blog-indonesia.com

Senin, 31 Januari 2011

Bahan Tambang Bukan Sekadar Komoditas

Illustrasi

Jakarta, Kompas
- Pengelolaan pertambangan di Indonesia masih memandang sumber daya mineral, minyak, gas, dan batu bara sebagai komoditas semata. Dalam kerangka pengelolaan seperti itu, Indonesia terjebak menjadi negara pemasok bahan tambang dunia, mengekstraksi berbagai sumber daya tanpa perencanaan.

Hal itu dinyatakan pengajar di Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, selaku pembicara dalam diskusi ”Nasib Pesisir Jawa dan Sumatera dalam Gempuran Tambang” yang diselenggarakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta, Minggu (30/1).

Menurut Tarsoen, pengelolaan pertambangan tidak didasarkan pada perhitungan seberapa banyak kita harus menambang, sampai kapan sebuah lokasi harus ditambang.

”Semua hanya didasarkan potensi cadangan mineral dan bahan tambang belaka. Perencanaan adalah menghitung bahan tambang sebagai modal, berapa ekstraksi yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat lokal, dan memacu pertumbuhan ekonomi yang merata. Lalu berapa cadangan potensi tambang yang harus disisakan untuk masa depan. Itu semua tidak pernah direncanakan,” kata Tarsoen.

Tarsoen mencontohkan penambangan konsentrat emas, perak, dan tembaga di Kabupaten Mimika, Papua, oleh perusahaan multinasional. ”Tidak ada hitungan berapa penambangan yang dibutuhkan untuk membuat masyarakat Papua berdaya dan sejahtera. Kita bahkan tidak bisa menjawab berapa potensi tambang yang tersisa di Mimika ketika orang asli Papua telah berdaya mengelola sendiri tambang itu,” katanya.

Kasus penambangan besi di Cilacap, Jawa Tengah, pun menghasilkan potret serupa. Menurut dia, pasir besi di Cilacap ditambang sejak 1973 hingga sekarang. Sejumlah pantai di Cilacap turun 90 sentimeter, muara sungai berpindah karena gempuran tambang pasir besi. Sedimentasi sungai dan laut, meningkatkan abrasi pantai utara Jawa, merusak tanaman mangrove.

Zenzi Suhadi, juru pengampanye pasir besi Jatam, menyatakan, penambangan pasir besi di pesisir barat Pulau Sumatera meningkatkan risiko bencana warga sekitar tambang. ”Di pesisir barat Sumatera setiap empat bulanan ada Badai Geloro. Sejak ada penambangan pasir besi, badainya menerjang sampai ke permukiman yang dahulu aman dari terjangan badai itu,” kata Zenzi.

Manfaat ekonomi penambangan pasir besi dinilai Zenzi terlalu rendah dibandingkan kerusakan ekologis yang ditimbulkan. ”Tambang di Kabupaten Seluma, Bengkulu, menghasilkan 20.000 ton pasir besi dengan mengeruk 1 juta meter kubik pasir pantai, menggali garis pantai sepanjang 3 kilometer hingga selebar 50 meter, sedalam 7 meter. Perusahaan tambang mengantongi pendapatan kotor 1,9 juta dollar AS. Namun, royalti yang dibayarkannya hanya Rp 209 juta dan pendapatan asli daerah hanya Rp 10 juta. Padahal, tambang itu menghancurkan akses jalan hingga membuat warga terasing,” katanya.

Pengampanye emas Jatam, Hendrik Siregar, menyatakan, penambangan akan semakin marak di Indonesia. ”Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 menyatakan pertambangan akan menjadi tumpuan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Siregar. (ROW)


KOMPAS

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More