KOMPAS Images/KOMPAS/HERU SRI KUMORO Menteri BUMN Dahlan Iskan menunjukkan mobil listrik Tucuxi di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (23/12/2012). Tucuxi dikerjakan oleh rumah modifikasi Kupu-Kupu Malam di Yogyakarta. Dengan baterai terisi penuh mobil ini bisa menempuh jarak sekitar 400 kilometer atau 4 jam. Pengisian baterai diperlukan waktu sekitar 6 jam.
Willy Sakareza
Jakarta | Bulan Juli 2012, Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, Dino Patti Djalal menggagas pertemuan bersejarah di Los Angeles. Mengapa bersejarah? Karena pertemuan itu dapat dikatakan sebagai pertemuan pertama dan terbesar yang dihadiri oleh para diaspora Indonesia di berbagai negara. Antara lain, warga Indonesia di Qatar, Peru, Jerman, Korea Selatan, khususnya mereka yang bermukim di daratan Amerika Serikat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sambutan pembukaan pertemuan akbar tersebut melalui rekaman video, disaksikan oleh 1000 undangan yang memadati gedung Los Angeles Convention Center.
Dalam sambutannya, Presiden Yudhoyono dan Duta Besar Dino Patti Djalal menyebutkan betapa tinggi potensi diaspora Indonesia yang bermukim di luar negeri. Menurut Dino Patti Djalal definisi diaspora adalah mereka yang bermukim di luar negeri, termasuk warga negara asing yang memiliki ikatan keluarga dengan Indonesia. Warga negara asing yang mencintai Indonesia pun dapat dianggap sebagai diaspora Indonesia. Meski sementara ini, perhatian utama dari diaspora Indonesia adalah mereka yang memiliki paspor Indonesia.
Dubes Dino memprediksi terdapat 10 juta diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Angka ini sangatlah besar bahkan hampir menyamai jumlah populasi penduduk di Swedia atau Austria. Secara kualitas, diaspora Indonesia pun bukan diaspora “asal-asalan”. Warga negara Indonesia di Amerika Serikat memiliki pendapatan rata-rata sebesar 59.000 dollar AS setiap tahunnya. Jauh lebih besar dibandingkan warga Amerika Serikat yang pendapatan rata-ratanya sebesar 45.000 dollar AS per tahun.
Di samping itu, 48 persen warga diaspora Indonesia di Amerika Serikat memiliki kualitas akademik di atas sarjana. Sementara, rata-rata penduduk Amerika Serikat yang memiliki kualitas akademik serupa, jumlahnya hanya 27 persen. Tidak hanya di Amerika Serikat, diyakini lebih banyak lagi warga diaspora Indonesia unggul lainnya tersebar di seluruh dunia seperti ilmuwan Indonesia yang tergabung di Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Diaspora Indonesia, menurut Dino Patti Djalal, setiap tahun mengirimkan devisa ke Indonesia hingga mencapai 7 miliar dollar AS atau hampir Rp 70 triliun. Angka yang sangat besar karena nyaris menyamai jumlah dana otonomi khusus pada APBN-P 2012 yang ditransfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Tawaran pemerintah
Menyadari betapa besar dan strategisnya potensi diaspora Indonesia, Presiden Yudhoyono secara langsung mengajak para perantau ini untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam pembangunan nasional. Presiden juga memberikan perhatian khusus kepada diaspora Indonesia. Sebagai contoh, Presiden telah memerintahkan untuk membentuk Desk Diaspora Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri RI.
Tidak hanya itu, Presiden juga memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk menyusun regulasi visa khusus bagi diaspora Indonesia yang telah berganti kewarganegaraan. Apapun dilakukan untuk menarik diaspora Indonesia untuk kembali ke Indonesia dan mengembangkan potensinya untuk pembangunan Indonesia.
Pernyataan Presiden ini mendapat sambutan baik dari warga diaspora yang hadir dalam pertemuan tersebut. Termasuk delegasi Dewan Perwakilan Rakyat yang turut hadir pada acara tersebut. Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso menyambut aspirasi ribuan diaspora Indonesia yang hadir dan berjanji akan memperjuangkan aspirasi mereka di Senayan.
Di tingkat kementerian, Menteri BUMN, Dahlan Iskan turut mengajak salah satu diaspora Indonesia, Dr. Danet Suryatama, lulusan Universitas Michigan, Amerika Serikat yang berprestasi di kancah internasional untuk bergabung dalam kelompok “Putra Petir”. Sebuah inisiasi untuk mengembangkan inovasi mobil listrik. Karirnya di bidang otomotif sangat cemerlang di bawah bendera Chrysler dan Mitsubishi. Danet dapat dikatakan satu dari banyak diaspora yang kembali ke Indonesia dan mengembangkan keilmuannya di dalam negeri.
Pelajaran penting
Pemberitaan mengenai Danet Suryatama dan Dahlan Iskan terkait proyek mobil listrik Tucuxi patut menjadi perhatian bagi para diaspora. Hubungan manis yang berbuah produktif berupa mobil listrik buatan lokal pun berakhir pahit dengan kecelakaan yang dialami Dahlan ketika melakukan test drive di Magetan.
