blog-indonesia.com

Kamis, 09 Desember 2010

Iptek Nuklir dalam Menghadapi Masalah FEW di Indonesia

FOOD, energy, and water (FEW/pangan, energi, dan air bersih) merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dicukupi untuk menunjang kehidupannya. Ketiga kebutuhan dasar tersebut sampai saat ini masih merupakan suatu masalah yang membebani sebagian besar masyarakat, terutama lapisan bawah, dan juga bagi pemerintah.

Sebagian masyarakat masih merasakan kesulitan untuk memperoleh paling tidak dua dari kebutuhan dasar tersebut, yaitu pangan dan energi, sedangkan pemerintah harus bekerja keras dalam mencukupi agar pangan dan energi untuk kepentingan masyarakat. Pemerintah melakukan usaha untuk memenuhi agar kebutuhan masyarakat akan pangan dan energi dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat, antara lain melalui berbagai bentuk subsidi: subsidi pangan (raskin, termasuk subsidi pupuk, dan lain-lain), subsidi energi (BBM, listrik, dan lain-lain).

Untuk kebutuhan air bersih, bahkan untuk keperluan konsumsi minum saja, saat ini sebagian kota besar sudah sangat bergantung pada daerah sekitar mereka. Sudah menjadi pemandangan yang biasa kalau kita lihat di jalan raya mobil tangki datang dari arah pegunungan untuk membawa air bersih yang digunakan masyarakat perkotaan.

Berbagai permasalahan yang dihadapi terkait dengan kebutuhan dasar tersebut adalah jumlah dan sebaran penduduk Indonesia, ketersediaan sumber daya yang tidak merata, serta kebijakan penanganan masalah di masa lalu yang tidak tepat.

Dalam perioda 20-40 tahun yang akan datang, yaitu 2030-2040, masalah yang akan dihadapi akan menjadi lebih berat karena ada beberapa parameter penting yang luput dari perhatian, atau tidak cukup mendapat perhatian, antara lain laju pertumbuhan penduduk, faktor yang terkait dengan produksi (pangan dan sumber energi) berkurang karena terdeplesi atau tidak ditemukan sumber-sumber baru. Bilamana hal ini tidak ditangani dengan baik, akan dapat memberikan suatu ancaman yang serius bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, dan terutama akan dirasakan masyarakat dengan penghasilan rendah.

Permasalahan

Jumlah penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 237 juta jiwa memerlukan suatu pemikiran yang serius, apalagi angka pertambahan penduduk (growth rate) yang relatif masih tinggi (> 1,4%). Dengan asumsi bahwa growth rate di tahun-tahun mendatang akan menurun sejalan dengan kenaikan tingkat kemakmuran masyarakat, namun jumlah penduduk di tahun-tahun mendatang masih akan meningkat dengan pesat. Beberapa simulasi yang dibuat berbagai institusi terhadap jumlah penduduk pada 2030-2050 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai angka dalam orde 275-300 juta orang.

Jumlah penduduk yang sedemikan besar akan memberikan konsekuensi bahwa kebutuhan pangan, energi dan air bersih juga semakin banyak. Hal itu tentunya akan memberikan tekanan terhadap dana yang tersedia untuk melakukan pembangunan, bilamana konsep terhadap penyediaan pangan dan energi masih menggunakan cara-cara seperti yang dilakukan seperti saat ini.

Pangan

Di bidang pangan, sampai saat ini kita masih terjebak pada permasalahan yang terkait dengan penyediaan atau pemenuhan berbagai komoditas utama penting: beras, gula pasir, kedelai, jagung, daging dan susu, grand-grand parent stock untuk daging ayam dan telur, serta impor gandum. Hampir seluruh permasalahan kekurangan komoditas itu diselesaikan dengan melakukan impor, dengan masalahnya akan semakin berat mengingat stok perdagangan dunia untuk komoditas tersebut dari waktu ke waktu semakin sedikit serta rentan terhadap perubahan musim serta semakin banyak negara lain yang memerlukan impor juga.

