blog-indonesia.com

Senin, 26 Januari 2015

Berita Sekitar Kilang Pertamina

Penyebab Kilang Pertamina Hanya Bisa Olah Kilang Mahal imageIndonesia memiliki 6 kilang minyak yang dikelola PT Pertamina (Persero). Namun sayangnya, kilang ini hanya mampu mengolah minyak yang harganya mahal jenis sweet crude. Sementara di pasar minyak, stok paling banyak tersedia adalah jenis sour crude.

Vice President Strategic Planning, Business Development, and Operation Risk Direktorat Pengolahan Pertamina Achmad Fathoni Mahmud mengakui, kilang-kilang Indonesia saat ini hanya mampu mengolah jenis minyak sweet crude.

"Pasalnya, desain awal kilang minyak Indonesia atau Pertamina dibangun berdasarkan jenis minyak yang ada di perut bumi Indonesia," kata Fathoni di acara Workshop Direktorat Pengolahan Pertamina di Sentul, Bogor, akhir pekan lalu.

Fathoni mengatakan, kilang minyak Indonesia ada yang dibangun pada masa kolonial Belanda yaitu pada 1992 atau 1935. Saat itu, Indonesia banyak memproduksi minyak dengan jenis sweet crude dengan kadar sulfur (belerang) di bawah 1%.

"Dulu kita bahkan bisa ekspor karena produksi kita banyak sekali. Sayangnya seiring perjalanan waktu produksi minyak kita terus turun, bahkan produksi kita tinggal mengais-ngais di bebatuan. Minyak yang didapat sulfurnya juga cukup tinggi," ungkapnya.

Tidak hanya di Indonesia, jenis minyak sweet crude ini di pasar minyak Internasional makin hari makin sedikit. Tentunya membuat harganya menjadi mahal.

"Yang banyak sekarang justru jenis minyak sour crude. Jenis minyak ini asam, sulfirnya tinggi lebih dari 1-3%. Kilang kita belum dapat mengolah jenis minyak ini. Kilang yang bisa olah minyak ini kilang modern seperti di Singapura dan Amerika," jelas Fathoni.

Desain kilang milik Pertamina, lanjut Fathoni, hampir seluruhnya menggunakan bahan dasar besi. Bukan alumunium seperti di Singapura.

"Bila kilang kita dipaksakan mengolah minyak sour akan bahaya, berkarat semua. Bisa bocor di mana-mana, bahkan bisa meledak," ungkapnya.

Agar kilang minyak makin fleksibel dan bisa memproduksi minyak yang sulfurnya tinggi, saat ini Pertamina sedang mengerjakan program Refinery Development Masterplan Program (RDMP). RDMP diproyeksikan akan mendongkrak kapasitas pengolahan minyak mentah dari posisi saat ini sekitar 820.000 barel/hari (bph) menjadi 1,68 juta bph atau dua kali lipat.

Fleksibilitas kilang juga meningkat, yang di antaranya ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mengolah minyak mentah dengan tingkat kandungan sulfur setara 2%. Saat ini, kandungan sulfur pada minyak mentah yang dapat ditoleransi hanya 0,2%.

Dengan kompleksitas tinggi, produksi bahan bakar yang dihasilkan akan naik sekitar 2,5 kali lipat dari 620.000 bph saat ini menjadi 1,52 juta bph dengan produk utama gasoline dan diesel. Produk-produk tersebut akan memiliki kualitas tinggi yang memenuhi standar Euro IV.
Penyebab Kegagalan RI Bangun Kilang Minyak imageSudah 20 tahun Indonesia tidak pernah membangun kilang minyak baru. Bahkan saat ini ada kilang minyak yang masih beroperasi merupakan 'warisan' dari era kolonial Belanda.

Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Rachmad Hardadi mengatakan, sudah banyak sekali investor yang datang ke Indonesia ingin membangun kilang. Namun ujungnya selalu gagal.

"Investor itu banyak yang mau bangun kilang minyak di Indonesia. Karena produksinya sudah pasti terserap seluruhnya," ujar Rachmad dalam Workshop Direktorat Pengolahan Pertamina di Sentul, Bogor, akhir pekan lalu.

Pasalnya, saat ini kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional mencapai 1,3-1,5 juta barel/hari. Sementara kilang Pertamina hanya memiliki kapasitas terpasang 1,03 juta barel. Tapi karena teknologinya sudah lama, minyak mentah yang diolah maksimal sekitar 800.000 barel/hari.

Rachmad mengungkapkan, sebenarnya masalah dalam pembangunan kilang bukan soal insentif. Menurutnya, sulitnya Indonesia memiliki kilang baru lebih disebabkan hambatan lahan.

"Yang buat gagal bangun kilang itu karena setiap kita umumkan lokasinya, sementara tanahnya belum bebas, pastinya harganya langsung melonjak dan proyek kilang jadi tidak ekonomis. Seperti dulu kita mau bangun kilang di Gresik dan Banten, harganya tanah di sana (lokasi kilang) langsung melonjak. Makanya, kalau mau sukses bangun kilang jangan diumumkan lokasinya," ungkap Rachmad.

Rachmad menambahkan, apabila tidak melakukan apa-apa, baik meremajakan kilang yang ada atau membangun kilang baru, maka pada 2025 Indonesia akan sangat tergantung pada impor BBM.

