blog-indonesia.com

Sabtu, 18 Desember 2010

Mendorong Inovasi dalam Peralatan Kebencanaan Produk dalam Negeri

Indonesia adalah kawasan yang rawan bencana, mulai dari yang di dalam bumi seperti gempa dan gunung api, di permukaan seperti banjir dan longsor, hingga cuaca ekstrim dalam bentuk badai dan angin topan. Untuk mendeteksi tanda-tanda bencana sebelum terjadi, berbagai macam peralatan deteksi dipasang. Hampir sebagian peralatan-peralatan tersebut saat ini merupakan barang-barang impor yang merupakan donor dari Negara sahabat. Sudah sepantasnya kalau Indonesia mulai memikirkan membuat peralatan-peralatan tersebut di dalam negeri!.

Selain peralatan untuk mendeteksi gejala alam yang dapat menjadi bencana, peralatan kedaruratan lain seperti kantong mayat, tenda, selimut juga masih banyak yang buatan negara lain. Belum lagi jembatan darurat, alat komunikasi satelit, rumah sakit terbang dan peralatan lainnya yang lebih sarat muatan teknologinya. “Bencana tsunami di Aceh hendaknya dijadikan wahana untuk meningkatkan kemampuan bangsa untuk membuat peralatan sendiri peralatan bencana, serta diharapkan kedepannya sudah dapat mengekspor peralatan tersebut sebagai pendapatan devisa negara.

Hal ini dipertegas dengan ungkapan anggota DPR pada RAPAT KERJA KOMlSI Vll DPR RI DENGAN KEMENTERIAN RISTEK, Selasa, 14 Desember 2010 mengatakan “Kementerian Ristek hendaknya mengukur sejauh mana kemampuan kita dalam manufaktur / industri kebencanaan, sehingga masyarakat kita juga dapat hidup dari bencana.

Dalam kaitan ini, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan bahwa Buoy Tsunami Indonesia sudah dapat dirancang, dibangun, dipasang, dan dioperasikan oleh tim pakar-pakar nasional Indonesia yang terdiri dari interdisiplin dan antar lembaga. Runtutan proses rancangbangun yang terdiri dari research, development, engineering, and operation [RDEO] dilaksanakan oleh tim BPPT dengan menggunakan fasilitas yang dikelola oleh BPPT, antara lain berupa Laboratorium Instrumentasi dan Elektronika, Laboratorium Hidrodinamika, Laboratorium Teknologi Kekuatan Struktur, Laboratorium Teknologi Motor Propulsi, Jaringan IPTEKNET, dan lain-lain.

Pemasangan dan pemeliharaan buoy dilaksanakan menggunakan Armada Kapal Riset Baruna Jaya BPPT. Instrumen-instrumen buoy tsunami dibeli dari berbagai penyedia teknologi di luar negeri. Untuk membuat sendiri komponen dan sensor memerlukan investasi yang terlalu mahal, karena harus membangun pabrik dan fasilitas pengujian. Namun, integrasi dan konstruksi buoy dilakukan oleh BPPT dengan melibatkan industri nasional.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Menteri Negara Riset dan Teknologi memaparkan tentang penguatan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning Systems atau InaTEWS) menyatakan bahwa IPTEK untuk penanggulangan bencana menyangkut salah satu tugas pemerintah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan yang dimaksud di sini bukan hanya perlindungan dari musuh negara luar, tapi juga dari ancaman lannya seperti bencana alam, termasuk tsunami.

Menristek menjelaskan bahwa pengembangan InaTEWS, dimulai sejak terjadinya bencana tsunami di Aceh pada hari Minggu, 26 Desember 2004, dimaa bencana itu menarik perhatian dunia karena dampaknya melintasi batas-batas negara dan tercatat sebagai salah satu bencana alam yang terburuk dalam sejarah peradaban manusia modern.

Seandainya pada saat itu sudah ada peringatan resmi dari pemerintah tentang akan datangnya tsunami setelah gempa terjadi, dapat dipastikan dampaknya akan dapat jauh berkurang. Dari bencana tsunami Aceh tersebut, pemerintah Indonesia bertekad mengembangkan InaTEWS. Berbagai lembaga pun digalang kemampuannya untuk membangun InaTEWS melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) selaku Ketua Harian Badan Koordinasi Nasional untuk Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).

Dalam SK tersebut, pengembangan InaTEWS melibatkan tidak kurang dari 15 lembaga pemerintah. Dalam perkembangannya kemudian, pengembangan InaTEWS didukung penuh oleh kerjasama dengan 6 negara lain, yaitu Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Perancis, Cina dan Malaysia.

InaTEWS yang dikembangkan terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen struktur dan komponen kultur. Komponen struktur meliputi pemasangan berbagai jenis peralatan (seismometer, akselerometer, tide gauges dan GPS) untuk mendeteksi terjadinya gempa dan tsunami. Data-data tersebut diolah untuk dijadikan sebuah pesan peringatan dan dikirim ke institusi antara (interface institution), yaitu Pemerintah Daerah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), media dan lembaga-lembaga di pemerintah pusat yang terkait. Seluruh proses dalam komponen struktur ini memerlukan waktu 5 menit.

Selanjutnya aliran pesan berpindah ke komponen kultur, yaitu menyampaikan pesan tersebut kepada masyarakat di daerah yang terancam bencana untuk melakukan evakuasi, baik melalui pemerintah daerah maupun melalui media. Meskipun terlihat sederhana, namun bagian inilah yang paling sulit. Ketika peristiwa tsunami Mentawai, komponen kultur inilah yang tidak berfungsi dengan baik.(Ad-IP/Pr/Wb)


Ristek

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More