Swasembada beras yang terjadi sejak dua tahun lalu masih sangat labil karena sangat bergantung pada kondisi cuaca-musim di Indonesia, serta hama yang masih sering mengganggu produksi dalam negeri. Gangguan cuaca/musim yang terjadi saat ini saja masih membuat tanda-tanya, akankah kita dapat swasembada pada 2010 ini?

Hal yang serupa terjadi untuk komoditas pangan lainnya, impor gula dan kedelai dari waktu ke waktu semakin meningkat. Impor gandum dari waktu ke waktu juga meningkat karena diversifikasi pangan yang kurang baik sehingga sebagian besar masyarakat hanya berpindah menjadi pengguna berbagai produk gandum sebagai pengganti beras. Mudah-mudahan program 1 juta sapi yang dideklarasikan di berbagai provinsi (NTB, Susel, dan lain-lain) berhasil sehingga kebutuhan daging dan susu dalam waktu mendatang dapat dipenuhi.

Pertambahan penduduk, berkurangnya lahan subur akibat konversi untuk penggunaan nonpertanian, serta tekanan dari perubahan musim akibat pemanasan global akan semakin membuat ketahanan pangan kita semakin rentan. Peningkatan kemakmuran masyarakat diperkirakan akan juga memengaruhi pola makan sehingga konsumsi karbohidrat dapat berkurang, tetapi di sisi lain akan meningkatkan konsumsi daging dan susu serta telur, termasuk hasil turunannya.

Perlu dicatat bahwa konsumsi ikan saat ini masih terlalu rendah sehingga sudah saatnya kita meningkatkan produksi dan konsumsi ikan, sebagai suatu komplementer dari konsumsi daging dalam meningkatkan pasokan protein bagi masyarakat. Salah satu hal lain yang menjadi ancaman bagi penyediaan pangan adalah terjadinya konversi dari bahan pangan untuk energi, terutama untuk keperluan bioenergi yaitu biodiesel dan bioetanol.

Energi

Penggunaan energi per kapita pada suatu negara akan dapat dijadikan ukuran tingkat kemakmuran bangsa. Bilamana kita ingin meningkatkan kemakmuran bangsa, berarti penyediaan energi, khususnya listrik, akan menjadi prasyarat mutlak. Di samping itu, untuk mendukung pembangunan ekonomi, energi merupakan suatu infrastruktur penting dalam mendukung industri.

Apalagi bila kita melihat listrik sebagai suatu bentuk energi final, ketersediaan listrik merupakan suatu persyaratan mutlak bagi industri. Dengan kemampuan penyediaan listrik yang ada saat ini, rasio elektrifikasi yaitu jumlah keluarga yang dapat menggunakan listrik masih sekitar 66%. Artinya masih ada 34% masyarakat tidak dapat memperoleh sambungan listrik.

Dengan terbatasnya listrik, serta kualitas penyediaan listrik yang tidak memadai, banyak industri melakukan relokasi pabriknya, atau membuat investasi di Indonesia kurang menarik jika dibandingkan dengan negara tetangga. Hal itu tentunya akan memengaruhi target capaian pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, menjadi suatu tuntutan bagi kita semua untuk menyediakan energi khususnya listrik bagi kemajuan tingkat kemakmuran bangsa.

Diversifikasi penggunaan energi masih terkendala oleh berbagai kebijakan lain yang tidak mendukung. Sistem subsidi pada beberapa jenis energi fosil menghambat usaha untuk melakukan diversifikasi energi yang seharusnya digunakan untuk menggantikan penggunaan energi fosil yang notabene merupakan energi tak terbarukan, dan sekaligus sebagai penyumbang emisi gas CO2 yang akhirnya memberikan dampak pemanasan global (global warming).

Beberapa hal yang terkait dengan masalah energi di Indonesia saat ini antara lain sebagai berikut.

