blog-indonesia.com

Senin, 26 Maret 2012

LIPI Mengoptimalkan Biogas

Pemerintah membawa masyarakat memasuki era elpiji sejak tahun 2009. Di sisi lain, hal itu menciptakan ketergantungan terhadap elpiji impor sampai 66,6 persen. Peneliti pada Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika LIPI merekayasa teknologi bioelektrik sederhana dengan biogas. Meski bukan hal baru, penerapannya masih belum optimal.

Melalui penampungan limbah jamban penduduk secara komunal, peternak sapi dengan tiga ekor sapi bisa memproduksi listrik dan bahan bakar kompor secara mandiri,” kata Kepala Subbidang Sarana Rekayasa Tenaga Listrik dan Mekatronika pada Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika (Telimek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aep Saepudin, Kamis (23/2), di Bandung, Jawa Barat.

Banyak pengembang permukiman mengabaikan tampungan limbah jamban. Tampungan limbah dirancang individual setiap rumah, bahkan banyak di antaranya dirancang meresap ke dalam tanah, sehingga berpotensi menyebarkan bakteri merugikan.

Jika saja tampungan limbah dari 50 jamban dipadukan, niscaya bisa memproduksi biogas. Pemanfaatannya bisa untuk memproduksi listrik untuk penerangan jalan umum atau kepentingan lain menggunakan genset biogas alias bioelektrik.

Peternak sapi yang membuang begitu saja kotoran sapinya bisa merasakan manfaat pembuatan biogas. Keuntungannya, tidak hanya biogas untuk bahan bakar, tetapi juga mendapat pupuk organik, demikian Aep. Pemanfaatan limbah untuk biogas juga membebaskan lingkungan dari bau kotoran sapi sehingga diperoleh udara bersih.

Limbah kotoran sapi yang tak diolah melepaskan gas metana yang mempunyai daya rusak bagi atmosfer 21 kali lipat daripada karbon dioksida. Gas metana adalah biogas. Ketika digunakan untuk bahan bakar, komposisi emisinya tidak lagi metana, tetapi menjadi karbon dioksida.

Pemasaran

Aep mengatakan, untuk mengoptimalkan penerapan teknologi bioelektrik, dibutuhkan pemasaran perangkatnya secara gencar. Caranya lewat pameran LIPI Expo 2011 akhir tahun lalu di Jakarta.

”Peralatan teknologi bioelektrik bisa diperoleh di Koperasi LIPI Bandung,” kata Aep.

Perangkat itu antara lain digester fiberglass (penampung limbah sebagai reaktor biogas) serta genset bensin dan solar yang dikonversi untuk biogas. Di katalog invensi LIPI dinyatakan, harga digester untuk kapasitas 3 meter kubik senilai Rp 5,5 juta, kapasitas 5 meter kubik Rp 8,5 juta, kapasitas 7 meter kubik Rp 11,5 juta, dan kapasitas 9 meter kubik Rp 14,5 juta.

Genset biogas yang disediakan untuk kapasitas produksi listrik 1.000 watt senilai Rp 4 juta, kapasitas listrik 2.500 watt Rp 5 juta, dan kapasitas listrik 5.000 watt Rp 8 juta.

Menurut Aep, teknologi bioelektrik bukan lagi invensi (temuan dari hasil riset), melainkan sudah menjadi inovasi yang mampu menciptakan sistem nilai ekonomi baru.

Aep mencontohkan, berkat bioelektrik, Pondok Pesantren Saung Balong Majalengka, Jawa Barat, bisa menikmati ribuan watt listrik dari jamban komunal. Selain itu, para peternak sapi di Desa Giri Mekar, Kabupaten Bandung, juga menerapkan teknologi bioelektrik untuk menghasilkan listrik dan bahan bakar kompor.

”Penerapan teknologi bioelektrik dengan perangkat digester fiberglass termasuk mudah dan sederhana,” kata Aep.

Substitusi elpiji

Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Unggul Priyanto mengatakan, ketergantungan terhadap elpiji impor mendorong penciptaan substitusi elpiji secara mandiri oleh masyarakat.

Masyarakat yang sudah memasuki era elpiji akan terbebani ketika konsumsi elpiji terus meningkat, sedangkan pemenuhan kebutuhan makin menipis.

”Elpiji dapat diperoleh dari gas alam, tetapi dalam jumlah sedikit, sekitar 8 persen. Begitu pula dari kilang minyak bumi hanya 8 persen,” kata Unggul.

Ia mengatakan, ketersediaan elpiji di tingkat dunia tidak besar. Berbagai negara maju umumnya tidak menggunakan elpiji untuk konsumsi rumah tangga, tetapi gas alam.

”Gas alam ketika disalurkan ke permukiman masyarakat kota sering disebut gas kota. Cara ini sebetulnya yang paling murah dan efisien,” kata Unggul.

Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi BPPT MAM Oktaufik menambahkan, seperti dituangkan BPPT pada buku Outlook Energi Indonesia 2011, pada tahun 2011 tingkat kebutuhan elpiji 6,4 juta ton. Di sisi lain, jumlah produksi 2,2 juta ton. Perkiraan kebutuhan elpiji pada tahun 2020 mencapai 9 juta ton. Adapun jumlah produksi hanya 2,5 juta ton.

Karena itu, penerapan teknologi bioelektrik dengan biogas secara sederhana oleh masyarakat diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan elpiji impor.

Meski teknologinya berkapasitas kecil-kecil, bila penerapannya masif, akan mendukung kemandirian dan ketahanan energi, demikian Oktaufik. (Kompas, 2 Maret 2012/ humasristek)


Ristek

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More