Mapala UI Buka Jalur Baru ke Puncak Trikora
Ilustrasi |
Jakarta | Di tengah euforia masyarakat awam mendaki gunung, jauh dari ingar-bingar pemberitaan, sebuah catatan manis dibuat Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Tepat pada 27 Januari 2013, tim Mapala UI berhasil menuntaskan ekspedisi Puncak Trikora, Papua. Mereka berhasil membuat jalur baru ke Puncak Trikora melalui jalur panjat (direct climbing).
Ekspedisi ke Puncak Trikora yang berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dilakukan enam anggota Mapala UI. Mereka adalah Fandhi Achmad (Mapala senior), Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Satrya Alfandi (Fakultas Kesehatan Masyarakat, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011).
"Pendakian ke Puncak Trikora dengan cara panjat ini adalah yang pertama kali dilakukan orang. Sebelumnya, pendaki mencapai Puncak Trikora menggunakan jalur normal," kata Agi, sapaan Fandhi, yang bertindak sebagai ketua tim ekspedisi, Selasa, 12 Februari 2013, di Sekretariat Mapala UI, gedung Pusgiwa, Depok, Jawa Barat.
Dalam upaya mencapai Puncak Trikora, tim menggunakan teknik memanjat Himalaya. "Cara ini dilakukan dengan alasan lebih aman dan lebih menjamin keberhasilan," kata Agi, yang sudah dua kali ke Puncak Trikora dan enam kali ke Puncak Carstensz Pyramid.
Dalam teknik Himalaya, pemanjatan dilakukan secara bertahap, yang bisa memakan waktu beberapa hari. Begitu tim meraih ketinggian tertentu, mereka akan kembali ke kamp untuk istirahat dan dilanjutkan keesokan harinya. Ini berbeda dengan teknik Alpen, di mana pemanjat tidak kembali ke kamp, tapi menggantung di tali.
Ekspedisi yang dimulai pada Sabtu, 19 Januari 2013, ini akhirnya berbuah manis. Pada Minggu, 27 Januari 2013, sekitar pukul 13.30 waktu setempat, tim akhirnya sukses menuntaskan ekspedisi. Agi, Agung, dan Rinanda sampai ke pucuk Trikora dan kembali ke kamp lewat jalur normal. Sedangkan tiga lainnya bertugas sebagai tim cleansing yang membersihkan jalur pemanjatan dari tali-tali dan peralatan panjat lainnya. "Meskipun sempat dihantam badai salju berhari-hari, kami bersyukur tim ini berhasil menuntaskan tugasnya," kata Agi.
Di Puncak Trikora, Mapala UI Dihantam Badai Es
Ekspedisi ke Puncak Trikora yang berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dilakukan enam anggota Mapala UI. Mereka adalah Fandhi Achmad (Mapala senior), Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Satrya Alfandi (Fakultas Kesehatan Masyarakat, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011).
"Pendakian ke Puncak Trikora dengan cara panjat ini adalah yang pertama kali dilakukan orang. Sebelumnya, pendaki mencapai Puncak Trikora menggunakan jalur normal," kata Agi, sapaan Fandhi, yang bertindak sebagai ketua tim ekspedisi, Selasa, 12 Februari 2013, di Sekretariat Mapala UI, gedung Pusgiwa, Depok, Jawa Barat.
Dalam upaya mencapai Puncak Trikora, tim menggunakan teknik memanjat Himalaya. "Cara ini dilakukan dengan alasan lebih aman dan lebih menjamin keberhasilan," kata Agi, yang sudah dua kali ke Puncak Trikora dan enam kali ke Puncak Carstensz Pyramid.
Dalam teknik Himalaya, pemanjatan dilakukan secara bertahap, yang bisa memakan waktu beberapa hari. Begitu tim meraih ketinggian tertentu, mereka akan kembali ke kamp untuk istirahat dan dilanjutkan keesokan harinya. Ini berbeda dengan teknik Alpen, di mana pemanjat tidak kembali ke kamp, tapi menggantung di tali.