Ekspor sumber daya energi masih digunakan sebagai komponen sumber penerimaan dalam APBN. Sebagai akibat pelaksanaan kontrak jangka panjang, gas bumi masih diekspor, padahal keperluan dari dalam negeri dari waktu ke waktu bertambah. Sebagian besar batu bara dalam negeri masih diekspor dan karena berbagai alasan.

Di lain sisi, kesadaran bahwa penggunaan energi bersih dan aspek ekonomi membuat kebijakan penggunaan gas, namun ternyata untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri sekarang kita malah harus mengimpor gas karena pagu pemakaian dalam negeri tidak dialokasikan dari produksi gas nasional.

Kontribusi penggunaan BBM sebagai sumber energi masih relatif tinggi, konsumsi dari tahun ke tahun masih meningkat, sedangkan produksi dalam negeri relatif stagnan.

Keterbatasan infrastruktur industri migas, misalnya refinari minyak, jaringan distribusi gas, menjadikan lebih sulitnya penanganan masalah minyak dan gas. Impor minyak dan gas dalam bentuk final akan memengaruhi ketahanan energi nasional serta menghabiskan devisa.

Dapat dikatakan bahwa konsep kebijakan energi nasional sampai saat ini masih menggunakan prinsip 'memiliki' sumber energi (fosil), dan bukan 'menguasai' sumber energi (fosil). Dengan konsep itu, pemanfaatan sumber energi di dalam negeri lebih diutamakan, padahal di beberapa negara lain, usaha untuk mendapatkan sumber energi di luar negeri lebih diutamakan.

Pengelolaan sumber energi di dalam negeri dikonservasikan untuk keperluan generasi mendatang. Bahkan dapat dilihat bagaimana sumber daya energi sudah dikuasai pihak asing, yang kemudian mendorong untuk dilakukan ekspor energi primer untuk keperluan pemilik modal yang berasal dari negara yang membutuhkan energi primer tersebut.

Adanya suatu dogma, bahwa Indonesia sebagai negara kaya raya akan sumber energi, tetapi tidak pernah melihat berapa sebetulnya cadangan sumber energi tersebut bila dibandingkan dengan cadangan dunia. Hampir semua cadangan sumber energi kita (minyak, gas, batu bara) ternyata tidak signifikan jika dibandingkan dengan cadangan dunia, apalagi kalau cadangan tersebut kemudian dibagi dengan besarnya penduduk.

Artinya bahwa cadangan sumber daya energi kita per kapita sangat kecil jika dibandingkan dengan cadangan per kapita di dunia. Di satu pihak, produksi dan kemudian ekspor relatif besar sehingga dapat dikatakan telah terjadi pengurasan sumber energi (fosil) dengan laju yang mengkhawatirkan.

Dengan adanya dogma bahwa kita kaya raya akan sumber energi primer itu, masyarakat menuntut harga energi harus rendah dan yang terjadi kemudian kita menjadi negara yang boros menggunakan energi.

Kebutuhan air bersih

Kebutuhan air bersih merupakan kebutuhan utama dan merupakan suatu prasyarat bagi masyarakat untuk mendapatkan tingkat kesehatan yang baik. Namun, pada kenyataannya penyediaan air bersih sampai saat ini masih merupakan suatu problem bagi masyarakat tingkat bawah yang ada di kota-kota besar, maupun di daerah yang sulit air.

Penyelesaian


Pemanfaatan Iptek nuklir di Indonesia untuk mendukung kebutuhan pangan, industri, air, dan juga energi sudah diintroduksikan sejak beroperasinya reaktor atom pertama beroperasi di Bandung, 1964. Sampai saat ini, kegiatan tersebut terus berkembang dan menghasilkan banyak produk yang sudah dirasakan masyarakat.

