blog-indonesia.com

Jumat, 10 Desember 2010

Dua Remaja Yogya Ungkap Rahasia Sungai Opak

TEMPO Interaktif, Jakarta - Citra satelit Pulau Jawa, yang memperlihatkan daerah permukiman, sawah, dan sungai dengan mendetail, itu menarik perhatian Yan Restu Freski dan Darmadi. Kedua pelajar yang tergabung dalam klub sains Taman Pintar Yogyakarta itu melihat adanya keunikan pada beberapa sungai yang bermuara ke selatan, menuju Samudra Hindia.

Mereka menemukan fenomena unik, yaitu kecenderungan pembelokan muara sungai di daerah Bantul hingga Cilacap ke arah barat sebelum akhirnya bertemu dengan Samudra Hindia. "Uniknya hanya terjadi di daerah itu, sungai-sungai di daerah lain, yang juga bermuara ke selatan, tetap lurus," kata Darmadi, yang kini menuntut ilmu di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung.

Keduanya sepakat melakukan penelitian atas fenomena tersebut, mengapa membeloknya cuma daerah Cilacap sampai Bantul. "Kenapa kok bisa belok semua sungainya," katanya. "Tapi karena keterbatasan waktu dan tenaga, kami hanya mengambil satu contoh, yaitu Sungai Opak yang bermuara dekat Parangtritis."

Penelitian yang dikerjakan pada Mei-Oktober 2010 di sela kesibukan keduanya mempersiapkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi itu ternyata terpilih sebagai juara pertama dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja 2010 bidang ilmu pengetahuan alam, yang digelar oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tim juri bahkan memuji kejelian Darmadi dan Yan, yang kini menjadi mahasiswa Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, menangkap fenomena unik itu. "Bagus sekali, luar biasa untuk seumur mereka dapat meneliti fenomena alam yang unik," kata Adi Santoso, peneliti biologi molekuler LIPI, anggota tim juri. "Bagi saya itu sama sekali tak terbayang."

Dalam karya ilmiahnya, Yan dan Darmadi memaparkan berbagai faktor yang membuat aliran Sungai Opak membelok ke arah barat, mulai angin yang bertiup dari arah tenggara dan barat, gelombang laut, hanyutan sejajar pantai (longshore drift), sampai sedimentasi.

Angin yang bertiup dari tenggara dengan intensitas dominan membentuk gelombang laut ke arah pantai di dekat muara Sungai Opak. Gelombang itu pecah menghasilkan deburan (swash), yang segera surut kembali ke laut (backswash) karena gaya gravitasi. "Pasang surut laut ini mempengaruhi proses sedimentasi," kata Yan.

Endapan pasir yang terbawa oleh ombak dari pinggir pantai mengendap kembali ketika gerakan pasang surut menghasilkan arah zigzag ke barat. "Lama-kelamaan pasir yang diendapkan itu akan menutupi aliran Sungai Opak, yang normalnya lurus-lurus saja ketika bermuara," kata Darmadi. "Akhirnya aliran sungai menjadi membelok ke arah barat, meski nantinya tetap bermuara ke arah selatan."

Proses sedimentasi Sungai Opak sendiri turut terlibat dalam pembelokan tersebut. "Ada interaksi antara energi sungai dan energi laut," kata Yan. "Dalam kasus ini, energi sungai lebih lemah dari energi laut, sehingga mau tak mau aliran sungai harus membelok."

Tak sembarang angin yang bisa mempengaruhi pembelokan aliran Sungai Opak, tapi angin yang terjadi akibat efek koriolis bumi, efek yang disebabkan oleh rotasi bumi. Namun arah angin ini tidak selalu didominasi dari arah tenggara. Pada Desember, angin tenggara mengalami penurunan dan digeser angin dari barat pada Januari hingga Februari. Maret menjadi bulan transisi arah angin dominan dari barat menuju tenggara. "Pergantian dominasi arah angin ini disebabkan pergerakan angin Muson barat," kata Yan.

Tak hanya melakukan studi literatur, penelitian mereka juga didukung pengamatan geomorfologi, pengambilan sampel sedimen permukaan dan pengamatan terhadap proses sedimentasi. Mereka melakukan uji granulometri untuk mengetahui ukuran butir sedimen. "Asumsinya, jika ukuran butir besar dan tidak seragam, sedimen itu berasal dari sungai," kata Yan. "Kebalikannya, butiran halus berasal dari laut karena proses longshore drift yang dihasilkan oleh ombak pasang surut 'mencuci' dan menyortir butiran pasir. Proses swash dan backswash terjadi secara kontinu dan bertahap sehingga pasir yang berasal dari proses laut berukuran kecil dan seragam."

Uji granulometri juga memberikan data tentang perbedaan warna sedimen. Butiran sedimen dari sungai cenderung cokelat, sedangkan sedimen dari proses "pencucian" laut cenderung lebih hitam. "Warna cokelat itu disebabkan adanya mineral lempung yang sifatnya suspensi," katanya. "Perbedaan warna itu terjadi karena ombak mencuci pasir di garis pantai sehingga mineral lempungnya tetap tersuspensi, tapi pasir berat yang berunsur besi tidak dapat larut."

Proses itu tidak terjadi dalam waktu singkat. "Terjadi secara bertahap dalam waktu ribuan hingga jutaan tahun," ujar Darmadi. "Formasi tektonik daerah Yogyakarta bagian selatan menyebabkan angin bertiup cenderung ke arah barat di selatan khatulistiwa, didukung pula oleh faktor sungai. Pada mulanya aliran Sungai Opak langsung menuju selatan untuk bermuara, tapi endapan sedimen menghalanginya sehingga aliran berbelok ke barat kemudian baru ke selatan."

Meski kini telah berbeda kota, karena Darmadi harus tinggal di Bandung, keduanya sepakat melanjutkan penelitian tersebut. "Kami mau kembangkan lagi," kata Darmadi. "Ini sebatas penelitian awal. Rencananya ada pemodelan, beberapa tahun ke depan bakal jadi apa daerah itu."[TJANDRA DEWI]


TEMPOInteraktif

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More