Ekspedisi yang dimulai pada Sabtu, 19 Januari 2013, ini akhirnya berbuah manis. Pada Minggu, 27 Januari 2013, sekitar pukul 13.30 waktu setempat, tim akhirnya sukses menuntaskan ekspedisi. Agi, Agung, dan Rinanda sampai ke pucuk Trikora dan kembali ke kamp lewat jalur normal. Sedangkan tiga lainnya bertugas sebagai tim cleansing yang membersihkan jalur pemanjatan dari tali-tali dan peralatan panjat lainnya. "Meskipun sempat dihantam badai salju berhari-hari, kami bersyukur tim ini berhasil menuntaskan tugasnya," kata Agi.
Di Puncak Trikora, Mapala UI Dihantam Badai Es
Puncak Jaya |
Kuku-kuku jari kaki Satrya Alfandi menghitam. Mulai dari jempol hingga jari kelingking semuanya berwarna gelap. Seperti semacam darah yang membeku. Tapi bukan itu yang bikin anggota Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) ini pusing. "Rasanya nyeri sekali," kata Satrya pada Tempo, Selasa, 12 Februari 2013, di Sekretariat Mapala UI, Depok, Jawa Barat.
Tapi untunglah kondisi yang dialami mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat angkatan 2010 ini menunjukkan tanda-tanda perbaikan. "Untungnya bukan frosbite, baru gejala-gejalanya saja," kata Satrya, lalu merintih. Frostbite adalah membekunya sebagian organ tubuh yang terpapar oleh suhu dingin yang berlebihan.
Satrya terkena gejala tersebut saat dirinya berada di Puncak Trikora, Papua, pada Januari lalu. Dia adalah salah satu dari enam anggota Mapala UI yang tergabung dalam ekspedisi Mapala UI ke Puncak Trikora. Selain Satrya, tim ini terdiri dari Fandhi Achmad (Mapala senior), Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011). Mereka berhasil mencapai puncak berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dengan cara memanjat (direct climbing).
Suhu yang teramat dingin di ketinggian adalah penyebab utama frosbite. "Apalagi saat kami memanjat, sering terjadi hujan es," kata Satrya. Kalau saja dia sampai terkena frosbite, mau tak mau jari-jarinya harus diamputasi. "Bila tidak, saraf-saraf yang membusuk akan menyebar ke bagian tubuh lain. Dan itu lebih membahayakan," kata Fandhi, ketua tim ekspedisi.
Sebenarnya, hujan es di Puncak Trikora jarang terjadi. "Berbeda dengan Carstensz Pyramid, yang selalu diliputi salju, Puncak Trikora ini jarang diliputi es," kata Agi, sapaan Fandhi. Agi sudah pernah ke dua puncak tersebut sebelumnya. Dia enam kali ke Carstensz Pyramid dan dua kali ke Puncak Trikora. "Saat pertama kali ke Trikora dulu, saya enggak nemu es. Enggak tahu kenapa sekarang nemu," kata pria 30 tahun itu.
Upaya tim Mapala UI membuka jalur baru baru melalui panjat memang tidak mudah. Selain hujan es saat pemanjatan, beberapa kali mereka juga dihantam badai es. Puncaknya adalah Selasa dinihari, 26 Januari 2013, saat badai meluluhlantakkan kemah-kemah mereka. Namun, berbekal semangat pantang menyerah, mereka terus melanjutkan ekspedisi.
Ternyata, bukan cuma Satrya yang merasakan sakit khas pegunungan, Agi pun mendapatkannya. Tepat saat dia berhasil meraih Puncak Trikora keesokan harinya, pria 30 tahun ini mengalami snow blind alias buta salju. Ternyata dia lupa pakai kacamata. Tak pelak, angin yang bertiup kencang, yang mengandung salju, di puncak sana membuat matanya perih luar biasa. "Dibuka perih, ditutup perih, enggak bisa melihat apa-apa. Hampir seharian mata saya kedip-kedip," Agi menceritakan.
Begini Persiapan Mapala UI Memanjat Puncak Trikora
Tapi untunglah kondisi yang dialami mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat angkatan 2010 ini menunjukkan tanda-tanda perbaikan. "Untungnya bukan frosbite, baru gejala-gejalanya saja," kata Satrya, lalu merintih. Frostbite adalah membekunya sebagian organ tubuh yang terpapar oleh suhu dingin yang berlebihan.
