blog-indonesia.com

Jumat, 03 Desember 2010

Generasi Kedua "Biofuel"

Pertemuan Para Pihak ke-16 Konferensi Perubahan Iklim Global di Cancun, Meksiko, dikatakan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva tidak akan menghasilkan putusan penting. Ini disebabkan tiadanya pemimpin-pemimpin negara kuat yang hadir untuk mengusung berbagai agenda menjadi putusan penting dan mengikat.

Pertemuan Para Pihak (COP) ke-16 pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) digelar di Cancun pada 29 November hingga 10 Desember 2010.

Pernyataan Lula dikutip berbagai media dunia. Ini berkat keberhasilan Brasil mengembangkan produksi bahan bakar nabati atau biofuel untuk mitigasi pemanasan global sejak 1970-an.

Brasil pada 2007 tercatat memproduksi 5.958 juta galon atau 22.653 juta liter bioetanol. Keberhasilan Brasil ini menduduki peringkat kedua dunia setelah Amerika Serikat (6.488 juta galon).

Brasil mengolah biofuel dengan bahan baku tebu dan jagung. Bagi Brasil, ada atau tidak putusan penting dari forum internasional di Cancun yang dihadiri lebih dari 190 negara tetap saja meneruskan upaya memproduksi bahan bakar yang ramah lingkungan tersebut.

Generasi kedua

Bagaimana Indonesia?

Produksi biofuel tak seberapa atau bisa dikatakan gagal ketika menggunakan bahan baku sawit, jagung, atau tebu. Ini disebabkan bersaing dengan kebutuhan pangan.

Produksi biofuel dengan bahan baku minyak jarak untuk menghindari persaingan dengan kebutuhan pangan diupayakan. Namun, sama saja tidak berhasil.

Baru-baru ini Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Unggul Priyanto mengedepankan persoalan produksi biofuel generasi kedua, yaitu generasi teknologi yang meninggalkan bahan baku yang bersaing dengan pangan.

”Bahan bakunya dari residu biomassa yang sekarang melimpah jumlahnya,” kata Unggul.

Balai Besar Teknologi Pati BPPT di Lampung telah meriset pengolahan biofuel dengan bahan baku tandan kosong kelapa sawit. Indonesia diperkirakan memiliki 12,9 juta ton tandan kosong kelapa sawit setiap tahun.

”Harga biofuel masih belum bisa bersaing dengan bahan bakar minyak fosil,” kata Unggul.

Kepala Balai Besar Teknologi Pati BPPT Agus Eko Cahyono mengatakan, untuk memproduksi 1 liter biofuel dibutuhkan sekitar 5 kilogram tandan kosong kelapa sawit. Harga produksinya mencapai Rp 6.200 sampai Rp 6.500 per liter.

”Yang membuat harga biofuel dari limbah sawit masih mahal, yaitu masih tingginya harga enzim. Namun, diprediksikan kecenderungannya semakin menurun,” kata Agus.

Harga tandan kosong kelapa sawit, menurut Agus, dihitung sebesar Rp 100 per kilogram.

Melimpah

Unggul mengatakan, residu biomassa dari industri perkebunan dan pertanian sangat melimpah. Namun, penggunaannya untuk bahan baku biofuel masih sangat minim.

”Selama ini hampir tidak ada atau masih sangat kecil penggunaannya untuk memproduksi biofuel,” kata Unggul.

Menurut Unggul, Indonesia diperkirakan setiap tahun memproduksi residu dari industri pengolahan tebu berupa ampasnya mencapai 8,5 juta ton. Serasah daun tebu yang dihasilkan mencapai 1,29 juta ton.

Dari sektor perkebunan sawit, diperoleh setiap tahun bungkil sawit 3,45 juta ton. Kemudian serat kayu sawit mencapai 6,7 juta ton.

Residu berupa tandan kosong kelapa sawit mencapai jumlah yang cukup tinggi, yaitu mencapai 12,9 juta ton. Kemudian residu dari hasil industri pengolahan sawit mencapai 31 juta ton. ”Residu biomassa itu masih ditambah lagi dari sektor pertanian dan perkayuan,” kata Unggul.

Dari produksi padi, setiap tahun ternyata bisa diperoleh residu mencapai 12,5 juta ton. Dari hasil pengolahan kayu terdapat residu 8,345 juta ton.

Betapa melimpah residu biomassa untuk biofuel generasi kedua. Saat ini harga produksi biofuel generasi kedua memang lebih tinggi dibandingkan harga bahan bakar minyak fosil.

Brasil, yang mengolah bahan baku jagung atau tebu untuk biofuel, mengalami kendala sama. Nilai produksi ini mudah dimengerti dari sisi nilai produksi bahan bakunya sehingga harga biofuel di Brasil masih lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar minyak fosil.

Semestinya ini berbeda untuk biofuel generasi kedua. Bahan baku residu biomassa relatif murah, bahkan kerap menjadi limbah tak bernilai dan hanya dibuang begitu saja.

Biofuel generasi kedua semestinya bisa lebih murah. Itulah harapannya.[Nawa Tunggal]


KOMPAS

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More