blog-indonesia.com

Senin, 11 Oktober 2010

Selamat Tinggal Coblosan

MASIH ingat betapa repotnya ketika berada di tempat pemungutan suara saat pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah pada 2009? Kita mesti membuka kertas suara selebar kertas koran dan mesti melihat wajah ratusan orang sebelum memutuskan memilih. Setelah memilih, butuh usaha keras untuk melipat agar lembaran itu bisa masuk kotak suara. Dan setelah itu giliran panitia yang bekerja keras menghitung hasilnya, kadang sampai lewat tengah malam.

Pemilihan umum empat tahun lagi, mungkin, bakal jauh lebih sederhana dengan bantuan komputer. Kita tinggal datang ke tempat pemungutan suara, mencari calon pilihan di layar komputer, dan menyentuhkan jari ke layar monitor di foto pilihan kita. Panitia tinggal leha-leha saja, tak perlu menghitung, dan malamnya kita sudah tahu hasil resmi perhitungan nasional. Bukan hasil quick count yang sekarang trendi itu.

Kesederhanaan dan kecepatan muncul jika Komisi Pemilihan Umum menggunakan konsep pemilihan umum elektronik (e-voting) buatan seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Salman Salsabila. Konsep ini dua pekan lalu berhasil menang dalam lomba rancangan e-voting yang digelar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dengan menyisihkan puluhan desain lain. "Desain ini menang karena komprehensif dan sudah memperhitungkan kondisi negara kita," kata Kepala BPPT sekaligus pemimpin juri lomba, Marzan A. Iskandar.

Salman, yang tahun lalu bergabung dalam tim Universitas Indonesia yang masuk lima besar kompetisi aplikasi tingkat mahasiswa gelaran Microsoft, Imagine Cup, di Kairo, Mesir, merancang mesin yang sangat murah. Dalam rancangannya, mesin yang sanggup melayani tiga pemilih bersamaan di satu TPS itu hanya berharga sekitar Rp 8 juta. Jika hanya satu mesin untuk satu pemilih, harganya cuma separuhnya.

Harga itu jauh lebih murah ketimbang alat e-voting di Amerika Serikat, yang mencapai Rp 30-an juta. Dibanding mesin e-voting yang dipakai di Jembrana, Bali-satu-satunya tempat di Indonesia yang menerapkan e-voting, yakni dalam pemilihan kepala dusun-juga masih lebih murah. Di Jembrana, pemenang lomba yang sama tapi kategori institusi, untuk satu TPS yang bisa melayani dua pemilih sekaligus, mesinnya seharga Rp 15 juta.

Memang, dibanding peralatan yang dipakai India, mesin rancangan Salman lebih mahal. Tapi mesin yang dipakai di India memiliki kelemahan, satu mesin hanya bisa memuat 16 nama. "Sedangkan di Indonesia ada 44 partai, termasuk yang di Aceh," kata Salman. Padahal satu partai kadang mencantumkan belasan nama, sehingga ada ratusan orang.

Untuk menekan harga, Salman memakai komputer dengan spesifikasi yang secukupnya, tidak perlu dengan prosesor dahsyat. Ia menggunakan prosesor ARM920T, yang kadang dipakai ponsel cerdas. Ia tidak menggunakan prosesor Pentium Duo, misalnya. "Karena ini tidak untuk aplikasi yang berat seperti Photoshop, tapi hanya untuk satu aplikasi," kata Salman. Program grafis seperti Photoshop memang membutuhkan prosesor yang besar dan kuat.

Harga juga ditekan dari sisi monitor LCD. Ia memilih LCD "telanjang", yang bagian belakangnya tidak ditutupi, sehingga jauh lebih murah. Alasannya sederhana: nantinya bagian belakang itu akan ditutup dengan casing yang ia perkirakan-berdasarkan harga casing standar komputer-sekitar Rp 200 ribu.

Meski murah, set komputer untuk tempat pemungutan suara itu cukup lengkap. Setelah menyentuh calon favoritnya di layar monitor-tidak lagi mencoblos-pemilih akan mendapat "struk" yang berisi pilihannya. Struk ini untuk memastikan bahwa pilihan kita tidak diubah oleh komputer. Struk ini dibuat karena masalah sosial. "Kalau kita sudah percaya dengan sistem ini, tidak perlu sebenarnya struk seperti itu," kata Sukrisno Mardiyanto, ahli informatika ITB yang juga menjadi juri.

