blog-indonesia.com

Kamis, 01 Januari 2015

Kisah Pilot Garuda Lolos Awan Badai dengan Pesawat Crash

Pesawat Garuda Indonesia. (Reuters/Beawiharta)

Pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura hilang kontak tak lama setelah menghindari awan kumulonimbus Minggu pagi (28/12). Ada dugaan pesawat tersebut gagal menghindar dari awan badai yang menjulang 52 ribu kaki di langit di atas perairan antara Tanjung Pandan dan Pontianak.

Bila itu terjadi, pun bukan kali pertama ada pesawat yang memasuki kumulonimbus. Seorang pilot Garuda Indonesia, Abdul Rozaq, berbagi kisah saat pesawat yang ia piloti terjebak di tengah awan badai dan putus komunikasi dengan menara pemantau lalu-lintas udara atau air traffic controller (ATC) bandara.

Rozaq adalah pilot dari pesawat Garuda Indonesia 421 yang mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah, 16 Januari 2002. Saat itu satu awak kabin tewas, 12 penumpang mengalami luka berat, dan 10 penumpang luka ringan. Namun Rozaq lolos dari maut dan hingga kini setia pada profesinya sebagai pilot.

Pendaratan darurat GA 421 ketika itu diawali dengan cuaca buruk di langit sekitar Solo. Kumulonimbus menghadang laju pesawat. Boeing 737-200 yang dipiloti Rozaq tak bisa menghindar dari awan badai itu. Pesawat itu tak bisa bermanuver ke kanan atau ke kiri.

“Saat itu di kanan pesawat ada gunung. Jadi mau-tidak mau saya harus masuk awan kumulonimbus. Peristiwa berlangsung cepat,” ujar Rozaq mengenang pengalaman pahitnya di Kantor Otoritas Bandara Wilayah 1 Soekarno-Hatta, Senin malam (29/12).

GA 421 waktu itu menempuh rute Mataram-Yogyakarta. Ketinggian pesawat 23 ribu kaki. Saat masuk kumulonimbus, GA 421 sudah tak bisa berkomunikasi dengan ATC terdekat. Rozaq kehilangan pemandu di darat. Dia harus mengambil keputusan apapun seorang diri.

“Saya mengendarai pesawat secara manual karena komunikasi terputus. Pesawat lalu turun hingga ketinggian 7 ribu kaki hanya dalam waktu lima menit. Pada ketinggian itu, saya bisa melihat ada sungai,” kata pria 58 tahun itu. Ia belakangan tahu sungai itu adalah Bengawan Solo.

GA 421 pun mendarat darurat di Bengawan Solo, crash. Rozaq beruntung karena lolos dari maut. Namun satu krunya harus meregang nyawa meski semua penumpang selamat. Pengalaman buruk itu membuat Rozaq memberi sedikit pesan kepada rekannya sesama pilot jika suatu saat menghadapi situasi yang sama dengan dia.

“Saat masuk kumulonimbus, pilot harus mencari gumpalan awan paling tipis agar lebih mudah dilewati dan turbulensi yang terjadi tidak begitu besar,” ujar pilot dengan 26 ribu jam terbang itu.

Kumulonimbus memiliki karakteristik beragam. Awan yang dihadapi Rozaq ketika itu, menurutnya, sangat besar dan tebal. Untuk menghindari kumulonimbus, ujar Rozaq, paling aman dengan menggeser pesawat ke kanan atau ke kiri, bukan dengan menaikkan ketinggian pesawat, sebab kumulonimbus biasanya menjulang tinggi.(agk)

  ★ CNN  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More