di sana kekurangannya satu aja. Air bersih. Karna kita di hutan," jelas Alfian, salah satu WNI yang disandera saat memberikan keterangan di Kemlu, Senin (2/5/2016).
Dalam masa penyanderaan, yang diingat Alfian, tak ada kegiatan. Hanya berhenti beristirahat dan berpindah tempat.
"Mereka semuanya pakai penutup muka. Ada 5 orang pakai penutup muka. Ada 1-2 orang yang tahu bahasa Inggris," sambung Alfian.
Tak pernah mereka masuk ke dalam ruangan. Para penyandera ini diperkirakan berada di Kepulauan Sulu.
Lalu bagaimana saat masa pembebasan datang?
"Nggak tahu pasti. Kita lagi enak-enak rehat, kira-kira sebelum salat Subuh, kita dibangunin nggak tahu mau diajak kemana lagi. Kita berdoa saja berharap. Ternyata hari itu terakhir di Filipina," sambung dia. (dra/dra)
★ detik
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.