Di bidang pangan, khususnya di bidang pertanian, berbagai jenis bibit unggul sudah dihasilkan. Untuk padi saat ini sudah dihasilkan sebanyak 16 jenis bibit unggul baru, beberapa di antaranya (mira-1, bestari) sangat diminati petani karena terbukti tahan terhadap hama, produktivitasnya tinggi, serta rasanya enak. Jenis kedelai unggul (empat jenis), khususnya jenis mutiara-1 sangat diminati petani karena menghasilkan jenis kedelai biji besar dan produktivitasnya tinggi. Bibit unggul untuk kacang hijau juga sudah dihasilkan, tetapi pemanfaatannya belum begitu terasa karena respons masyarakat masih kurang.

Di bidang pemupukan, telah dihasilkan juga biofertilizer, serta growth-promoter yang berasal dari bahan-bahan yang tersedia di masyarakat. Beberapa jenis galur--sorghum, gandum tropis, dan beberapa tanaman pangan lain--siap dalam proses untuk segera dihasilkan jenis bibit unggul baru.

Masih di bidang pangan, tetapi di bidang peternakan dan perikanan, pemanfaatan iptek nuklir untuk pengembangan teknologi nutrisi/pakan ternak dan juga teknik reproduksi sudah mulai diintroduksi di beberapa daerah dalam mendukung deklarasi provinsi penghasil 1 juta ternak (NTB, Sulsel, dan lain-lain).

Gabungan antara pertanian dan peternakan dalam suatu konsep bio-cyclofarming yang utuh akan meningkatkan hasil petani-peternak, dan sekaligus menghasilkan suatu desa mandiri energi dan pangan. Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak akan meningkatkan kualitas produksi ternak. Kotoran ternak untuk biogas, dan juga dapat digunakan untuk beternak cacing, akan meningkatkan penghasilan petani-peternak.

Apalagi kalau kemudian digabung dengan perikanan atau bahkan kalau sebelumnya digunakan untuk berternak ayam/bebek. Optimasi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan iptek nuklir sebagai perunut/tracer dalam siklus kehidupan pertanian (ternak)pertanian lagi.

Di bidang energi
, pemanfaatan iptek nuklir untuk mendukung pengembangan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi telah dilakukan di Indonesia sejak 25 tahun lalu. Namun, tentunya pemanfaatan nuklir dalam bentuk PLTN merupakan suatu solusi penyelesaian penyediaan energi jangka panjang di Indonesia, terutama karena PLTN dapat menghasilkan listrik dalam jumlah besar, serta sangat sedikit mengemisikan gas CO2.

Kalau pemanfaatan iptek nuklir di Indonesia pada awal 1970 lebih ditekankan untuk mencari kebocoran air dari berbagai dam, mengukur debit air sungai, dan sebagainya, pada akhir-akhir ini pemanfaatan iptek nuklir digunakan untuk mencari sumber air tanah dalam yang akan digunakan sebagai sumber air di daerah yang sulit air.

Teknik perunut dengan iptek nuklir juga digunakan untuk melakukan manajemen air tanah dalam rangka dapat memperoleh jaminan pengelolaan air tanah yang berkelanjutan. Di masa mendatang, pemanfaatan iptek nuklir dalam bentuk penggunaan PLTN generasi mendatang diharapkan dapat dihasilkan sumber air dari desalinasi air laut dengan harga yang relatif murah.

Keberhasilan introduksi iptek nuklir di Indonesia untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsa sangat bergantung pada dukungan masyarakat sendiri.

Keberterimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir secara otomatis akan mendorong termanfaatkannya hasil-hasil litbang yang akhirnya hanya akan dapat digunakan sebagai suatu sistem inovasi bilamana didukung banyak pihak, terutama oleh masyarakatnya sendiri. Kalau dalam uraian tersebut hanya diterangkan keterkaitan iptek nuklir untuk menjawab masalah pangan, energi, dan air bersih, sebetulnya ada satu lagi pemanfaatan iptek nuklir yang sangat banyak digunakan di Indonesia, yaitu pemanfaatannya untuk membantu bidang kesehatan.

Oleh Hudi Hastowo Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).


MediaIndonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More