Satrya terkena gejala tersebut saat dirinya berada di Puncak Trikora, Papua, pada Januari lalu. Dia adalah salah satu dari enam anggota Mapala UI yang tergabung dalam ekspedisi Mapala UI ke Puncak Trikora. Selain Satrya, tim ini terdiri dari Fandhi Achmad (Mapala senior), Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011). Mereka berhasil mencapai puncak berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dengan cara memanjat (direct climbing).
Suhu yang teramat dingin di ketinggian adalah penyebab utama frosbite. "Apalagi saat kami memanjat, sering terjadi hujan es," kata Satrya. Kalau saja dia sampai terkena frosbite, mau tak mau jari-jarinya harus diamputasi. "Bila tidak, saraf-saraf yang membusuk akan menyebar ke bagian tubuh lain. Dan itu lebih membahayakan," kata Fandhi, ketua tim ekspedisi.
Sebenarnya, hujan es di Puncak Trikora jarang terjadi. "Berbeda dengan Carstensz Pyramid, yang selalu diliputi salju, Puncak Trikora ini jarang diliputi es," kata Agi, sapaan Fandhi. Agi sudah pernah ke dua puncak tersebut sebelumnya. Dia enam kali ke Carstensz Pyramid dan dua kali ke Puncak Trikora. "Saat pertama kali ke Trikora dulu, saya enggak nemu es. Enggak tahu kenapa sekarang nemu," kata pria 30 tahun itu.
Upaya tim Mapala UI membuka jalur baru baru melalui panjat memang tidak mudah. Selain hujan es saat pemanjatan, beberapa kali mereka juga dihantam badai es. Puncaknya adalah Selasa dinihari, 26 Januari 2013, saat badai meluluhlantakkan kemah-kemah mereka. Namun, berbekal semangat pantang menyerah, mereka terus melanjutkan ekspedisi.
Ternyata, bukan cuma Satrya yang merasakan sakit khas pegunungan, Agi pun mendapatkannya. Tepat saat dia berhasil meraih Puncak Trikora keesokan harinya, pria 30 tahun ini mengalami snow blind alias buta salju. Ternyata dia lupa pakai kacamata. Tak pelak, angin yang bertiup kencang, yang mengandung salju, di puncak sana membuat matanya perih luar biasa. "Dibuka perih, ditutup perih, enggak bisa melihat apa-apa. Hampir seharian mata saya kedip-kedip," Agi menceritakan.
Begini Persiapan Mapala UI Memanjat Puncak Trikora
Ilustrasi |
Melakukan ekspedisi ke Puncak Trikora, Papua, bukan perkara gampang. Selain sebagai puncak tertinggi kedua di Indonesia setelah Carstensz Pyramid, metode memanjat (direct climbing) yang dipilih tim ekspedisi Puncak Trikora Mapala UI sudah pasti harus dipersiapkan secara matang. Tak heran jika ekspedisi ini dipersiapkan berbulan-bulan.
Menurut ketua tim ekspedisi, Fandhi Ahmad, persiapan ke puncak berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dilakukan sejak Oktober 2012. Di antara sejumlah persiapan lainnya, persiapan personel tim ekspedisi yang akan berangkat juga cukup penting. Kesiapan fisik dan kemampuan panjat tebing adalah syarat utama untuk bergabung dalam tim.
Pada tahap awal, anggota Mapala UI yang berlatih mencapai sekitar 20 orang. "Namun, karena pertimbangan anggaran dan kesiapan personel, akhirnya tim yang diberangkatkan enam orang," kata Agi, sapaan Fandhi, Selasa, 12 Februari 2013, di Sekretariat Mapala UI, gedung Pusgiwa, Depok, Jawa barat.
Selain Agi, tim ekspedisi terdiri dari Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011). Persyaratan ketat dilalui keenam orang tersebut.
