Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi penghitungan karbon yang dibutuhkan dalam implementasi REDD+ atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

"Peralatan ini berupa fiber ethalon solar yang kami namakan Nafas Bumi. Alat ini akan menghitung secara kuantitatif karbon di udara dengan memanfaatkan panjang gelombang matahari," kata perekayasa Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam BPPT, Dr Muhammad Evri di Jakarta, Jumat.

Selama ini, lanjut dia, Indonesia belum memiliki alat yang mampu menghitung emisi karbon di lahan maupun hutan, sehingga sulit bagi Indonesia berargumen di dunia internasional terkait dana-dana kompensasi pemeliharaan hutan semacam REDD.

Alat penghitung karbon ini, jelasnya, mengandalkan sinar matahari (spektral) yang terpantul dan ditangkap sensor, lalu tercatat panjang gelombangnya dalam suatu grafik untuk dianalisis, hasilnya berupa sebaran konsentrasi karbon secara spasial di suatu kawasan yang dipantau, urainya.

Karbon yang dianalisis terdiri dari CO2 dan CH4. CO2, urainya, memiliki panjang gelombang antara 1,55-1,6 mikrometer dan CH4 memiliki panjang gelombang 1,65-1,7 mikrometer yang memperlihatkan konsentrasi karbon.

"Saat ini BPPT masih bermitra dengan Jepang mengembangkan sistem ini, tapi alat ini mudah dibuat sendiri. Alat ini adalah alat pertama yang kita miliki untuk menghitung karbon," katanya.

Sedangkan untuk penghitungan karbon di permukaan lahan, digunakan sensor CO2 yang bisa dibawa dengan balon udara atau pesawat nirawak yang dirancang sendiri oleh BPPT, lalu kemudian datanya diunduh untuk dianalisis.

Diingatkannya bahwa Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca 26 persen sampai 2020, dan 41 persen dengan dukungan donor, dan itu berarti tinggal sembilan tahun lagi.

"Hitungan kasar emisi karbon Indonesia kalau saja tidak ada upaya untuk menghambatnya, tumbuh dari 2,1 ke 3,3 GtCO2e antara 2005 sampai 2030. Angka itu besar sekali," katanya.

Evri juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mengembangkan Sistem Informasi Kebakaran Hutan Berbasis Keruangan (Siarang) untuk deteksi dini kebakaran hutan yang mengandalkan partisipasi masyarakat.

"Masyarakat dengan ponselnya kapan saja bisa melaporkan adanya titik api ke Neonet, sistem milik BPPT yang langsung meresponnya dengan memetakan distribusi kebakaran sehingga regu pemadam kebakaran yang dibentuk masyarakat langsung bergerak," katanya.(T.D009/Z002)


Antaranews