Danet, seperti dikutip dari berbagai berita, sangat kecewa kepada Dahlan Iskan karena dianggap telah melanggar perjanjian dalam hal hak kekayaan intelektual mobil listrik Tuxuci ini. Mobil listrik yang diproduksi oleh Danet dan timnya di Elektrikcar, dinilai telah “dioprek” oleh pihak lain secara sengaja tanpa sepengetahuan dan izinnya.
Menurut Danet, kecelakaan yang terjadi yang diduga karena perubahan spesifikasi setelah “dioprek” sehingga Danet menyatakan tidak bertanggung jawab karena adanya perubahan spesifikasi antara mobil listrik yang diproduksi Danet dengan mobil listrik yang telah “dioprek” di tempat lain tanpa izinnya.
Bagaimana reaksi Dahlan Iskan? Seperti biasa, Dahlan tidak menanggapi serius tudingan itu dan memilih untuk terus menguji mobil mewah seharga Rp 1,5 miliar ini. Walau pada akhirnya mobil itu rusak dan tidak bisa dipakai kembali sedangkan Danet sendiri saat ini memilih untuk kembali ke Amerika Serikat.
Jika kekecewaan Danet tidak diselesaikan dengan baik, dapat berimplikasi pada menguatnya pesimisme diaspora Indonesia terhadap pemerintah Indonesia yang selama ini mereka rasakan. Benarkah pemerintah Indonesia satu suara dan all out untuk mengajak diaspora Indonesia mengembangkan potensinya di dalam negeri?
Sebenarnya ada solusi lain, yaitu inisiasi swasta untuk menggandeng diaspora ini tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini dilakukan oleh salah satu konglomerat Indonesia, Chairul Tanjung pada saat bertemu dengan para profesional Indonesia di Silicon Valley beberapa hari setelah Kongres Diaspora di Los Angeles. Chairul menantang para profesional itu untuk menyampaikan ide-ide brilian dan jika benar berpotensi, ajakan kerja sama pun akan diberikannya.
Apapun itu, fenomena diaspora Indonesia ini sebaiknya tidak mutlak difokuskan pada kesiapan para perantau untuk mengembangkan kapasitasnya di dalam negeri saja. Tapi juga kesiapan publik Indonesia di dalam negeri dalam menerima kembali diaspora untuk pulang kampung dan beraktivitas di dalam negeri yang pastinya memiliki kultur dan budaya berbeda dengan negara tempat para diaspora beraktivitas. (Willy Sakareza)
* Penulis adalah Mahasiswa Masters Leiden University, Belanda dan Penerima Beasiswa Unggulan PKLN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta | Bulan Juli 2012, Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, Dino Patti Djalal menggagas pertemuan bersejarah di Los Angeles. Mengapa bersejarah? Karena pertemuan itu dapat dikatakan sebagai pertemuan pertama dan terbesar yang dihadiri oleh para diaspora Indonesia di berbagai negara. Antara lain, warga Indonesia di Qatar, Peru, Jerman, Korea Selatan, khususnya mereka yang bermukim di daratan Amerika Serikat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sambutan pembukaan pertemuan akbar tersebut melalui rekaman video, disaksikan oleh 1000 undangan yang memadati gedung Los Angeles Convention Center.
Dalam sambutannya, Presiden Yudhoyono dan Duta Besar Dino Patti Djalal menyebutkan betapa tinggi potensi diaspora Indonesia yang bermukim di luar negeri. Menurut Dino Patti Djalal definisi diaspora adalah mereka yang bermukim di luar negeri, termasuk warga negara asing yang memiliki ikatan keluarga dengan Indonesia. Warga negara asing yang mencintai Indonesia pun dapat dianggap sebagai diaspora Indonesia. Meski sementara ini, perhatian utama dari diaspora Indonesia adalah mereka yang memiliki paspor Indonesia.
Dubes Dino memprediksi terdapat 10 juta diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Angka ini sangatlah besar bahkan hampir menyamai jumlah populasi penduduk di Swedia atau Austria. Secara kualitas, diaspora Indonesia pun bukan diaspora “asal-asalan”. Warga negara Indonesia di Amerika Serikat memiliki pendapatan rata-rata sebesar 59.000 dollar AS setiap tahunnya. Jauh lebih besar dibandingkan warga Amerika Serikat yang pendapatan rata-ratanya sebesar 45.000 dollar AS per tahun.