Dalam struk juga disertakan kode QR, semacam barcode, agar tidak dipalsukan. Struk hasil suara ini kemudian dimasukkan ke kotak suara seperti dalam pemilihan konvensional. Kotak suara ini untuk jaga-jaga: jika ada yang tak puas dengan hasil perhitungan komputer, bisa dihitung manual. Bila semua puas, kotak itu cukup disimpan.

Komputer juga akan mengirim hasil suara ke server pusat di tingkat nasional lewat Internet. Agar tidak kebobolan di tengah jalan, data disandikan. Di server pusat, data bisa dilihat lewat Internet melalui jalur terbuka, dan masyarakat bisa melihat hasilnya secara langsung.

Dalam komputer rancangan Salman, seperti dalam pemilihan kepala dusun di Jembrana, warga mesti memiliki kartu tanda penduduk elektronik. Kartu ini menjadi pengganti kartu pemilih. "KTP elektronik itu prasyarat," kata Marzan. KTP elektronik itu yang menyebabkan apakah Pemilihan Umum 2014 bakal menggunakan e-voting atau tidak masih terganjal.

Jika benar menggunakan e-voting, untuk pengadaan tentu saja KPU bakal mengadakan tender. Rancangan Salman, kata Marzan, bisa membantu memperkirakan biaya dan spesifikasi yang akan dipakai. Sesudah tender, tentu, mesin akan didistribusikan ke seluruh pelosok Indonesia, dan kita tidak perlu mencoblos lagi.(Nur Khoiri)

Lebih Cepat, Lebih Murah

DENGAN sistem pemilihan umum yang rumit, pemilihan umum di Indonesia membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa diketahui hasilnya. Tapi, jika menggunakan sistem pemilihan elektronik, hasilnya bisa diketahui hari itu juga. Hebatnya-menurut rancangan Salman Salsabila, mahasiswa Universitas Indonesia yang menang dalam lomba rancangan e-voting BPPT-tidak hanya murah, tapi juga bisa diverifikasi.

  1. Pemilih menggesekkan kartu penduduk elektronik ke card reader yang tersambung ke komputer unit registrasi dan kontrol.
    Komputer registrasi dan kontrol adalah komputer konvensional berkemampuan rendah karena hanya digunakan untuk satu fungsi ringan. Total harga Rp 1,8 juta (termasuk monitor LCD 10,1 inci yang dibeli tanpa chasing sehingga murah, dan card reader).
  2. Pemilih memberikan suara dengan memencet foto calon favorit di layar sentuh komputer di unit pengisian suara.
    Harga satu set komputer di unit pengisian suara-termasuk layar sentuh LCD, peranti semacam tuts dengan stiker Braille bagi pemilih tunanetra, dan printer kecil-Rp 2,2 juta. Tiga set alat ini bisa disambungkan dengan satu komputer kontrol.
  3. Printer mencetak struk hasil pilihan.
    Hasil pilihan pada dasarnya seperti kertas suara dalam pemilihan konvensional. Kode QR-semacam barcode tapi jauh lebih gampang dibaca-berisi kode suara, nomor TPS, dan pilihan. Kode ini dibuat agar surat suara tidak bisa dipalsukan.
  4. Struk pilihan dimasukkan ke kotak suara seperti pemilihan umum konvensional.
    Fungsi kotak suara ini sebagai cadangan jika nanti ada keluhan, sehingga hasil pemilihan bisa dihitung ulang secara manual.
  5. Komputer kontrol mengirim data lewat Internet ke server pusat data. Data dikirim setelah disandikan, sehingga tidak bisa diutak-atik atau dibaca.
  6. Masyarakat bisa mengecek hasil lewat Internet yang tersambung ke server umum yang tidak disandikan. Hasil pemilihan umum bisa langsung diketahui saat itu juga, tidak perlu berhari-hari seperti selama ini.


TEMPOInteraktif

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More