Latihan fisik dimulai dari menguji ketahanan (endurance) dan kekuatan (power). Dengan latihan yang terukur dan teratur, mereka jogging, pull up, sit up, dan latihan-latihan fisik lainnya. Salah satu parameter yang digunakan dalam penentuan personel tim adalah VO2 Max minimal. "Untuk laki-laki, VO2 Max minimalnya adalah 52, sementara untuk perempuan minimal 48," kata Agi.
VO2 Max merujuk kepada banyaknya jumlah oksigen selama eksersi (aktivitas fisik) maksimum. Semakin tinggi VO2 Max seseorang, semakin lama orang tersebut merasa kelelahan ketika beraktivitas.
Selain kesiapan fisik, kemampuan panjat tebing juga dipersiapkan. "Karena ekspedisi ini dilakukan dengan cara panjat, grade kemampuan panjat tim minimal 5.10," kata Agi. Grade ini mengukur kemampuan panjat seseorang pada tingkat kesukaran tebing.
Mereka pun berlatih pada sejumlah tebing di Jawa Barat. "Di antaranya tebing di Ciampea dan Citatah," Agung menambahkan.
Dengan persiapan-persiapan yang matang, mereka pun bertolak dari Jakarta ke Papua pada 19 Januari 2013. Tepat pada 27 Januari sekitar pukul 13.30 waktu setempat, mereka berhasil mencapai Puncak Trikora dengan memanjat. "Mencapai Puncak Trikora dengan memanjat ini adalah yang pertama dilakukan di dunia," kata Agi.
Menurut ketua tim ekspedisi, Fandhi Ahmad, persiapan ke puncak berketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut itu dilakukan sejak Oktober 2012. Di antara sejumlah persiapan lainnya, persiapan personel tim ekspedisi yang akan berangkat juga cukup penting. Kesiapan fisik dan kemampuan panjat tebing adalah syarat utama untuk bergabung dalam tim.
Pada tahap awal, anggota Mapala UI yang berlatih mencapai sekitar 20 orang. "Namun, karena pertimbangan anggaran dan kesiapan personel, akhirnya tim yang diberangkatkan enam orang," kata Agi, sapaan Fandhi, Selasa, 12 Februari 2013, di Sekretariat Mapala UI, gedung Pusgiwa, Depok, Jawa barat.
Selain Agi, tim ekspedisi terdiri dari Agung Rudiarto (Fakultas Hukum angkatan 2010), M. Rinanda (Fakultas MIPA, 2010), Ridwan Hakim (Fakultas MIPA, 2010), dan Ina Diana (program ekstensi UI, 2011). Persyaratan ketat dilalui keenam orang tersebut.
Latihan fisik dimulai dari menguji ketahanan (endurance) dan kekuatan (power). Dengan latihan yang terukur dan teratur, mereka jogging, pull up, sit up, dan latihan-latihan fisik lainnya. Salah satu parameter yang digunakan dalam penentuan personel tim adalah VO2 Max minimal. "Untuk laki-laki, VO2 Max minimalnya adalah 52, sementara untuk perempuan minimal 48," kata Agi.
VO2 Max merujuk kepada banyaknya jumlah oksigen selama eksersi (aktivitas fisik) maksimum. Semakin tinggi VO2 Max seseorang, semakin lama orang tersebut merasa kelelahan ketika beraktivitas.
Selain kesiapan fisik, kemampuan panjat tebing juga dipersiapkan. "Karena ekspedisi ini dilakukan dengan cara panjat, grade kemampuan panjat tim minimal 5.10," kata Agi. Grade ini mengukur kemampuan panjat seseorang pada tingkat kesukaran tebing.
Mereka pun berlatih pada sejumlah tebing di Jawa Barat. "Di antaranya tebing di Ciampea dan Citatah," Agung menambahkan.
Dengan persiapan-persiapan yang matang, mereka pun bertolak dari Jakarta ke Papua pada 19 Januari 2013. Tepat pada 27 Januari sekitar pukul 13.30 waktu setempat, mereka berhasil mencapai Puncak Trikora dengan memanjat. "Mencapai Puncak Trikora dengan memanjat ini adalah yang pertama dilakukan di dunia," kata Agi.
● Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.