"Saat ini kebutuhan bensin Premium kita mencapai 39 juta kiloliter (kl)/tahun, tapi yang hanya mampu disediakan dalam negeri hanya 13 juta kl. Begitu juga untuk Solar, kebutuhannya 34 juta kl/tahun, yang mampu dipasok dalam negeri hanya 19 juta kl/tahun. Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka pada 2025 kebutuhan bensin kita diperkirakan mencapai 77 juta kl/tahun dan 64 juta kl/tahun dipasok dari impor. Hal yang sama juga terjadi pada diesel, pada 2025 kebutuhannya diperkirakan 54 juta kl/tahun sehingga akan ketergantungan impor sebanyak 35 juta kl/tahun," terangnya.

Sebagai antisipasi dari ancaman yang sudah nyata tersebut, Pertamina melakukan 2 langkah. Pertama melakukan peremajaan dan penambahan kapasitas kilang yang ada saat ini melalui program Refinery Development Master Plan (RDMP).

"Total dana yang dibutuhkan untuk meningkatkan performa 5 kilang yakni Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, dan Balongan mencapai US$ 25 miliar (Rp 300 triliun). Sudah dimulai proyeknya dan akan selesai pada 2025. Sehingga kapasitas pengolahan dari 820.000 barel/hari menjadi 1,68 juta barel/hari," kata Rachmad.

Kedua, membangun kilang di Bontang (Kalimantan Timur) dengan investasi diperkirakan sekitar US$ 10 miliar (Rp 120 triliun) dengan kapasitas 1 x 300.000 barel/hari.

"Kenapa di Bontang, karena tanahnya sudah bebas 150 hektar, sudah siap. Mei akan dimulai feasibility study. Tapi sebenarnya idealnya kita harus punya 3 kilang baru, kita fokusnya bisa selesainya kilang di Bontang ini. Selain tanah, di sana sudah memiliki fasilitas infrastruktur lainnya mulai dari pelabuhan, bandara, rumah sakit dan lainnya, sehingga investasi bisa kurang dari US$ 10 miliar. Tapi untuk bangun kilang baru belum ada fasilitas seperti di Bontang biayanya US$ 10 miliar," jelas Rachmad.
Kilang TPPI Begitu 'Seksi' Buat RI Pemerintah saat ini sedang berusaha menyelesaikan permasalahan hukum dan utang yang menumpuk pada kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Pasalnya, bila bisa dioperasikan maka Indonesia bisa menghapuskan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON 88 alias Premium.

"Kilang TPPI ini sangat 'seksi', sangat penting untuk saat ini. Dengan fasilitas kilang ini, seandainya bisa dioperasikan Pertamina, maka tidak ada lagi produksi Premium 88," kata Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Rachmad Hardadi dalam Workshop Direktorat Pengolahan di Sentul, Bogor, akhir pekan lalu.

Rachmad mengatakan, Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang dipimpin Faisal Basri telah merekomendasikan agar Indonesia tidak lagi menggunakan bensin Premium. Saat ini di dunia sangat jarang dijual bensin RON 88, sehingga kalau ada itu harus dipesan khusus dan harganya mahal.

"Pertanyaannya, bisa nggak dalam 5 bulan sesuai rekomendasi Tim Reformasi, Pertamina memproduksi BBM seluruhnya minimal RON 92? Jawabannya, kalau dengan infrastruktur yang dimiliki Pertamina saat ini, tentunya tidak bisa," ucap Rachmad.

Rachmad menjelaskan, kebutuhan gasoline (Pertamax, Premium, dan Pertamina Dex) nasional saat ini mencapai 16 juta barel/bulan. Dari jumlah tersebut, hanya 6 juta barel/bulan yang bisa disediakan dari dalam negeri.

"Dari produksi 6 juta barel/bulan tersebut, 5,7 juta barel merupakan Premium RON 88. Sisanya 300.000 barel/bulan itu produksi RON 92 dan 95," ungkapnya.

"Bagaimana bisa mengubah 5,7 juta barel tersebut jadi Pertamax 92? Kalau dengan infrastruktur yang dimiliki Pertamina saat ini tidak bisa. Itu baru bisa dilakukan setelah program RDMP (Refinery Development Master Plan) kilang Pertamina selesai pada 2025," tambahnya.

Rachmad menambahkan, ada opsi lain yang sangat 'seksi' tadi yakni menggunakan fasilitas kilang TPPI. Apalagi kilang ini menganggur namun lengkap fasilitasnya. Dengan memanfaatkan kilang ini, maka seluruh produksi gasoline bisa menjadi RON 92 alias Pertamax.

"Kita ngomong seandainya ya. Kilang TPPI bisa dioperasikan Pertamina, maka 5,7 juta barel Premium tadi bisa diubah jadi Pertamax. Kita punya produksi nafta yang cukup banyak, sampai-sampai harus diekspor karena penampungannya tidak cukup. Dari produksi nafta saat ini, 55%-nya bisa diubah jadi Pertamax dengan fasilitas TPPI," jelasnya.

Dengan menggunakan kilang TPPI, demikian Rachmad, maka Pertamina bisa menghapus Premium dalam 5 bulan saja. Jauh lebih cepat dari instruksi pemerintah, yaitu maksimal 2 tahun.

"Tidak perlu menunggu 2 tahun atau 2025, 5 bulan pun kita siap produksi Pertamax seluruhnya. Tapi kalau tidak, 5,7 juta barel tadi mau diapakan?" tuturnya.

  detik  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More