blog-indonesia.com

Kamis, 26 April 2012

Pemerintah Abaikan Penelitian Dasar

Ilustrasi
JAKARTA--MICOM: Pemerintah dan masyarakat awam tidak sadar bahwa penelitian dasar, seperti identifikasi spesies baru, memiliki fungsi penting di masa datang. Lantaran itu, pemerintah enggan mengucurkan anggaran penelitian dasar.

"Pemerintah maunya membiayai yang langsung jadi (aplikatif). Padahal penelitian dasar itu penting karena ke depannya bisa dikembangkan untuk keperluan manusia," kata Prof. Lukman Hakim, Ph.D di sela Workshop dan Diseminasi "Hasil Kerjasama LIPI di Bidang Lingkungan dan Energi" di Jakarta, Rabu(25/4).

Wakil Ketua LIPI Prof. Dr. Endang Sukara menambahkan kesadaran bersama tentang hal ini harus ditumbuhkan. Ia mencontohkan tentang penelitian mikroba yang menjadi bahan dasar antibiotik.

"Antibiotik yang ada saat ini, 90% nya dibuat dari jenis mikroba ini. Sedangkan sudah banyak sekali penyakit yang resisten terutama TBC. Kita harus menemukan jenis mikroba baru untuk sumber antibiotik lainnya," jelasnya.

Dengan anggaran yang hanya 0,03%, sulit bagi LIPI untuk meneliti secara mandiri. Maka LIPI banyak bekerja sama dengan negara lain. Lukman tak menampik bahwa kerja sama ini mendatangkan banyak keuntungan untuk Indonesia meskipun perlu ekstra hati-hati.

"Pemotongan anggaran untuk LIPI sebesar 10% sangat berdampak terhadap perkembangan penelitian. Ada pos-pos yang anggarannya tak mungkin dipotong. Akibatnya, untuk penelitian biologi saja jadi berkurang sekitar 80%," ujarnya.

Kerja sama dengan asing pun tetap membutuhkan dana besar. karena LIPI dianggap mitra sejajar. Beda dengan 30 tahun lalu, dimana Indonesia masih kategori negara underdevelop, dana hibah dari asing biasanya diberikan sangat besar.

Terlepas dari keterbatasan anggaran ini, Lukman tetap mengupayakan pembangunan museum culture biodiversity yang akan didirikan di Cibinong.

"Ini akan jadi tempat penyimpanan dan perawatan sampel biodiversity kita. Jadi tidak perlu menitip di negara lain," tandasnya. Lukman menambahkan jika menitip sampel di Singapura, biaya per tahunnya mencapai US$600 dolar.

Selain itu, museum itu akan memudahkan para peneliti Indonesia untuk mengidentifikasi hasil temuan mereka. Selama ini, untuk mengidentifikasi spesimen tertentu harus para peneliti harus keliling museum-museum di luar negeri. Sampel hasil penelitian Indonesia saat ini banyak terpencar di luar negeri karena Indonesia tidak mampu menyimpannya. (*/X-13)

MediaIndonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More