Di samping itu, 48 persen warga diaspora Indonesia di Amerika Serikat memiliki kualitas akademik di atas sarjana. Sementara, rata-rata penduduk Amerika Serikat yang memiliki kualitas akademik serupa, jumlahnya hanya 27 persen. Tidak hanya di Amerika Serikat, diyakini lebih banyak lagi warga diaspora Indonesia unggul lainnya tersebar di seluruh dunia seperti ilmuwan Indonesia yang tergabung di Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Diaspora Indonesia, menurut Dino Patti Djalal, setiap tahun mengirimkan devisa ke Indonesia hingga mencapai 7 miliar dollar AS atau hampir Rp 70 triliun. Angka yang sangat besar karena nyaris menyamai jumlah dana otonomi khusus pada APBN-P 2012 yang ditransfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Tawaran pemerintah
Menyadari betapa besar dan strategisnya potensi diaspora Indonesia, Presiden Yudhoyono secara langsung mengajak para perantau ini untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam pembangunan nasional. Presiden juga memberikan perhatian khusus kepada diaspora Indonesia. Sebagai contoh, Presiden telah memerintahkan untuk membentuk Desk Diaspora Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri RI.
Tidak hanya itu, Presiden juga memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk menyusun regulasi visa khusus bagi diaspora Indonesia yang telah berganti kewarganegaraan. Apapun dilakukan untuk menarik diaspora Indonesia untuk kembali ke Indonesia dan mengembangkan potensinya untuk pembangunan Indonesia.
Pernyataan Presiden ini mendapat sambutan baik dari warga diaspora yang hadir dalam pertemuan tersebut. Termasuk delegasi Dewan Perwakilan Rakyat yang turut hadir pada acara tersebut. Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso menyambut aspirasi ribuan diaspora Indonesia yang hadir dan berjanji akan memperjuangkan aspirasi mereka di Senayan.
Di tingkat kementerian, Menteri BUMN, Dahlan Iskan turut mengajak salah satu diaspora Indonesia, Dr. Danet Suryatama, lulusan Universitas Michigan, Amerika Serikat yang berprestasi di kancah internasional untuk bergabung dalam kelompok “Putra Petir”. Sebuah inisiasi untuk mengembangkan inovasi mobil listrik. Karirnya di bidang otomotif sangat cemerlang di bawah bendera Chrysler dan Mitsubishi. Danet dapat dikatakan satu dari banyak diaspora yang kembali ke Indonesia dan mengembangkan keilmuannya di dalam negeri.
Pelajaran penting
Pemberitaan mengenai Danet Suryatama dan Dahlan Iskan terkait proyek mobil listrik Tucuxi patut menjadi perhatian bagi para diaspora. Hubungan manis yang berbuah produktif berupa mobil listrik buatan lokal pun berakhir pahit dengan kecelakaan yang dialami Dahlan ketika melakukan test drive di Magetan.
Danet, seperti dikutip dari berbagai berita, sangat kecewa kepada Dahlan Iskan karena dianggap telah melanggar perjanjian dalam hal hak kekayaan intelektual mobil listrik Tuxuci ini. Mobil listrik yang diproduksi oleh Danet dan timnya di Elektrikcar, dinilai telah “dioprek” oleh pihak lain secara sengaja tanpa sepengetahuan dan izinnya.
Menurut Danet, kecelakaan yang terjadi yang diduga karena perubahan spesifikasi setelah “dioprek” sehingga Danet menyatakan tidak bertanggung jawab karena adanya perubahan spesifikasi antara mobil listrik yang diproduksi Danet dengan mobil listrik yang telah “dioprek” di tempat lain tanpa izinnya.
Bagaimana reaksi Dahlan Iskan? Seperti biasa, Dahlan tidak menanggapi serius tudingan itu dan memilih untuk terus menguji mobil mewah seharga Rp 1,5 miliar ini. Walau pada akhirnya mobil itu rusak dan tidak bisa dipakai kembali sedangkan Danet sendiri saat ini memilih untuk kembali ke Amerika Serikat.
Jika kekecewaan Danet tidak diselesaikan dengan baik, dapat berimplikasi pada menguatnya pesimisme diaspora Indonesia terhadap pemerintah Indonesia yang selama ini mereka rasakan. Benarkah pemerintah Indonesia satu suara dan all out untuk mengajak diaspora Indonesia mengembangkan potensinya di dalam negeri?
Sebenarnya ada solusi lain, yaitu inisiasi swasta untuk menggandeng diaspora ini tanpa campur tangan pemerintah. Hal ini dilakukan oleh salah satu konglomerat Indonesia, Chairul Tanjung pada saat bertemu dengan para profesional Indonesia di Silicon Valley beberapa hari setelah Kongres Diaspora di Los Angeles. Chairul menantang para profesional itu untuk menyampaikan ide-ide brilian dan jika benar berpotensi, ajakan kerja sama pun akan diberikannya.
Apapun itu, fenomena diaspora Indonesia ini sebaiknya tidak mutlak difokuskan pada kesiapan para perantau untuk mengembangkan kapasitasnya di dalam negeri saja. Tapi juga kesiapan publik Indonesia di dalam negeri dalam menerima kembali diaspora untuk pulang kampung dan beraktivitas di dalam negeri yang pastinya memiliki kultur dan budaya berbeda dengan negara tempat para diaspora beraktivitas. (Willy Sakareza)
* Penulis adalah Mahasiswa Masters Leiden University, Belanda dan Penerima Beasiswa Unggulan PKLN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
• Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.